Tanganku gemetar saat mendapati hasil yang begitu mengejutkan bagiku, karena kupikir akulah yang mandul. Namun, ternyata aku salah. Di lembar hasil pemeriksaan ini dengan jelas diterangkan bahwa Mas Ilham-lah yang tidak subur, bukan aku.
Aku harus senang atau bagaimana? Jika boleh diminta, aku dan Mas Ilham seharusnya mendapatkan hasil yang sama, tidak ada kemandulan di antara kami.Lama aku tertegun dan berpikir, hingga dokter Yuni kembali bersuara, "Bagaimana, Bu? Apakah Anda puas dengan hasilnya?"Hatiku luruh, walaupun keadaanku baik-baik saja, tapi aku takut kenyataan ini akan membuat Mas Ilham putus asa. Mengingat suamiku itu sudah sangat menginginkan keturunan.Ya Allah, aku harus bagaimana?"Bu ...." Dokter Yuni kembali memanggilku, yang membuatku langsung tersadar dari lamunan."Oh, maaf, Bu," sahutku seraya memutar otak. Aku tidak ingin melihat kekecewaan di wajah Mas Ilham. "Bu, apakah saya bisa meminta tolong sama Ibu?" tanyaku pada Dokter Yuni."Minta tolong apa? Bukankah hasil sudah keluar, dan Anda dinyatakan subur.""Bukan begitu, Bu. Jika boleh, saya ingin menukarkan hasil pemeriksaan ini," jelasku dengan memelas."Hah?" Dokter Yuni tampak sangat terkejut. "Apa Anda yakin?"Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Bu. Saya yakin, tapi tolong rahasiakan ini dari siapa pun."Kesepakatan dibuat. Dokter Yuni menyetujui permintaanku dengan syarat harus sama-sama menjaga rahasia, karena hal ini juga akan berimbas pada karir profesinya. Aku harus menjaga juga agar tidak ada yang tahu jika Dokter Yuni memalsukan hasil tes yang keluar.Keluar dari ruangan dokter aku langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ternyata ibu mertua sudah berdiri di depan pintu menungguku. Sepertinya wanita ini sudah tidak sabar melihat hasil tes yang kami lakukan.Padahal, sebenarnya aku ingin merahasiakan ini darinya, tapi aku lupa jika di rumah ini ialah yang berkuasa. Bagaimanapun, aku harus patuh padanya. Aku sudah sangat tahu, jika wanita ini pasti akan lebih membenciku jika dia membaca hasil tes yang kubawa. Namun, setidaknya aku bisa membuat hati Mas Ilham lega, karena bukan dia yang tidak subur. Aku harus memilih jalan ini agar Mas Ilham terus bersemangat menjalani hari."Benarkan? Kamu mandul? Ibu sudah menduga hal ini sejak awal!" cecar ibu mertua sesaat setelah membaca hasil tes yang ada di tangannya.Aku hanya diam tidak menanggapi ucapannya, karena saat ini yang sedang kupikirkan adalah perasaan Mas Ilham. Aku memang bodoh lebih mementingkan perasaan Mas Ilham daripada hinaan yang kudapatkan, tapi aku yakin betul jika Mas Ilham akan tetap membelaku dan melindungiku, sesuai janjinya padaku tempo hari. Aku percaya itu."Naila, Naima. Kamu ini, sudah tidak punya keluarga, mandul, pula! Apa yang bisa kami banggakan dengan menjadikanmu sebagai menantu kami, hah?!" Pedas sekali ucapan wanita ini, tapi sekali lagi aku tidak perduli."Maaf, Bu. Naima capek, mau istirahat." Tanpa menunggu jawaban dari wanita yang memasang wajah kesal itu, aku berlalu meninggalkannya masuk kamar. Sesekali aku mendengar ia memanggil namaku, tapi aku tidak menghiraukannya lagi. Aku masuk kamar, dan langsung mengunci pintu dari dalam. Hanya ruangan inilah satu-satunya tempat ternyaman bagiku jika saat-saat seperti ini terjadi.Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang, melihat atap dengan pikiran menerawang, hingga tak sadar mataku mulai terpejam."Hah?" Aku terkesiap dan langsung mengerjapkan kedua mata. Kudengar benda pipih yang berada di tasku berbunyi sangat nyaring membangunkan tidurku yang baru saja dimulai.Oh, ternyata Mas Ilham yang sedang menelponku. Karena kecapekan membuatku ketiduran, sehingga aku lupa untuk menghubungi Mas Ilham dan memberitahu tentang hasil pemeriksaan kami. Dengan cepat aku menjawab panggilan dari Mas Ilham."Dek, Mas sudah tahu hasilnya," ucap Mas Ilham dari seberang telepon. "Kamu yang sabar ya, Dek. Mas akan selalu mendampingimu," imbuhnya lagi yang membuat hatiku lega. Mas Ilham pasti tahu kabar ini dari ibu.Dan alhamdulillah, keputusan yang sudah kuambil tentang pertukaran has tes kami ternyata sangat tepat. Andai aku tidak menggantinya, Mas Ilham pasti bersedih dan terluka. Sekalipun dalam pikirannya saat ini percaya jika aku yang mandul, ia akan tetap bersamaku sesuai janjinya."Eh, iya, Mas. Aku tidak apa-apa," jawabku ragu. "Mas, maafkan aku yang tidak bisa memberikanmu keturunan. Padahal Mas pengen banget punya anak, kan?""Tidak apa-apa, Dek. Nanti pas Mas sudah selesai tugas, kita bisa adopsi anak dari panti asuhan," sahut Mas Ilham langsung dengan suara lembut, terasa ia ingin menguatkanku dari kejauhan. Aku tahu pasti saat ini ia juga sedang bersedih, tapi masih tetap ingin menghiburku."Iya, Mas." Aku mengangguk setuju.***"Apa?! Kalian mau ngadopsi anak??" Ibu memekik terkejut dengan keputusan Mas Ilham.Baru juga Mas Ilham sampai dari bertugas di luar kota, ia sudah tidak sabar mengutarakan niatnya pada ibu."Iya, Bu. Tolong pahami kondisi Naima," pinta Mas Ilham dengan wajah nelangsa."Tidak bisa! Ibu tidak terima! Pokoknya yang Ibu mau, cucu dari keturunanmu sendiri! Darah dagingmu sendiri!" Ibu menjawab dengan bentakan yang sangat lantang.Mas Ilham hanya bisa bernapas dalam-dalam. "Bu, masih ada Nindi kalau ibu ingin cucu ibu sendiri, nanti. Tapi tolong izinkan aku dan Naima mengadopsi anak untuk kami rawat," ucap Mas Ilham lagi ingin meyakinkan ibu."Tidak bisa! Pokoknya ibu maunya cucu ibu sendiri dari kamu!" balas ibu tak mau kalah. "Kalau perlu, kamu menikah lagi agar bisa memberikan ibu cucu.""Jangan bicara seperti itu, Bu. Kasihan Naima," Mas Ilham membantah ucapan ibunya, dan malah membelaku, yang membuat hatiku semakin terharu. 'Terima kasih, Mas.' Baru kali ini Mas Ilham bersikap tegas pada ibunya. Tapi, bukan Bu Ratih namanya kalau bisa ditentang oleh anak. Wanita yang telah melahirkan Mas Ilham itu tampak sangat marah. "Oh, jadi kamu lebih memilih istri mandulmu ini," ucapnya dengan tatapan sinis ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Ilham lagi. "Mulai hari ini juga, kamu bawa istrimu keluar dari rumah ini! Aku tak sudi melihatnya!" bentak Ibu mertua lagi dengan menunjuk ke arahku. Ya Allah, sakit sekali melihat pemandangan ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Mas Ilham."Kalau memang Ibu pengennya begitu, kami akan terima, karena aku tidak bisa meninggalkan Naima dan malah menikah dengan wanita lain," ucap Mas Ilham lagi semakin menegaskan pilihannya. Mendengar perkataan itu membuatku dilema. Aku sangat senang, tetapi aku juga sedih karena menj
"Naima, ibu seneng banget kamu ke sini," ucap Ibu mertua dengan senyum penuh arti. Sangat-sangat tidak wajar, karena yang selama ini terjadi adalah sebaliknya. Tidak perlu kujelaskan lagi, kan? Karena kalian semua pasti juga sudah pada paham. Ibu tersenyum ke arahku sambil berkata dengan sangat lembut. "Kenapa baru ke sini sekarang? Padahal ibu sudah kangen banget sama kalian," ucapnya lagi, yang seharusnya aku sangat bahagia ketika mendengarnya,tapi entah mengapa hatiku terasa sangat janggal. Hati nurani yang terdalamku tidak membenarkan perubahan sikap ibu ini. Setelah menyapaku, ibu berjalan menghampiri putranya. "Ilham, maafkan ibu ya, Nak. Karena ibu sudah egois sama kalian, khususnya sama Naima." Ibu mengatakan itu dengan raut wajah sedih penuh penyesalan. Aku sih, masih berfirasat ini hanya drama saja. Pasti ada satu hal yang akan dimintanya dari Mas Ilham lagi, karena aku sudah paham betul bagaimana sikap dan watak ibu mertuaku ini. Ya Allah ... padahal niat awal ke sini ada
[Naima, bisakah kita bertemu?]Begitulah isi pesan singkat terakhir dari Malik yang tak kubalas lagi. Entah mengapa mengingat masa-masaku dengannya dulu membuatku jengkel. Aku yang saat itu merupakan anak baru di panti, selalu dikerjainya. Sebenarnya bukan pembullyan, hanya selalu menyuruhku mengambil alih jadwal tugas kesehariannya. Mulai dari nyapu halaman, hingga menyikat wc. Itu kulakukan karena dia memiliki buku diary rahasiaku, yang entah bagaimana caranya buku itu bisa jatuh di tangannya. Dan dia menggunakan beberapa lembar curhatan isi hatiku itu untuk mengancamku.Pasti kalian bertanya kenapa aku bisa patuh pada semua perintahnya hanya karena sebuah diary. Ya, aku memang lebay pada masa itu, menuliskan semua kejadian yang kualami secara detail di sana. Mulai dari hal yang kusuka, bagaimana aku menjalani hari, hingga satu jerawat yang tumbuh di wajah pun tak luput dari coretan tanganku. Karena memang aku sudah hobi menulis sejak SD, jadi kegemaranku itu yang membuatku menulisk
Ma-Malik?Kucoba menelisik wajah pria bertubuh dempal ini dengan seksama. Malik yang kukenal dulu kurus ceking, tapi kenapa tubuh pria ini, gemuk?Namun, semakin dilihat dari raut wajah memang sedikit ada kemiripan. Sepertinya memang benar dia adalah Malik. "Malik? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" Mendengar pertanyaanku ia malah tersenyum, dan tanpa permisi ia melangkah masuk ke rumahku. Aku bingung. Mau kuusir, tidak nyaman. Tapi jika kubiarkan Malik masuk, pasti Mas Ilham akan semakin marah padaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kemurkaan suamiku lagi. Masalah yang kemarin saja belum selesai, jika ditambah lagi maka akan semakin memanas. "Malik, tolong keluar dari rumahku." Aku tidak akan membiarkan hubunganku dengan Mas Ilham akan semakin kacau karena kedatangan Malik. "Lho? Kenapa?" tanya Malik dengan sangat santai. Ya, memang begitulah sikapnya sejak kecil. Tidak pernah memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain. "Maaf, suamiku tidak ada di rumah. Tolong k
"Astaghfirullah! Ini beneran Naima??" Aku memekik dengan rasa penasaran. Aku masih tidak percaya jika foto mesra yang kupegang ini adalah foto istriku bersama pria lain. Walaupun postur pria ini tampak sangat jauh dibandingkan, tapi kenapa Naima bisa berselingkuh dengannya? Apa mungkin dia kaya raya? Ya Allah ... Naima. "Benar, Mas. Itu Mbak Naima dan kekasihnya. Kalau tidak salah namanya Malik. Mereka sudah berpacaran sejak kecil, dan katanya mau balikan," jelas Nindi, adik perempuanku dengan penuh keyakinan. "Kamu tahu ini dari mana, Nin? Bukannya kamu tidak begitu menyukai Mbakmu? Jangan-jangan, kamu cuma mengada-ngada?" cecarku. Aku tidak ingin hanya mendengar omongan dari Nindi, membuat hatiku curiga pada Naima. Aku perlu bukti lain, karena Naima yang kukenal sepertinya tidak akan membohongiku. Mendengar penuturanku Nindi malah berdecih. "Ck! Dibilangin kok nggak percayaan sih, Mas. Aku tu dapat info ini dari pria itu langsung. Kemarin tidak sengaja ketemu saat pulang sekolah,
"Mulai saat ini juga aku talak kamu. Lakukan yang kamu mau, karena sekarang kamu bukan istriku."Hatiku luruh, gairahku lenyap. Membayangkannya saja tidak pernah, tapi tiba-tiba dengan sangat singkat aku menalak Naima. Bukan tanpa alasan, karena dia sudah berselingkuh di hadapanku. Aku adalah tipe pria yang menjunjung tinggi kesetiaan. Buktinya, walaupun Naima dinyatakan tidak subur oleh dokter, tapi aku tetap di sampingnya. Tetapi ini apa? Ya Allah ... sebenarnya sangat berat, tetapi hatiku tidak bisa berkompromi lagi dengan apa yang kulihat. Naima sudah benar-benar membuat sekeping hati ini hancur. Setelah mengucapkan kalimat itu, aku bergegas keluar rumah dengan membawa satu koper pakaianku. Akan lebih baik jika aku tinggal di rumah Ibu saja, karena saat ini Naima sudah bukan istriku. Berkali-kali Naima berusaha menghentikan langkahku, tapi tekadku sudah bulat. Tangisannya pecah seiring dengan langkahku menuju pintu rumah. "Mas, apa ini benar-benar akhir dari hubungan kita?" ta
"Iya, Melissa sudah menyukaimu sejak dulu. Dialah yang meminta ibu untuk memperkenalkan kalian." Jawaban Ibu membuat hatiku beegetar. Ternyata Melissa sudah lebih dulu menyukaiku sebelum aku mengenalnya. "Tapi, Bu. Dari mana Melissa kenal aku? Perasaanku, sebelum dia datang ke rumah pertama kali waktu itu, aku belum pernah bertemu dengannya.""Hmmm ... pasti kamu penasaran, kan?" goda Ibu yang membuatku tersipu. "Melissa itu anak temen Ibu, Ham. Asal kamu tahu, sebelum kamu menikah dengan Naima, sebenarnya Ibu akan menjodohkanmu dengannya. Kamu sih, terlalu percaya sama wanita tukang selingkuh itu." "Bu, jangan menjelekkan Nama seperti itu." Walaupun memang benar Nama selingkuh, tetapi aku tidak rela jika Ibu menghinanya. "Lha terus apa? Kan kita lihat sendiri dia pelukan sama pria lain," balas Ibu dengan nada penekanan. "Tapi ya sudahlah, toh kamu sudah pisah dengannya. Jadi, kamu dan Melissa bisa bersatu." Benar kata Ibu, hubunganku dengan Naima sudah benar-benar kandas. Menging
Hatiku luruh saat kuterima surat cerai dari pengadilan agama. Air mata sudah tak bisa kubendung lagi ketika kusaksikan tanda tangan Mas Ilham telah terukir di bawah namanya. Tanda tangan yang mewakili persetujuannya atas perceraian ini. Aku benar-benar masih belum bisa percaya jika statusku kini sudah menjanda.Mas Ilham ... kenapa kamu tega banget sama aku? Seharusnya kamu memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan semuanya dulu ....Pernikahan yang sudah kami bangun harus kandas di tengah jalan seperti ini hanya karena kesalahpahaman. Andai Mas Ilham mau mendengarkan penjelasan dariku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Ya Allah ... ini semua gara-gara Malik!Seharusnya sebagai teman dia tahu batasan dan menjaga keutuhan rumah tanggaku, tapi ini apa? Ia malah sengaja merusak pernikahanku dengan Mas Ilham. Ingin aku berteriak, meraung sekencang-kencangnya, tetapi percuma saja, karena di tanganku sudah terselip lembaran kertas tanda hancurnya rumah tanggaku. Aku tidak habis pikir
POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda
Mas Hakim terbelalak. "Cowok!?""Lho, kenapa, Pak? Biasanya bapaknya pengen anak cowok. Ini kok malah kaget?" tanya Dokter Rossa diselingi tawa renyah. Aku hanya tersenyum melihat sikap Mas Hakim yang kebingungan, karena mimpinya semalam dan hasil pemeriksaan hari ini berbeda.Pria itu mendekat padaku seraya tersenyum. "Benar katamu, Dek. Mungkin mimpi Mas cuma bunga tidur karena terlalu semangat pengen ketemu anak kita.""Tapi Mas nggak kecewa, kan?" Kuamati wajah Mas Hakim yang kini sudah berdiri di sampingku."Enggaklah, Dek ... mau cowok atau cewek, yang penting sehat. Lahir dengan selamat. Itu sudah lebih dari cukup untuk Mas. Alhamdulillah, banyak di luaran sana pasangan yang mendambakan keturunan, tetapi tak kunjung dikabulkan," jelas Mas Hakim lagi yang kutanggapi dengan senyuman manis. "Jadi, karena mimpi punya anak perempuan?" Dokter Rossa yang sedari tadi diam ikut menyahut. "Hehe, iya, Dok. Cuma ingin memastikan saja," jawab Mas Hakim dengan sopan. Tidak sampai satu ja
Mas Ilham?!Aku benar-benar terperangah melihat mantan suamiku berdiri di halaman rumah. Dia sedang berbincang dengan Mas Hakim di sana. Tampak sangat serius yang membuatku semakin penasaran. Langkahku terhenti di depan jendela, tetapi aku masih tetap mengintai mereka. Mas Ilham tiba-tiba berlutut di hadapan Mas Hakim yang sedang berdiri di samping mobil. Seakan begitu merasa bersalah, hingga membuat Mas Ilham tidak memperdulikan celananya kotor terkena tanah. "Tolong beri kesempatan untuk saya, Pak! Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang sudah kuperbuat!"Mas Hakim berkacak pinggang. "Bagaimana caranya? Hah!?" Terlihat sombong sekali suamiku. Namun, aku tahu pasti ada hal yang membuatnya sangat marah begitu. "Saya akan mengganti semua uang yang sudah saya gunakan, Pak," balas Mas Ilham dengan tertunduk menyesal. Mas Ilham akan mengganti uang yang dipakainya? Apakah ini tentang apa yang dikeluhkan Mas Hakim kemarin? Tentang karyawan yang menggelapkan dana proyek?Mas Hakim be
"Sayang, hari ini jadi ke klinik, kan?" Mas Hakim yang habis salat subuh menghampiriku di dapur. Saat ini aku sedang menyeduh kopi untuknya. "Jadi, Mas." Aku menjawab dengan santai. Setelah kopi buatanku siap, aku meletakkannya di atas meja makan. "Ini kopinya, Mas.""Terima kasih, Sayang ...." Pria yang hampir setahun menikahiku ini tersenyum manis sambil mengelus-elus perut besarku. "Nanti kita ketemu lagi, Sayang. Papa nggak sabar deh, pingin lihat kamu," ucapnya dengan logat dibuat-buat seperti anak kecil. "Iya, Papa ... aku juga pengen banget ketemu sama Papa." Aku menyahut dengan ekspresi yang sama. Mas Hakim sama sekali tidak merasa lucu. Dia malah semakin bersemangat mengajak perutku berbicara. "Baik-baik di sana ya, Sayang. Jangan nakal! Nendangnya jangan kenceng-kenceng, nanti Mama bisa kesakitan.""Udah ah, Mas. Aku capek, mau duduk juga." Aku mengeluh seraya menarik kursi untukku duduk. "Oh, iya ... Tuan Putri, duduklah," balas Mas Hakim yang terus saja menyunggingk