"Jangan bicara seperti itu, Bu. Kasihan Naima," Mas Ilham membantah ucapan ibunya, dan malah membelaku, yang membuat hatiku semakin terharu. 'Terima kasih, Mas.' Baru kali ini Mas Ilham bersikap tegas pada ibunya.
Tapi, bukan Bu Ratih namanya kalau bisa ditentang oleh anak. Wanita yang telah melahirkan Mas Ilham itu tampak sangat marah. "Oh, jadi kamu lebih memilih istri mandulmu ini," ucapnya dengan tatapan sinis ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Ilham lagi. "Mulai hari ini juga, kamu bawa istrimu keluar dari rumah ini! Aku tak sudi melihatnya!" bentak Ibu mertua lagi dengan menunjuk ke arahku. Ya Allah, sakit sekali melihat pemandangan ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Mas Ilham."Kalau memang Ibu pengennya begitu, kami akan terima, karena aku tidak bisa meninggalkan Naima dan malah menikah dengan wanita lain," ucap Mas Ilham lagi semakin menegaskan pilihannya. Mendengar perkataan itu membuatku dilema. Aku sangat senang, tetapi aku juga sedih karena menjadi penyebab retaknya hubungan Mas Ilham dengan ibunya.Akhirnya, kami benar-benar keluar dari rumah ibu dan langsung menyewa satu rumah sederhana di ujung kota. Rumah yang cukup dekat dengan kantor tempat bekerja Mas Ilham."Mas, kenapa kamu lebih memilihku daripada ibumu sendiri?" tanyaku pada Mas Ilham sesaat setelah kami selesai berbenah rumah baru.Mas Ilham menatap lekat ke arahku. "Sejak Mas membawamu dari panti asuhan, Mas berjanji akan selalu menjagamu, Dek. Mas tidak akan menyakitimu," jawabnya yang membuat hatiku semakin bahagia."Tapi, Mas. Seharusnya Mas jangan bertengkar dengan ibu, karena bagaimanapun, surga Mas ada di bawah telapak kakinya.""Kalau Mas tidak membantah permintaan ibu, apa kamu siap dimadu?" tanya Mas Ilham dengan wajah serius. "Mas tidak ingin menyakitimu, Dek. Mas tahu harus patuh pada ibu, tapi kalau harus mengorbankan perasaanmu, Mas tidak bisa."Mendengar penuturan demi penuturan Mas Ilham membuatku semakin tersentuh. Ternyata begitu besar cintanya untukku sehingga menolak permintaan ibunya dan lebih mementingkan perasaanku."Terima kasih, Mas," ucapku pada Mas Ilham yang ditanggapi dengan anggukan."Sama-sama, Dek. Mas juga Terima kasih karena selama ini kamu sudah bisa menerima sikap kasar dari keluarga Mas. Mas tahu itu pasti sangat berat," balas Mas Ilham seraya memelukku. "Mas juga minta maaf ya, Dek? karena sudah membuatmu tidak nyaman dengan sikap ibu dan Nindi selama ini."Memang benar, selama aku masuk ke rumah ibu mertua, hanya dalam hitungan hari sikap mereka berubah kepadaku. Sikap yang dulunya manis berganti menjadi kasar dan sering menghina. Hanya karena Mas Ilham-lah, aku bisa melewati ini dengan penuh keyakinan."Tidak apa-apa, Mas. Selama Mas percaya padaku, aku akan selalu menerima semua keadaan yang terjadi."***Sudah hampir satu bulan aku dan Mas Ilham membangun rumah tangga di rumah kami sendiri. Walaupun di rumah kontrakan sederhana, yang jauh dari rumah ibu mertua dulu, tapi hatiku terasa lebih tenang di sini.Pastinya, karena aku tidak perlu repot-repot bangun pagi dan langsung masak banyak untuk sarapan bersama. Aku juga tidak lagi sibuk mencuci setumpuk pakaian kotor mereka. Walaupun selama ini aku melakukan itu dengan ikhlas, tapi hidup hanya berdua dengan Mas Ilham ternyata lebih bahagia. Bahagia karena bisa seenaknya, dalam arti harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah dulu, ya. Mulai dari memasak, menyapu, cuci piring, cuci baju, dan lain sebagainya. Setelah itu aku bisa santai sejenak, tanpa harus sungkan karena dipandang sinis oleh ibu mertua dan adik ipar lagi.Sejak kepindahan kami ke rumah ini, Mas Ilham belum ada mengunjungi orang tuanya. Beberapa kali aku mengajaknya, tapi Mas Ilham bersikeras menolak. Entah mengapa aku juga tidak tahu sebabnya. Seolah-olah pria itu sudha melupakan keluarganya.Melihat hal itu membuatku tidak nyaman. Aku yang sudah berbekal ilmu agama, walupun hanya sedikit merasa hal ini tidak pantas. Sebisa mungkin aku mencoba merayu Mas Ilham agar mau kuajak berkunjung ke rumah orang tuanya.Bberapa kali kuajak, akhirnya Mas Ilham mau menurut. Malam ini adalah rencana kami untuk berkunjung ke rumah ibu mertua. Karena jarak yang lumayan jauh, membuat kami berangkat dari rumah mulai sore hari sebelum magrib. Tepat adzan magrib, motor yang kami naiki berhenti di depan rumah ibu mertua.Aku mengetuk pintu seraya mengucap salam. Hingga beberapa menit kami menunggu, pintu rumah akhirnya dibuka juga. Padahal pintu tidak terkuci, tapi entah mengapa kami berdua merasa kikuk seperti sedang bertamu di rumah orang asing saja."Eh, Naima, Ilham," sapa ayah mertua menyambut kedatangan kami. "Bapak baru selesai sholat Magrib, jadi lama. Kenapa nggak langsung masuk aja dari tadi?"Mas Ilham segera menyalami ayahnya dengan hari. Tampak jelas di wajahnya raut kerinduan yang mendalam. Ia memeluk tubuh bapak dengan penuh kehangatan."Sudah, sudah. Masuklah dulu," titah Bapak tampak sangat tenang. "Ajak Naima masuk juga. Kalian pasti belum sholat Magrib, kan? Ayo, sholatlah dulu."Aku dan Mas Ilham menurut. Kami langsung beranjak menuju kamar mandi untuk berwudhu, kemudian bergegas melaksanakan sholat magrib berjamaah. Selepas aku dan Mas Ilham menyelesaikan sholat, tiba-tiba ibu muncul dari balik pintu dengan raut wajah yang sulit kuartikan, yang membuatku sangat penasaran. Sebenarnya ada apa dengannya?"Naima, ibu seneng banget kamu ke sini," ucap Ibu mertua dengan senyum penuh arti. Sangat-sangat tidak wajar, karena yang selama ini terjadi adalah sebaliknya. Tidak perlu kujelaskan lagi, kan? Karena kalian semua pasti juga sudah pada paham. Ibu tersenyum ke arahku sambil berkata dengan sangat lembut. "Kenapa baru ke sini sekarang? Padahal ibu sudah kangen banget sama kalian," ucapnya lagi, yang seharusnya aku sangat bahagia ketika mendengarnya,tapi entah mengapa hatiku terasa sangat janggal. Hati nurani yang terdalamku tidak membenarkan perubahan sikap ibu ini. Setelah menyapaku, ibu berjalan menghampiri putranya. "Ilham, maafkan ibu ya, Nak. Karena ibu sudah egois sama kalian, khususnya sama Naima." Ibu mengatakan itu dengan raut wajah sedih penuh penyesalan. Aku sih, masih berfirasat ini hanya drama saja. Pasti ada satu hal yang akan dimintanya dari Mas Ilham lagi, karena aku sudah paham betul bagaimana sikap dan watak ibu mertuaku ini. Ya Allah ... padahal niat awal ke sini ada
[Naima, bisakah kita bertemu?]Begitulah isi pesan singkat terakhir dari Malik yang tak kubalas lagi. Entah mengapa mengingat masa-masaku dengannya dulu membuatku jengkel. Aku yang saat itu merupakan anak baru di panti, selalu dikerjainya. Sebenarnya bukan pembullyan, hanya selalu menyuruhku mengambil alih jadwal tugas kesehariannya. Mulai dari nyapu halaman, hingga menyikat wc. Itu kulakukan karena dia memiliki buku diary rahasiaku, yang entah bagaimana caranya buku itu bisa jatuh di tangannya. Dan dia menggunakan beberapa lembar curhatan isi hatiku itu untuk mengancamku.Pasti kalian bertanya kenapa aku bisa patuh pada semua perintahnya hanya karena sebuah diary. Ya, aku memang lebay pada masa itu, menuliskan semua kejadian yang kualami secara detail di sana. Mulai dari hal yang kusuka, bagaimana aku menjalani hari, hingga satu jerawat yang tumbuh di wajah pun tak luput dari coretan tanganku. Karena memang aku sudah hobi menulis sejak SD, jadi kegemaranku itu yang membuatku menulisk
Ma-Malik?Kucoba menelisik wajah pria bertubuh dempal ini dengan seksama. Malik yang kukenal dulu kurus ceking, tapi kenapa tubuh pria ini, gemuk?Namun, semakin dilihat dari raut wajah memang sedikit ada kemiripan. Sepertinya memang benar dia adalah Malik. "Malik? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" Mendengar pertanyaanku ia malah tersenyum, dan tanpa permisi ia melangkah masuk ke rumahku. Aku bingung. Mau kuusir, tidak nyaman. Tapi jika kubiarkan Malik masuk, pasti Mas Ilham akan semakin marah padaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kemurkaan suamiku lagi. Masalah yang kemarin saja belum selesai, jika ditambah lagi maka akan semakin memanas. "Malik, tolong keluar dari rumahku." Aku tidak akan membiarkan hubunganku dengan Mas Ilham akan semakin kacau karena kedatangan Malik. "Lho? Kenapa?" tanya Malik dengan sangat santai. Ya, memang begitulah sikapnya sejak kecil. Tidak pernah memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain. "Maaf, suamiku tidak ada di rumah. Tolong k
"Astaghfirullah! Ini beneran Naima??" Aku memekik dengan rasa penasaran. Aku masih tidak percaya jika foto mesra yang kupegang ini adalah foto istriku bersama pria lain. Walaupun postur pria ini tampak sangat jauh dibandingkan, tapi kenapa Naima bisa berselingkuh dengannya? Apa mungkin dia kaya raya? Ya Allah ... Naima. "Benar, Mas. Itu Mbak Naima dan kekasihnya. Kalau tidak salah namanya Malik. Mereka sudah berpacaran sejak kecil, dan katanya mau balikan," jelas Nindi, adik perempuanku dengan penuh keyakinan. "Kamu tahu ini dari mana, Nin? Bukannya kamu tidak begitu menyukai Mbakmu? Jangan-jangan, kamu cuma mengada-ngada?" cecarku. Aku tidak ingin hanya mendengar omongan dari Nindi, membuat hatiku curiga pada Naima. Aku perlu bukti lain, karena Naima yang kukenal sepertinya tidak akan membohongiku. Mendengar penuturanku Nindi malah berdecih. "Ck! Dibilangin kok nggak percayaan sih, Mas. Aku tu dapat info ini dari pria itu langsung. Kemarin tidak sengaja ketemu saat pulang sekolah,
"Mulai saat ini juga aku talak kamu. Lakukan yang kamu mau, karena sekarang kamu bukan istriku."Hatiku luruh, gairahku lenyap. Membayangkannya saja tidak pernah, tapi tiba-tiba dengan sangat singkat aku menalak Naima. Bukan tanpa alasan, karena dia sudah berselingkuh di hadapanku. Aku adalah tipe pria yang menjunjung tinggi kesetiaan. Buktinya, walaupun Naima dinyatakan tidak subur oleh dokter, tapi aku tetap di sampingnya. Tetapi ini apa? Ya Allah ... sebenarnya sangat berat, tetapi hatiku tidak bisa berkompromi lagi dengan apa yang kulihat. Naima sudah benar-benar membuat sekeping hati ini hancur. Setelah mengucapkan kalimat itu, aku bergegas keluar rumah dengan membawa satu koper pakaianku. Akan lebih baik jika aku tinggal di rumah Ibu saja, karena saat ini Naima sudah bukan istriku. Berkali-kali Naima berusaha menghentikan langkahku, tapi tekadku sudah bulat. Tangisannya pecah seiring dengan langkahku menuju pintu rumah. "Mas, apa ini benar-benar akhir dari hubungan kita?" ta
"Iya, Melissa sudah menyukaimu sejak dulu. Dialah yang meminta ibu untuk memperkenalkan kalian." Jawaban Ibu membuat hatiku beegetar. Ternyata Melissa sudah lebih dulu menyukaiku sebelum aku mengenalnya. "Tapi, Bu. Dari mana Melissa kenal aku? Perasaanku, sebelum dia datang ke rumah pertama kali waktu itu, aku belum pernah bertemu dengannya.""Hmmm ... pasti kamu penasaran, kan?" goda Ibu yang membuatku tersipu. "Melissa itu anak temen Ibu, Ham. Asal kamu tahu, sebelum kamu menikah dengan Naima, sebenarnya Ibu akan menjodohkanmu dengannya. Kamu sih, terlalu percaya sama wanita tukang selingkuh itu." "Bu, jangan menjelekkan Nama seperti itu." Walaupun memang benar Nama selingkuh, tetapi aku tidak rela jika Ibu menghinanya. "Lha terus apa? Kan kita lihat sendiri dia pelukan sama pria lain," balas Ibu dengan nada penekanan. "Tapi ya sudahlah, toh kamu sudah pisah dengannya. Jadi, kamu dan Melissa bisa bersatu." Benar kata Ibu, hubunganku dengan Naima sudah benar-benar kandas. Menging
Hatiku luruh saat kuterima surat cerai dari pengadilan agama. Air mata sudah tak bisa kubendung lagi ketika kusaksikan tanda tangan Mas Ilham telah terukir di bawah namanya. Tanda tangan yang mewakili persetujuannya atas perceraian ini. Aku benar-benar masih belum bisa percaya jika statusku kini sudah menjanda.Mas Ilham ... kenapa kamu tega banget sama aku? Seharusnya kamu memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan semuanya dulu ....Pernikahan yang sudah kami bangun harus kandas di tengah jalan seperti ini hanya karena kesalahpahaman. Andai Mas Ilham mau mendengarkan penjelasan dariku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Ya Allah ... ini semua gara-gara Malik!Seharusnya sebagai teman dia tahu batasan dan menjaga keutuhan rumah tanggaku, tapi ini apa? Ia malah sengaja merusak pernikahanku dengan Mas Ilham. Ingin aku berteriak, meraung sekencang-kencangnya, tetapi percuma saja, karena di tanganku sudah terselip lembaran kertas tanda hancurnya rumah tanggaku. Aku tidak habis pikir
"Kamu Naima, kan?" tanya wanita cantik berlesung pipi yang baru saja menunjukkan arah ke toko. Terlihat wanita ini menatap lekat padaku sambil mengernyitkan dahi. Melihat wajah ayu itu tampak bingung membuatku berusaha keras mengingatnya. "Iya, aku Naima," jawabku. "Tapi maaf, kamu siapa?""Oh, ternyata kamu tinggal di sini? Kenapa aku nggak pernah liat kamu, ya?" tanyanya tanpa menjawab rasa penasaranku. Aku menangkap respon tidak suka dari raut wajahnya. Aku tersenyum padanya. "Iya, aku baru aja pindah ke sini," jawabku. "Maaf, kamu siapa? Apa kamu mengenalku?""Pantesan, baru liat sekarang," sahutnya. "Kamu mungkin nggak akan ingat aku, karena kita memang nggak dekat. Tapi, walaupun begitu, aku masih ingat sama kamu. Kita sempat satu sekolah dulu waktu SMA," jelas wanita itu seraya menoleh ke arah rumahku. "He, iya, maaf. Aku benar-benar lupa," balasku lagi. Sebenarnya keadaan ini sangat canggung. Aku merasa tidak enak padanya, karena kesulitan mengingat masa SMA dulu. "Aku Sa
POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda
Mas Hakim terbelalak. "Cowok!?""Lho, kenapa, Pak? Biasanya bapaknya pengen anak cowok. Ini kok malah kaget?" tanya Dokter Rossa diselingi tawa renyah. Aku hanya tersenyum melihat sikap Mas Hakim yang kebingungan, karena mimpinya semalam dan hasil pemeriksaan hari ini berbeda.Pria itu mendekat padaku seraya tersenyum. "Benar katamu, Dek. Mungkin mimpi Mas cuma bunga tidur karena terlalu semangat pengen ketemu anak kita.""Tapi Mas nggak kecewa, kan?" Kuamati wajah Mas Hakim yang kini sudah berdiri di sampingku."Enggaklah, Dek ... mau cowok atau cewek, yang penting sehat. Lahir dengan selamat. Itu sudah lebih dari cukup untuk Mas. Alhamdulillah, banyak di luaran sana pasangan yang mendambakan keturunan, tetapi tak kunjung dikabulkan," jelas Mas Hakim lagi yang kutanggapi dengan senyuman manis. "Jadi, karena mimpi punya anak perempuan?" Dokter Rossa yang sedari tadi diam ikut menyahut. "Hehe, iya, Dok. Cuma ingin memastikan saja," jawab Mas Hakim dengan sopan. Tidak sampai satu ja
Mas Ilham?!Aku benar-benar terperangah melihat mantan suamiku berdiri di halaman rumah. Dia sedang berbincang dengan Mas Hakim di sana. Tampak sangat serius yang membuatku semakin penasaran. Langkahku terhenti di depan jendela, tetapi aku masih tetap mengintai mereka. Mas Ilham tiba-tiba berlutut di hadapan Mas Hakim yang sedang berdiri di samping mobil. Seakan begitu merasa bersalah, hingga membuat Mas Ilham tidak memperdulikan celananya kotor terkena tanah. "Tolong beri kesempatan untuk saya, Pak! Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang sudah kuperbuat!"Mas Hakim berkacak pinggang. "Bagaimana caranya? Hah!?" Terlihat sombong sekali suamiku. Namun, aku tahu pasti ada hal yang membuatnya sangat marah begitu. "Saya akan mengganti semua uang yang sudah saya gunakan, Pak," balas Mas Ilham dengan tertunduk menyesal. Mas Ilham akan mengganti uang yang dipakainya? Apakah ini tentang apa yang dikeluhkan Mas Hakim kemarin? Tentang karyawan yang menggelapkan dana proyek?Mas Hakim be
"Sayang, hari ini jadi ke klinik, kan?" Mas Hakim yang habis salat subuh menghampiriku di dapur. Saat ini aku sedang menyeduh kopi untuknya. "Jadi, Mas." Aku menjawab dengan santai. Setelah kopi buatanku siap, aku meletakkannya di atas meja makan. "Ini kopinya, Mas.""Terima kasih, Sayang ...." Pria yang hampir setahun menikahiku ini tersenyum manis sambil mengelus-elus perut besarku. "Nanti kita ketemu lagi, Sayang. Papa nggak sabar deh, pingin lihat kamu," ucapnya dengan logat dibuat-buat seperti anak kecil. "Iya, Papa ... aku juga pengen banget ketemu sama Papa." Aku menyahut dengan ekspresi yang sama. Mas Hakim sama sekali tidak merasa lucu. Dia malah semakin bersemangat mengajak perutku berbicara. "Baik-baik di sana ya, Sayang. Jangan nakal! Nendangnya jangan kenceng-kenceng, nanti Mama bisa kesakitan.""Udah ah, Mas. Aku capek, mau duduk juga." Aku mengeluh seraya menarik kursi untukku duduk. "Oh, iya ... Tuan Putri, duduklah," balas Mas Hakim yang terus saja menyunggingk