Keadaan hening seketika, kepergian Pak Andy malah membuat keadaan semakin hening dan canggung. Tentu saja Pelangi merasa tertekan benar-benar tertekan sampai ia bingung harus melakukan apa untuk saat ini."Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang sudah Kayla perbuat," ucap Prita. Pergerakan Prita membuat semua orang menoleh termasuk Akarsana yang tadinya hanya diam. Kecewa dan marahnya Prita membuatnya memilih untuk pergi ke kamar disusul oleh Renjana di belakangnya. Pelangi sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, namun beberapa saat berlalu tiba-tiba Sofia menghampirinya sambil tersenyum."Hai, aku Sofia," sapa Sofia memperkenalkan diri kepada Pelangi."Aku Pelangi," sahut Pelangi sambil berusaha untuk tersenyum. Ia menatap ke arah Sofia mungkin hanya Sofia saja yang ramah padanya di sini. Dilihat dari sikapnya ketika berbicara dengan Pelangi."Apa kamu baik-baik saja, Pelangi?" Pertanyaan Sofia benar-benar membuat hati Pelangi langsung berantakan. Ia jela
Setelah keluar dari rumah Kayla, Pelangi begitu terlihat sedih. Apa yang Akarsana katakan begitu membekas di hatinya, ia tidak bisa melihat Akarsana membencinya, Pelangi tidak mau sampai itu terjadi. Diperjalanan pulang, Pelangi bahkan tidak berhati-hati dan sempat beberapa kali menabrak orang-orang yang berlalu lalang di jalan. Beberapa kali juga Pelangi dimaki-maki oleh mereka karena tidak berhati-hati dan Pelangi tahu itu adalah kesalahannya dan tidak mempermasalahkan mereka mau memaki Pelangi sejahat apa, bahkan di halte bus pun Pelangi masih bisa meneteskan air matanya. Namun, ia segera menghapus air mata itu agar orang-orang tidak semakin memandangnya aneh. Beberapa saat kemudian, Pelangi mendapatkan bus untuk kembali pulang. Ia hanya diam dan berharap bisa secepatnya sampai di rumah untuk menenangkan pikirannya. Sesampainya di rumah, Pelangi langsung masuk ke dalam dan bertemu dengan Danurdara yang tengah berada di dapur. "Kamu sudah pulang, Pelangi?" tanya Danurdara masih t
Suasana seketika hening, Sofia atau bahkan Akarsana sendiri sama-sama diam. Setelah percakapan barusan mereka semakin canggung dan Sofia hanya bisa duduk terdiam sambil sesekali melirik ke arah Akarsana. Sofia buru-buru berbalik ke arah Akarsana, menatap lelaki itu dengan tatapan dalam membuat Akarsana yang ditatap mengerutkan keningnya. "Apa?" tanya Akarsana bingung. Namun Sofia hanya diam dan terus memperhatikan Akarsana dan tentu saja malah membuat Akarsana sendiri tidak nyaman. Beberapa kali Sofia mengerutkan keningnya seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ada apa, Sofia?" tanya Akarsana lagi dan lagi. Ia jelas tidak tahu apa yang sedang Sofia lakukan dan pikirkan. "Aku masih bingung tentang kebencianmu pada Pelangi. Kenapa kamu begitu membencinya? Padahal aku sudah mengatakan jujur tentang tanggapan pribadiku soal Pelangi," jawab Sofia. Akarsana menghembuskan napasnya lelah, jadi sudah beberapa menit lamanya ia mengatakan semuanya, tapi Sofia juga belum mengerti arah dari
Sebagai saudara kembar Kayla tentu Prita merasa tidak terima karena harta warisan saudaranya jatuh ke tangan orang lain. Apa lagi orang tersebut tidak memiliki hubungan darah. Jelas Prita mencak-mencak. Prita bukan satu-satunya keluarga Kayla. Melainkan Kayla memiliki tiga orang keponakan, tapi di antara tiga orang anak Prita hanya Akarsana yang mendapatkan warisan. Itu pun cuma sepuluh persen. Sementara Pelangi yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan wanita itu malah mendapatkan delapan puluh persen dari keseluruhan harta Kayla. Bahkan perusahaan yang kini dipimpin oleh Akarsana telah menjadi milik Pelangi. Prita mendengus marah. Kesal sekali rasanya mengingat fakta itu. Entah apa yang ada di pikiran Kayla ketika menuliskan surat wasiatnya kepada Pak Andy. Pak Andy pula, kenapa tidak diingatkan klien-nya? Seharusnya sebagai pengacara, Pak Andy juga menjadi penasihat. Prita merasa keduanya benar-benar menyebalkan. Sementara itu Renjana duduk melamun di tepi ranjang bersama sang
Akarsana sempat mematung untuk beberapa saat kemudian. Ia tidak mengira ibunya akan meminta pertolongan semacam ini. Akarsana sama sekali tidak berpikir ibunya bertindak sejauh ini. Menikahi perempuan asing itu? Yang benar saja, Akarsana tidak mungkin menikahi perempuan yang tidak ia cintai. Bagaimana bisa Akarsana mencintai Pelangi yang baru ia temui sekali? Akarsana masih mencintai Naomi. Berharap perempuan itu kembali suatu hari nanti. Prita dan Renjana saling melirik satu sama lain. Renjana mulai kesal, karena sang Kakak tidak kunjung memberikan respons. Akarsana cukup jawab saja mau atau tidak, kenapa kakaknya itu malah menghabiskan waktu mereka dengan melamun seperti orang bodoh. Di luar kamar Akarsana, Sofia berharap Akarsana tidak mengiyakan permintaan Ibu mereka. Menurut Sofia, cara yang dilakukan Prita sudah sangat keterlaluan. Demi sebuah warisan, Prita melakukan berbagai cara termasuk menipu perempuan polos seperti Pelangi. Sofia meremas kelima jarinya. Sofia menjadi s
Ardian makan malam bersama keluarga Pelangi. Hadyan sangat senang jika Ardian sering datang ke rumahnya, karena Ardian datang tidak pernah dengan tangan kosong. Lelaki itu akan selalu membawakan Hadyan banyak makanan enak. Danurdara tidak kalah senang seperti Hadyan. Ia merasakan suasana di meja makan menjadi lebih hangat karena keberadaan Ardian. Mereka makan malam sembari mengobrol ringan. Entah menanyakan kesibukan Ardian selama bekerja di rumah sakit atau yang paling sering menggoda Hadyan yang banyak makan. "Tidak apa-apa Hadyan. Kamu banyak makan supaya tambah besar," ujar Ardian sambil mengusap rambut hitam Hadyan. Hadyan mengunyah makanannya dengan lahap. "Tapi kata Kak Diana, aku makan dengan rakus!" Seketika suasana meja makan menjadi berubah lebih hening. Semua orang di meja makan menatap ke arah Diana yang sejak tadi diam dan cemberut saja. Jujur saja Danurdara tidak menyukai sikap Diana yang satu ini. Di saat orang lain menikmati makan malam sembari mengobrol, Diana
Pak Andy dan Pelangi sama-sama terdiam, apa yang dikatakan Pelangi membuat Pak Andy juga sedikit merasa bingung. Bukankah seharusnya Pelangi senang menerima harta warisan dari Kayla? Tapi sekarang Pelangi malah ingin mengembalikan harta warisan itu. Pelangi sesekali melirik ke arah Pak Andy yang terdiam, melihatnya berjalan menjauhi Pelangi, lalu kembali membawa sebuah kotak beludru berwarna hitam. "Pelangi," panggil Pak Andy. Pelangi mendongakkan kepalanya, ditatapnya Pak Andy dengan tatapan bingung. "Ya, Pak?" "Saya tahu kamu bingung sekarang, tapi gunakanlah kartu atm ini untuk membeli sesuatu yang kamu butuhkan atau jika kamu membutuhkan uang, kamu bisa memakainya." Pelangi awalnya terdiam, ia jelas semakin bingung dengan apa yang Pak Andy lakukan. "Tenang saja ini milik Bu Kayla, Pelangi. Maksud saya selama kamu bingung, kamu bisa menggunakan kartu ini terlebih dahulu," lanjut Pak Andy menjelaskan. "Baiklah, Pak. Saya menerima kartu atm ini." Pelangi menerimanya dan Pak
Tidak pernah Pelangi sangka, Akarsana akan menghubunginya lebih dulu. Walau sekadar mengucapkan rasa terima kasihnya, Pelangi sudah cukup senang. Pesan yang Akarsana kirim berbunyi, "Terima kasih sudah menjadi pendonorku, ya? Aku harap suatu hari kita bisa bertemu walau cuma sekali saja." Senyum di bibir Pelangi mengembang seketika. Ia memeluk ponselnya seolah itu adalah Akarsana. Jangan ditanya seberapa senang Pelangi membaca pesan yang ditulis oleh Akarsana sendiri. Tidak pernah ia bayangkan sebelumnya akan ada interkasi di antara mereka berdua walau cuma lewat online saja. Namun, senyum Pelangi tidak bertahan lama, karena setelahnya senyum Pelangi perlahan memudar ketika teringat sikap Akarsana kepadanya beberapa hari yang lalu ketika ia berada di rumah mendiang Kayla saat Pak Andy membacakan surat wasiat Kayla. Akarsana tampak dingin, sama sekali tidak bersahabat, padahal Pelangi berharap lelaki itu bersikap sedikit baik padanya. Andai saja Akarsana tahu orang mendonorkan hati
Pelangi berdiri di depan rumah yang pernah ia tinggali bersama Akarsana, hatinya terasa berat. Rumah itu kini hanya menjadi tempat penuh kenangan pahit, dan ia tidak ingin berlama-lama di sana. Namun, masih ada beberapa barangnya yang tertinggal, dan ia tidak ingin meninggalkan apa pun yang bisa menjadi alasan baginya untuk kembali lagi ke tempat ini.Di sampingnya, Diana berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh ketidaksenangan."Kak, kau yakin ingin masuk?" tanya Diana dengan nada tak setuju. "Aku bisa saja menyuruh seseorang mengambil barang-barangmu. Kau tidak perlu ke sini lagi."Pelangi tersenyum lemah. "Aku hanya ingin memastikan semuanya sudah kubawa. Setelah ini, aku tidak akan punya alasan lagi untuk kembali."Diana mendesah, tetapi akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi kita harus cepat."Mereka masuk ke dalam rumah, suasana di dalam terasa berbeda—lebih dingin, lebih kosong. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah Pelangi coba ciptakan di rumah ini.Mereka seger
Malam semakin larut, tapi rumah Danurdara masih dipenuhi dengan ketegangan. Setelah tangisnya mulai mereda, Pelangi duduk di sofa dengan mata sembab, tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang dibuat oleh Diana. Namun, teh itu tetap utuh, ia bahkan tidak punya tenaga untuk menyesapnya.Danurdara duduk di hadapannya, menatap putrinya dengan sorot penuh keprihatinan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi sejak awal. Pernikahan Pelangi dan Akarsana memang bukan didasarkan pada cinta, dan sekarang terbukti bahwa hanya Pelangi yang benar-benar menyerahkan hatinya.“Jadi, kau ingin bagaimana sekarang?” tanya Danurdara dengan nada hati-hati.Pelangi menatap cangkirnya kosong, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Ayah.”Danurdara menghela napas panjang. “Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau.”Diana yang duduk di samping Pelangi langsung menimpali, “Kak Pelangi tidak akan kembali ke rumah itu, kan? Setelah apa yang mereka lakukan padamu?”Pelangi terdiam sejenak, lalu akhirnya
Pelangi hampir tidak bisa merasakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Seluruh dunianya terasa goyah, seolah gravitasi tidak lagi berpihak padanya. Air mata masih terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat.Begitu pintu kamar terbuka, Diana yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. Matanya melebar saat melihat kondisi kakaknya.“Pelangi?”Pelangi tidak menjawab. Ia berjalan masuk dengan langkah gontai, lalu duduk di pinggir tempat tidur, tangannya gemetar saat mencoba menghapus air mata yang terus jatuh.Diana buru-buru bangkit dan berlutut di hadapan Pelangi, menggenggam tangannya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?”Pelangi menggeleng pelan, tapi isakannya semakin terdengar jelas. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara tangisnya, tetapi tetap saja gagal.Diana semakin panik. Ia tidak pernah melihat Pelangi seperti ini. Kakaknya selalu terlihat kuat, selalu berusaha tegar. Tapi sekarang, Pelangi tampak begitu rapuh, begitu hancur.
Akarsana berdiri terpaku di balkon, menatap punggung Pelangi yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk mengejar, tetapi tubuhnya tetap diam.Ia menghela napas berat. Apa yang sebenarnya ia inginkan?Naomi adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ingin ia nikahi dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah perasaan itu masih sama?Lalu ada Pelangi. Istrinya. Wanita yang selama ini selalu berada di sisinya, meskipun ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Akarsana sadar bahwa ia takut kehilangannya.Tapi apakah itu cinta? Atau hanya perasaan bersalah?***Pelangi masuk ke dalam kamar dengan napas tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena emosinya begitu membuncah. Matanya panas, tapi ia menolak menangis.Ia sudah cukup menangis selama ini.Pelangi menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita yang lelah, terluka, tetapi juga penuh dengan kemarahan.Kenapa ia harus bertahan dalam p
Pelangi berdiri di luar ruangan dengan tubuh menegang. Napasnya tercekat saat melihat Naomi mencium suaminya. Jantungnya berdegup kencang, seolah menolak kenyataan yang terbentang di depan matanya.Darah di tubuhnya terasa dingin, tetapi ia tetap berdiri di sana, menunggu dan berharap Akarsana akan menolak.Di dalam ruangan, Akarsana akhirnya tersadar dan segera mendorong tubuh Naomi menjauh.“Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar marah, tetapi juga sedikit terguncang.Naomi menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”Akarsana mengusap wajahnya dengan frustasi. “Naomi, kau tidak bisa begitu saja kembali dan berharap semuanya sama seperti dulu.”Naomi tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Aku masih mencintaimu, Akarsana. Bukankah kau juga begitu?”Akarsana terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Naomi yakin bahwa pria itu masih menyimpan perasaan untuknya.Tapi sebelum Akarsana bisa menjaw
Pelangi mengusap wajahnya, mencoba menenangkan debaran cemas di dadanya. “Aku tidak tahu, Diana. Apa yang harus aku lakukan?”Diana menggenggam tangan kakaknya lebih erat. “Pertama-tama, kau harus membuka mata. Jangan membiarkan Naomi mengambil kesempatan. Dia tinggal di rumahmu, itu sudah cukup buruk. Jangan biarkan dia lebih jauh masuk ke dalam pernikahanmu.”Pelangi mendesah, menatap kosong ke meja di hadapannya. “Aku sudah mencoba menjaga jarak darinya, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di rumahku sendiri. Akarsana dan Naomi mereka punya begitu banyak kenangan bersama. Aku hanya datang belakangan.”Diana menatap kakaknya dengan sorot tajam. “Lalu kau mau membiarkan dia merebut suamimu begitu saja?”Pelangi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan yang seperti ini, Diana.”Diana mengembuskan napas kasar. “Kak, kalau kau menyerah, berarti kau benar-benar memberikan Akarsana pada Naomi. Aku tahu kau mencintainya, kan?”Pelangi terdiam. Ya,
Di rumah sakit, Renjana masih terbaring koma. Mesin-mesin medis berbunyi pelan, satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup. Prita duduk di sampingnya, menggenggam tangan anaknya dengan air mata yang terus mengalir."Kamu harus bangun, Nak. Ibu ada di sini," bisiknya dengan suara bergetar.Di belakangnya, Akarsana berdiri dengan ekspresi dingin. Berbeda dengan ibunya yang larut dalam kesedihan, ia tampak lebih fokus pada sesuatu yang lain."Dokter bilang dia bisa sadar kapan saja," kata Akarsana pelan. "Tapi kita harus siap jika sesuatu terjadi."Prita menoleh dengan mata penuh harap. "Kau pikir dia akan baik-baik saja?"Akarsana tidak langsung menjawab. ***Ruang keluarga itu dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung. Pelangi duduk di sofa dengan segelas teh di tangannya, sementara Diana bersandar dengan bantal di punggungnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.“Aku masih tidak percaya Renjana mengalami kecelakaan itu,” ujar Pelangi, mengaduk teh tanpa minat.Diana terkekeh, su
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b
Pelangi berjalan menuju taman belakang, mencoba menenangkan pikirannya. Udara sore yang sejuk seharusnya bisa meredakan kegelisahannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Naomi. "Aku kembali untuk memastikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah berubah." Apa maksudnya? Apa Naomi benar-benar berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di sisi Akarsana? Pelangi meremas jemarinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh ketakutan, tapi bagaimana bisa, jika bahkan ibu mertuanya tampak lebih memilih Naomi? "Kenapa kau terlihat begitu muram?" Pelangi tersentak dan menoleh. Akarsana berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Bukti bahwa Akarsana tetap di sisinya. Bukti bahwa perasaannya tidak akan goyah hanya karena Naomi kembali. "Kau diam saja," kata Akarsana, berjalan mendekat. "Apa ada yang mengganggumu?" Pelangi menghela napa