Sungguh, Akarsana tidak dapat mengatakan apa-apa. Tentu saja Akarsana terkejut, begitu pun dengan Sofia yang sedari tadi hanya mendengarkan saja. Napas Diana memburu. Kedatangannya kemari tentu ingin menuntut pertanggungjawaban dari Renjana. Padahal dia sudah datang kemari bersama Pelangi, tapi Renjana terus menghindar dan menghindar. Diana tidak meminta apa-apa dari Renjana—selain untuk menikahinya, tapi Diana seolah mengemis belas kasih lelaki itu. Bayi di dalam perutnya bukan bayi siapa-siapa kecuali milik Renjana. Diana tidak pernah melakukan hubungan semacam itu dengan lelaki selain Renjana! Jadi Diana dengan lantang mengatakan kalau bayi itu adalah anak Renjana! "Ma ... ini benar? Renjana, cepat jawab!" bentak Akarsana pada adik lelakinya. Renjana hanya diam mematung seperti orang bodoh. Walau dibentak Akarsana, dimaki dan ditekan oleh Diana, Renjana tidak berniat memberikan jawaban yang Akarsana mau. "Aku tidak mau tahu. Kamu harus tanggung jawab, atau kalau tidak, aku aka
Ketika Pelangi tiba di rumah Akarsana, perempuan itu tidak menemukan siapa-siapa di pos satpam. Biasanya akan ada Pak Udin yang menyapa, dan menyambut kedatangannya dengan ramah, tapi Pelangi tidak menemukan lelaki setengah baya itu di dalam posnya. Pelangi mendengar suara ribut-ribut dari luar. Dia mengenali suara itu sebagai suara Diana—sang adik. Pelangi tidak buang-buang waktu. Dengan cepat Pelangi berlari menuju ke dalam, berusaha menghentikan kekacauan yang dibuat oleh Diana hari ini. Sementara di dalam rumah Maheswara, Diana berusaha menyerang Renjana, tapi dihalangi oleh Prita yang berdiri di tengah-tengah Diana dan Renjana. Diana mencak-mencak, karena Renjana tidak berusaha menjelaskan kepada keluarganya. Sama halnya dengan Renjana, Prita pun bungkam saat ditanya kebenaran dari kata-kata Diana. Prita hanya menjelaskan kalau Diana adalah adiknya Pelangi. Cuma itu saja. "Tante jangan diam saja! Cepat jelaskan kepada mereka di sini kalau Renjana bersalah! Dan yang aku kataka
Sofia ikut berduka atas kehilangan yang Diana alami. Sebagai saudara Renjana, Sofia ikut merasakan rasa bersalah. Mungkin, ia akan membawa perasaan ini sampai selamanya. Di dalam kepalanya secara otomatis akan terus mengingat kejadian pagi ini di rumah. Akarsana semula menundukan kepalanya, lantas mendongak seiring mendengar suara tangis dan jeritan Diana di dalam ruang perawatannya. Akarsana meraup wajahnya dengan kasar. Tidak dia sangka kalau Renjana akan melakukan hal sefatal ini. Akarsana tidak tahu menahu awalnya. Andai saja Diana tidak datang ke rumah, mungkin Akarsana dan Sofia tetap tidak akan mengetahuinya. Lelaki itu merasakan kursi di sebelahnya bergerak, ternyata Sofia beranjak dari kursi hendak mendekat ke pintu ruangan Diana. Akarsana menahan lengan Sofia, kemudian menggelengkan kepalanya. "Biarkan Pelangi saja yang menenangkan Diana," tutur Akarsana lembut. "Jika Diana melihat kamu, maka secara otomatis Diana akan bertambah sedih." Gadis itu duduk kembali ke kursin
Sofia mengejar langkah Ardian yang cepat. Gadis itu heran kenapa Ardian kelihatan seperti orang yang panik."Aduh! Kenapa dia cepat sekali jalannya, sih!" Beberapa kali Sofia hampir saja jatuh tersandung, karena mengejar langkah lelaki di depannya. Bagaimana Ardian tidak terkejut? Dia pikir Sofia ada di rumah sakit, karena Akarsana sembuh atau apa atau mungkin ada saudaranya yang tengah dirawat di rumah sakit ini. Tapi ternyata, Ardian menemukan fakta paling mengejutkan. Bagaimana bisa ... ya, Tuhan! Ardian benar-benar tidak habis pikir. Diana mengalami apa katanya ... keguguran? "Kak—" Sofia melambaikan sebelah tangannya kepada Akarsana. Kakak dan adik tersebut kelihatan sama-sama bingung. Apa lagi ketika Akarsana dan Ardian tanpa sengaja saling melempar tatap, Akarsana mengenali Ardian. Tentu saja, karena Ardian—salah satu perawat—yang merawatnya dulu ketika masih sakit. "Dia ... bukannya?" Satu jari Akarsana menunjuk pada Ardian yang menerobos masuk ke dalam ruang perawatan Di
Setelah pamit kepada Pelangi dan Ardian, Akarsana dan Sofia pun memutuskan untuk pulang saja karena hari sudah semakin sore. Tampaknya, Pelangi dan Ardian terlibat obrolan yang sangat serius—antar keluarga. Sebagai orang luar, Akarsana dan Sofia tidak ingin ikut campur. Mereka tahu kapan akan berbicara atau tidak. Di sepanjang perjalanan, Akarsana hanya diam membisu. Tatapannya fokus tertuju ke depan, sesekali menengok ke kanan dan kiri. Sofia bisa merasakan ada kemarahan pada diri Akarsana sekarang. Tidak pernah sekali pun Sofia melihat Kakak tertuanya merasa begitu marah sekaligus sangat merasa bersalah. Jujur, Sofia pun berada di posisi serba salah. Di satu sisi Sofia sangat membenci tindakan Renjana. Namun di sisi lain, Sofia juga tidak tega melihat Diana yang menangis histeris kehilangan calon bayinya. Ditambah lagi perdebatan antara Pelangi dan Ardian. Ardian, lelaki itu bersikeras akan menghubungi Danurdara, Ayah Pelangi dan Diana untuk mengabari hal ini. Sementara itu Diana
Malam telah tiba, Pelangi baru saja tiba di rumahnya setelah bertemu dengan Ardian. Saat memasuki rumah, Pelangi melihat Hadyan—sang adik tengah mengerjakan pekerjaan rumahnya di ruang keluarga dengan televisi yang menyala. Pelangi duduk di salah satu sofa, membuat Hadyan yang menyadari keberadaan Pelangi pun langsung menatap sang kakak. "Kakak dari mana?" tanya Hadyan pada Pelangi. "Tadi kakak bertemu Kak Ardian, tugas sekolah kamu sudah selesai?" Pelangi bertanya balik, ia menengok sedikit ke buku PR Hadyan. "Belum, sebentar lagi selesai, Kak. Ini aku sedang mengerjakannya," ucap Hadyan. Pelangi mengangguk, ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Pelangi kembali terduduk, ia ikut duduk di samping Hadyan, tepatnya di karpet bulu yang terasa empuk saat diduduki. Pelangi mengintip PR yang sedang Hadyan kerjakan. Pelangi juga menaruh tas yang tadi ia bawa ke atas meja yang kosong. "Ada yang susah tugas sekolahmu?" tanya Pelangi. "Ini, aku sama sekali tidak mengerti bagaimana p
Di dapur, Pelangi sedang mencuci piring usai mereka sarapan bersama. Pelangi bersenandung kecil sambil menuangkan sabun cuci piring di spons kemudian meremas spons itu hingga mengeluarkan busa, ia mulai mencuci piring itu hingga bersih. Danurdara yang mendengar senandung kecil dari Pelangi ketika ia kebetulan ingin pergi ke dapur pun menghampiri putrinya, merasa penasaran tentang apa yang membuat putrinya terlihat bahagia seperti itu. Sangat jarang sekali Pelangi bersenandung seperti itu, hal itu menimbulkan rasa penasaran di hati Danurdasa. Kira-kira ada hal apakah yang membuat Pelangi yang jarang bernyanyi tiba-tiba saja menyanyi? "Sepertinya putri Ayah sedang senang, apa yang membuat kamu senang seperti itu?" Pelangi menoleh ke arah sang ayah ketika ayahnya bertanya demikian. "Tidak ada, Ayah, aku hanya ingin bernyanyinya saja," ucap Pelangi sambal menyengir. "Kamu yakin tidak ada apa-apa? Tidak ada yang kamu sembunyikan 'kan dari Ayah?" tanya Danurdara pada sang putri.
Siang itu, kantin di kantor Akarsana tampak ramai. Setiap meja telah terisi penuh. Sebagian staff yang tidak kebagian tempat duduk jadi berdiri di tengah jalan sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Berharap ada satu kursi kosong yang bisa dia duduki. Di salah satu meja—yang ada di tengah-tengah kantin paling heboh sendiri. Secara tidak sopan para staff itu sedang bergosip tentang perempuan yang datang ke kantor dan mencari Akarsana. Perempuan yang dimaksud oleh para stafftidak lain, dan tak bukan adalah Pelangi. Ya, kedatangan Pelangi ke kantor Akarsana siang ini menimbulkan banyak tanda tanya di kepala para staff. Karena selain Amora, tentu mereka tidak tahu kalau Pelangi adalah seseorang yang khusus diundang oleh bos mereka. Sesungguhnya, Amora tidak tahu pasti Pelangi ini siapa. Kedudukannya apa, kenapa Prita sangat menggebu-gebu ketika memintanya menyampaikan pesan pada Akarsana untuk mengantar sebuah buket bunga mahal lengkap dengan alamat Pelangi. "Dilihat dari pe
Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak
"Dan kau gagal." Akarsana menatapnya dalam, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. "Aku tahu kau masih mencintaiku, Pelangi. Aku bisa melihatnya di matamu." Pelangi menggeleng dengan cepat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan. "Tidak," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Akarsana. Akarsana mengulurkan tangannya, ingin menghapus air mata itu, tapi Pelangi mundur selangkah, membuat jarak di antara mereka. "Aku akan bertunangan dengan Damar," katanya dengan suara yang lebih tegas, seakan ia mengatakannya bukan hanya untuk Akarsana, tapi juga untuk dirinya sendiri. Akarsana terdiam, dadanya terasa sesak. "Lalu kenapa kau menangis?" tanyanya dengan suara lirih. Pelangi menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak ingin bertunangan dengan Damar, bahwa hatinya masih terikat pada Akarsana, tapi ia tidak bisa. Ia tidak boleh. Tanpa menjawab, ia berbalik dan membuka pintu, meninggalkan Akarsana yang masih berdiri di sana dengan ekspresi hancur.
Dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Pelangi membeku di tempat. Hatinya berdebar begitu kencang saat matanya bertemu dengan mata Akarsana. Pria itu berdiri di antara kerumunan, mengenakan jas hitam yang tampak sedikit longgar di tubuhnya seperti seseorang yang kehilangan berat badan. Wajahnya lebih tirus dari yang terakhir kali Pelangi lihat. Namun, sorot matanya tetap sama. Penuh luka. Akarsana tidak bergerak, hanya menatapnya dalam diam. Pelangi mengeraskan hatinya dan segera mengalihkan pandangan. Ini tidak seharusnya terjadi. Akarsana tidak seharusnya ada di sini. Tapi pertanyaannya adalah siapa yang mengundangnya? Di tengah kebingungan, Diana tiba-tiba muncul di sampingnya dan berbisik pelan, "Aku tidak mengundangnya, Pelangi. Aku juga terkejut dia datang." Pelangi menelan ludah. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya. "Aku akan pura-pura tidak melihatnya," katanya lirih. Diana menatapnya ragu, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, masalahnya adalah
Malam itu, Akarsana tidak bisa tidur. Kata-kata Sofia terus terngiang di kepalanya."Jika kau masih mencintainya, pergilah cari dia!"Akarsana tidak bisa menahan keinginan untuk mencari tahu. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil ponselnya, dan membuka kontak lama yang tak pernah ia hapus.Pelangi.Jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggil.Namun, ia ragu."Bagaimana jika dia tidak mau bicara denganku?""Bagaimana jika dia sudah bersama pria lain?"Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.Akhirnya, ia hanya menatap nama itu di layar ponselnya, sebelum akhirnya menghela napas dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.Mungkin, Sofia benar. Ia harus menemui Pelangi. Bukan hanya untuk memohon kesempatan kedua, tetapi untuk mengatakan hal yang selama ini tidak sempat ia katakan, bahwa ia mencintainya.Bahwa ia menyesali semuanya. Dan bahwa ia ingin memperbaikinya.Keesokan paginya, Akarsana mendatangi rumah sakit dimana Ardian bekerja. Ardian adalah satu-satunya o