Bang Akram duduk di sampingku, sementara Indah duduk disamping Bang Akram. Aku sangat mengerti tatapan anakku, ku anggukan kepala sebagai tanda setuju dengan yang mereka maksud. "Tante, bisa minta tolong pindah disini? Aku mau minta tolong ayah untuk memisahkan diri ikan ini," ucap Syifa dengan lembut. Lega rasanya Syifa menuruti kataku, untuk bicara dengan lembut. Terlihat Indah pindah posisi dengan muka tak bersahabat. "Maaf ya, Dek. Mbak lagi repot dengan Hilda jadinya tepaksa ayahnya yang membantu Syifa," ucapku tidak enak dengan sikap anakku. Tepatnya pura-pura tidak enak, siapa suruh bergabung dan merusak kebahagiaan kami saat ini. Kejam ya? Kalau dia baik maka aku akan bersikap jauh lebih baik. Pantas saja anak-anakku tak terima. Kursi didepan ku baru terisi Syifa dan Daffa, kursi sampingku penuh dengan orang dewasa. Sudah terlihat jelas posisi tak seimbang kan?"Nggak apa, Mbak" ucap dia terbata. Sepertinya menahan kekesalan. "Daffa, kamu bisa sendiri? Hati-hati Sayang, ata
Akhirnya aku dapat telpon dari nomor yang nggak kukenal. Aku tersenyum, hasil tebakanku ini adalah Syifa. Segera aku mengangkat telpon, terdengar Isak tangis putriku sangat menyayat hati. Syifa memberi kabar dengan nomor ponsel sopir taxi yang dia kendarai. Lega, ternyata pelajaran yang aku ajarkan kepada dia berhasil. Segera aku hubungi Bapak mertuaku untuk menyiapkan uang dan poin terpenting supaya tidak kaget."Pak, tolong siapkan uang. Syifa sedang pulang sendiri naik taxi, nggak usah ditanya apa-apa dulu sama Syifa, Pak. Cukup dipeluk supaya dia tenang," ucapku lembut sama Bapak. "Ada apa, Fit? Jelaskan!" Bapak bertanya dengan bingung, lalu suaranya meninggi. Ah ... Bapak marah. "Nanti Fitri jelaskan dirumah, Pak. Aku akan segera menyusul pulang bareng Bang Akram. Sama adik maduku," ucapku. "Jangan coba-coba kamu bawa adik madu kerumah ini, Fit! Bapak yakin, Syifa marah ada kaitannya dengan adik madu mu, Bapak nggak mau tau jangan sampai dia kerumah ini sekarang!" ucap Bapak s
"Daffa kamu sama ayah pulang pakai mobil ya? Bunda mau pulang pakai taxi," ucapku sambil tersenyum menahan tawa. Bagiku naik apapun yang penting sampai rumah, pakai taxi nggak buruk kan? Bang Akram sudah datang dengan mobilnya. Aku bukakan pintunya segera Daffa masuk dan Hilda duduk di kursi khusus di samping kakaknya."Daffa, Hilda nanti dijaga ya, mbokan ngantuk," pesanku sama anak keduaku."Siap, Bunda. Bunda beneran mau naik taxi? Bareng kami saja ya, Bun? Pleace!" ucap Daffa masih tak percaya dan penuh permohonan."Sayang, nanti malam kita bikin pesta barbeque InsyaAllah, nanti sampai rumah ngomong sama kakak ya!" ucapku untuk mengalihkan pertanyaan Daffa dengan berbinar penuh semangat."Asyik, let's go Ayah. Biar cepat ketemu Kakak,"Kamu masih polos sayang, beda dengan kakakmu yang sangat sensitif. "Bang, sambil ditengok ya Hilda,""Iya, Dek. Abang tunggu dirumah." Kini pandanganku beralih ke Hilda yang sedang asyik dengan jajannya. "Sayang, pulang sama Kak Daffa ya, nanti in
"Kenapa Syifa sampai pulang sendiri, kenapa kalian nggak ada satupun yang mengejar. Langkah kaki Syifa jauh lebih kecil dibanding kamu Akram! Oh ... iya bapak lupa, kamu sekarang lagi hangat-hangatnya dengan istri baru, tentu anak-anak Fitri tak lagi penting," ucap Bapak mulai mengatur nafas yang sesak. "Siapa yang mau menjelaskan!" bentak Bapak pada kami. Aku hanya terdiam mendengarkan bapak selesai bicara, aku pun tak bisa membendung air mataku mendengar kemarahan dan tangis pilu bapak. Selama bersama mereka baru kali ini mendapati bapak benar-benar kacau. Yang kemarin malam bapak kacau tapi ini jauh lebih kacau, karena berkaitan dengan cucu pertamanya. Aku melirik Bang Akram. Mata kami bertemu, seakan mengatakan biar Abang yang menjelaskan."Kemana wajah bangga kamu Akram, yang dengan bangga bisa menikah lagi. Menjelaskan hal seperti ini saja tak mampu, jika kamu tidak bertemu dengan istri barumu, kejadian ini nggak akan terjadi hari ini. Apa kalian sengaja, biar anak-anak tau den
Aku semakin terisak mendengar pembicaraan mereka, aku urungkan masuk. Tadinya aku berdiri bersandar ditembok lama kelamaan tak kuasa menopang tubuh ini akhirnya aku duduk dan aku peluk lutut sendiri. Aku tau nak, meskipun kamu mengatakan bahagia kamu sebenarnya sangat sedih seperti halnya bunda. Namun bunda harus tegar demi kalian. Di sebelahku juga terdengar Isak tangis suamiku. Kamu mengatakan nggak peduli lagi dengan ayah, tapi bunda justru mengartikan kalau kamu sangat terpukul dengan kelakuan ayah. Kamu wanita sama seperti bunda, seorang wanita jika kecewa yang terucap justru pembelaan agar tidak terlihat lemah. Padahal kita aslinya kacau. Papa, Mama, aku butuh sandaran.Aku bangkit dengan kondisi badan sempoyongan, ayolah badan kuatlah. Aku harus sehat, untuk ketiga anakku. Aku terkulai lemas, namun dengan sigap ibu menopang tubuhku. "Sayang, kamu terlalu memaksakan keadaan untuk bersikap tegar, ibu tau kamu sangat terpukul. Kamu terlihat tegar tapi justru badanmu yang nggak a
"Ayah hanya mengatakan kalau Ayah sangat menyayangimu dan juga adik-adik kamu, Sayang." "Syifa juga sayang sama Ayah," ucap Syifa. Selesai bakar-bakar tinggal makan bersama disertai dengan celoteh anak-anak. Anak-anak begitu menikmati kebahagian. Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sangat berbahagia dengan kebersamaan ini. Syifa sudah bergelayut manja kepada ayahnya, nampaknya gadis itu benar-benar terhibur dengan acara ini. Ayahnya pun terus memperhatikan Syifa, dan tak ketinggalan Hilda yang sudah ikut mengacak-acak makanan yang didepan ayahnya. "Ayah ... Yah ... Yah," ucap Hilda. "Iya, Sayang. Ayah yang nyuapin ya? Aaa ...." mengkode anaknya untuk membuka mulut. Hilda membuka mulut menerima makanan dari Ayahnya. Dia terus berceloteh dan bertepuk tangan menandakan perasaannya berbahagia. "Sekarang giliran kakak yang buka mulut, aaa ....""Ayah, mantap ya rasanya. Rasanya tak kalah dengan restoran yang sering kita datangi dulu, kapan-kapan kesana lagi ya?""Tapi bilangnya ras
Aku melonjak girang melihat nama terpampang dilayar full dengan gambar. "MasyaAllah, Papa, Mama. Kangen kalian, apa kabarnya?" ucap Fitri terharu, dia merindukan kedua orangtuanya. Mereka lama tidak berkumpul bersama keluarga dari Fitri, tepatnya sudah tiga bulan tak pernah menginap. "Papa kangen kalian juga, ... cucu-cucuku apa kabarnya? Besan, apa kabarnya? Ternyata anak manjanya Papa lagi berbahagia, Alhamdulillah firasat yang Mama maksud tidak benar, Mah. Lihat betapa bahagianya anak kita," seloroh Papa. "Iya dong, Pa. Hidup hanya sekali jadi harus dinikmati, harus bahagia ya kan, Pak?""Selalu ya kamu minta pembelaan sama Bapakmu, Papamu sudah dilupakan, ini Mama pengin ikutan katanya, Mamamu murung sejak hari Sabtu sampai malam ini, nggak nafsu makan. Sudah lihat sendiri kan, Mah. Anak kita baik-baik saja, mereka terlihat sangat bahagia. Habis ini mama harus makan yang banyak," ucap Papa panjang lebar. Deg ... anakmu tidak dalam keadaan baik-baik saja Papa, tidak seperti yang
Selesai makan mereka ngobrol beberapa saat, sangat tidak baik ketika habis makan langsung tidur, kecuali Hilda. Hilda selesai makan tanpa ritual sikat gigi sudah pulas di pangkuan ayahnya. Kedua anak perempuannya selalu menempel tak mau lepas dengan Ayahnya. "Kakak, sini sama bunda dulu. Ayah mau ngantar adikmu ke kamarnya," "Tapi, ayah janji temani kakak nanti pas mau tidur. Janji ya, Ayah," pinta Syifa kepada Bang Akram."Iya, Sayang. Nanti ayah temani, sekarang ayah menidurkan adik Hilda dulu ya?" Bang Akram pamit kepada putri kesayangannya. "Ok, Ayah," Syifa mengajungkan jempolnya kepada Bang Akram. Selesai dengan urusan Hilda, sekarang tinggal urusan Syifa. Inilah suamiku yang aku kenal selama ini. "Sayang, nggak usah dicuci biar besok pagi saja sama bibi, yang penting sudah diletakan semua disitu, Daffa kelihatannya sudah ngantuk banget kasihan kalau nggak ditemani," ucap Ibu. "Daffa, tunggu bunda sebentar ya. Tinggal dikit cuci piringnya, tanggung," "Cepetan, Bunda. Ngan
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve