POV Prabu
"Dadaaa, Om ...!" teriak suara kecil itu. Terlihat tangannya melambai dari balik kaca jendela. Kubalas lambaian tangannya. Aku berdiri di tempat, hingga akhirnya mobil itu menghilang dari kedua netraku.
Akhirnya aku kembali ke acara pernikahan Ilham. Aku melangkah dengan membawa perasaan yang entah, aku sendiri tak bisa menjelaskan. Ada rasa bahagia, sesak dan kecewa. Tak akan kulupakan kejadian hari ini. Kejadian yang akan terus Kusimpan di dalam ingatanku.
Aku melangkah mendekati Ilham, hanya untuk sekedar berpamitan. "Sabar, ya. Syifa perempuan baik! Suatu saat ia pasti akan menemukanmu dengan putramu!" ucap Ilham yang sepertinya tahu dengan kejadian yang baru saja kualami. Aku tersenyum getir lalu mengangguk. "Aku pulang dulu, ya. Selamat atas pernikahanmu. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah!" ucapku dan kedua mempelai mengangguk.
POV Syifa.***"Fa ...." Panggilan dari Mas Faris, seketika membuatku menoleh ke arahnya. "Ada apa, Mas?" tanyaku. Pandangan lelaki itu lurus ke depan dengan kedua tangan memegang setir mobil."Apa kamu serius?" Aku melipat kening. "Soal?" jawabku dengan kedua netra masih memandangnya. Sesekali Mas Faris menoleh ke arahku. "Kalau kamu terima cintaku," ucap Mas Faris yang sepertinya masih meragukan jawabanku. Mungkin ia mengira kalau ucapanku tadi hanya karena terpaksa. Hanya karena ingin membuat kecewa mantan suamiku. Aku mengulas senyum. "Syifa serius, Mas. Benar-benar serius! Kenapa? Mas Faris meragukan jawaban Syifa? Apa Mas Faris berpikir, kalau Syifa hanya ingin membuat sakit hati Mantan suami Syifa?" tebakku. "Bukan. Bukan itu, Fa!" ucapnya dengan memasang raut wajah bersalah."Sudahlah, Mas. Yang terpenting Syifa menerima cinta Mas Faris. Dan yang past
POV Sesil***Mulai hari ini, aku ikut pergi ke kantor milik keluargaku. Sebenarnya sudah sejak dulu Mama dan Papa memintaku untuk membantunya mengelola usaha mereka. Tapi apa boleh buat, aku sama sekali tertarik. Saat meneruskan pendidikan kuliah pun kuambil jurusan kedokteran, sesuai keinginanku.*********Hari berganti hari, hingga tak terasa dua bulan sudah aku ikut ke tempat usaha kedua orang tuaku. Selama itu pula aku tinggal di rumah Mama dan Papa. Sebenarnya, Mas Iwan selalu datang menemuiku. Tak hentinya pula dia terus menghiba dan memintaku untuk kembali. Namun sayang seribu sayang, tak ada niat sedikitpun untuk kembali dengannya. Entah kenapa nama Mas Iwan yang sempat bertahta di relung hati ini, lenyap dengan sendirinya.Mungkin, perlakuannya yang begitu membuatku tertekan mampu mengikis nama, sosok lelaki yang pernah membua
POV Sesil***"Sesil, apa yang dikatakan sama Papamu itu benar?" Tiba-tiba Mama melontarkan pertanyaan saat baru saja kuhenyakkan tubuhku di sofa ruang keluarga. "Soal apa, Ma?" tanyaku yang memang belum mengetahui Pokok permasalahan."Soal lelaki itu!" ketus Mama dengan memasang raut wajah yang sama sekali tak bersahabat. "Resky?" tebakku yang membuat Mama mengangguk membenarkan."Jangan terlalu buru-buru! Ingat, kamu itu sudah pernah menikah dua kali. Dua kali pula rumah tanggamu hancur. Mama nggak mau kamu menjanda untuk ketiga kalinya!" tegas Mama. Aku menoleh ke arah Papa. Beliau sedang duduk bersandar sembari membaca koran yang ada di hadapannya."Sesil kan bercerai karena memang ada alasannya, Ma. Mama mau hidup Sesil tak bahagia?" ucapku. Terlihat Papa melipat koran tersebut lalu meletakkan di meja."M
POV Syifa***"Sudah siap?" tanya Mas Faris saat baru saja kubuka daun pintu. Aku mengangguk sembari tersenyum. "Sudah, Mas." Dengan nada lirih kujawab pertanyaan Mas Faris."Yok kita berangkat!""Iya, Mas. Sebentar, aku pamit dulu sama Bu Fatimah." Bergegas aku menuju ke ruangan belakang. Menghampiri Bu Fatimah dan Reyhaan yang sedang bermain."Bu ... Syifa berangkat dulu ya," pamitku."Iya. Jangan pulang larut malam ya!""Iya, Bu. Siap!" Bergegas kuhampiri Reyhaan yang sedang memainkan robot-robotan kesukaannya. "Kamu beneran nggak mau ikut Bunda?" tanyaku pada Reyhaan."Enggak, Bunda. Kasihan Nenek di rumah sendirian." Dengan nada khas anak kecil Reyhaan menjawab. Terlihat Ibu mengulas senyum. Sungguh, hati ini terasa begitu terharu,
Tiga bulan kemudian.POV Sesil.***"Saya terima nikah dan kawinnya Sesil permata sari binti Rozik Gunawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai ...!""Bagaimana saksi? Sah ...?!""Sah!""Sah!""Sah!""Alhamdulillah ...."Terdengar penghulu memimpin do'a. Kuangkat kedua tanganku untuk mengaminkan do'a yang telah beliau lafadzkan.Akhirnya acara ijab Qabul telah usai. Tamu undangan pun silih berganti berpamitan, hingga menyisakan hanya keluarga inti dariku dan pihak keluarga Rezky."Selamat ya, Sayang, kamu sudah resmi menjadi menantu Mama!" ucap Mama mertua sembari memelukku. Aku mengangguk. Terasa Mama Widi melepaskan pelukannya lalu mengulas senyum saat menatapku.
POV Syifa.1 bulan kemudian."Done, sempurna ...!" ucap penata rias yang sudah beberapa jam yang lalu mulai mengaplikasikan kuas dan aneka make up di wajahku."Bagaimana Mbak hasilnya?" tanyaku."Cantik banget, Mbak ...," seru Mbak Elin, sang penata rias dengan begitu antusias."Mbak Syifa cantik banget! Aku yakin, pasti mempelai laki-laki tak akan rela untuk berkedip," lanjutnya yang membuatku tersipu malu."Yuk ganti baju dulu, Mbak."Akhirnya kuikuti perintah Mbak Elin. Dengan telaten, perempuan berusia tiga puluh tahun itu membantuku mengenakan kebaya untuk acara akad nikahku.Kebaya yang telah diberikan oleh Mama Mertua kemarin sore.Ya, hari ini adalah acara akad nikah pernikahanku bersama Mas Faris.
Aku beringsut dari ranjang dengan pelan, agar tidur kedua pangeranku tak terganggu.Aku mulai melangkah keluar kamar. Saat kaki ini terus melangkah, sayup-sayup kudengar suara Isak tangis.Kucari dari mana sumber suara tersebut. Langkahku terhenti tepat di depan kamar Bu Fatimah. Keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan.Seketika perasaan cemas mulai timbul. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan cepat kuraih handel pintu dan kubuka dengan kasar hingga membuat malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan sontak menoleh ke arahku.Melihat kehadiranku, tangis itu sudah tak terdengar lagi. Tangan Bu Fatimah bergegas mengusap bekas air mata.Aku melangkah cepat. Kuhampiri Bu Fatimah yang sedang terduduk di bibir ranjang. "Ada apa, Bu? Ibu sakit?" tanyaku dengan nada cemas. Namun yang kutanya hanya menggeleng
Mas Faris mengecup dengan lembut keningku. "Makasih ya, Sayang ...," ucapnya dengan pelan. Aku menoleh ke arah wajah lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Kenapa harus terima kasih?" balasku. Kuusap peluh yang membanjiri kening lelaki yang baru saja menikahiku.Tiba-tiba teringat kejadian beberapa menit yang lalu. Kututup mulutku untuk menahan tawa. Takut membangunkan Reyhaan yang sedang terlelap dalam tidurnya. "Kamu kenapa? Kok ketawa?" tanya Mas Faris. Terlihat keningnya berkerut dengan kedua alis yang saling bertautan."Nggak apa-apa, Mas," jawabku sembari berusaha agar bibir ini tak mengeluarkan suara. "Kenapa sih?!" Raut wajah itu terlihat penasaran."Jangan membuatku penasaran, Sayang ...." Tiba-tiba tangan Mas Faris menggelitik tubuhku hingga membuatku menggeliat. "Aduh, Mas, geli. Ntar Reyhaan bangun lagi loh!" ucapku yang membuat Mas Faris menghentikan
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki