Di perjalanan ke rumah Kayla, perasaan Pelangi benar-benar kacau. Ia bahkan begitu takut dengan apa yang akan terjadi nanti. Pelangi tentu saja tahu apa yang akan terjadi, jika ia di sana, ia sangsi jika semuanya akan baik-baik saja.Sesampainya di depan rumah Kayla, seperti biasa Pelangi begitu ragu untuk masuk ke dalam. Ia beberapa kali untuk kembali saja ke rumah, tapi hati kecilnya mengatakan, jika Pelangi harus masuk ke dalam. Tentu saja dengan hati-hati Pelangi langsung masuk ke dalam rumah Kayla dengan raut wajah kaku. Bagaimana jika ia bertemu dengan Akarsana nanti?Tidak, itu bukan yang harus Pelangi pikirkan sekarang yang harus ia pikirkan sekarang adalah bagaimana ia harus bertindak ketika orang-orang menatapnya dengan tatapan tidak menyenangkan.Setibanya di dalam rumah, Pelangi bertemu dengan Prita yang sedang menyiapkan makanan. Prita menaruh berbagai macam masakan ke atas meja membuat Pelangi semakin takut untuk masuk."Pelangi? Kamu sudah datang?" tanya Prita dengan ra
Matahari siang menyinari wajah Sofia dengan lembut saat ia melangkah keluar rumah. Pandangannya tertuju pada dua sosok yang sedang berjalan pelan di sepanjang teras depan rumah. Pelangi dan Akarsana, kakaknya, berjalan beriringan namun menjaga jarak.Sofia mengerutkan keningnya. Dengan langkah cepat, Sofia menghampiri mereka. Kehadirannya membuat keduanya terkejut. Akarsana terlonjak kecil, matanya membulat. "Sofia!" seru Akarsana.Sofia menarik tangan Akarsana dan berjalan agak menjauh dari Pelangi. "Kakak, jangan menyakiti perasaan Pelangi.""Sofia, aku tidak melakukan itu. Kamu pikir aku sejahat itu. Aku memang tidak menyukai keberadaan Pelangi di sini," jawabnya dengan suara pelan."Baiklah." Sofia merasa lega. "Aku harap kamu tidak perlu menuruti keinginan Mama."Sofia kemudian pergi. Akarsana berjalan mendekati Pelangi dan mengajaknya duduk di kursi di teras depan. Akarsana menatap Pelangi membuat jantung gadis itu berdebar sangat cepat. Ini pertama kalinya Pelangi bisa sedek
Renjana dengan tatapan tidak percayanya menatap ke arah Diana. Apa yang dikatakan Diana jelas membuat Renjana kalang kabut. "Apa? Kamu hamil?" tanya Renjana.Diana terdiam ketika melihat ekspresi tidak percaya Renjana pada dirinya. Apa lelaki itu tidak mau bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia lakukan? "Aku akan memberikan buktinya jika kamu tidak percaya, Renjana. Aku tidak main-main tentang hal penting seperti ini," jawab Diana kesal luar biasa dengan sikap Renjana."Jangan-jangan kamu bermain dengan lelaki lain dan malah meminta pertanggung jawaban dariku?" Tuduhan tanpa bukti Renjana membuat Diana begitu kesal. Ia bahkan berharap jika Renjana akan menerimanya dengan mudah, tapi apa yang Diana dapatkan?Tentu saja yang Diana dapatkan hanya tatapan tidak percaya Renjana dan tuduhan tidak mendasar yang lelaki itu jadikan alasan. Diana tidak habis pikir, kenapa Renjana begitu jahat padanya? Bahkan Diana sudah selalu berusaha untuk membuat Renjana bahagia."Apa kamu masih tidak
"Sialan!" umpat Naomi kasar. Perempuan itu sangat marah sekarang. Ia baru saja mendapati sang Suami berselingkuh dengan perempuan lain! Naomi pulang ke rumah dengan perasaan tidak keruan. Istri mana yang tidak marah kalau tahu suaminya ternyata selingkuh?! Mereka sudah menikah, seharusnya suaminya setia kepadanya. Tapi apa yang dilakukan lelaki itu? Mengkhianati cintanya! Naomi ingin sekali membunuh lelaki itu dan selingkuhannya, tapi Naomi tidak mungkin melakukannya. Karena selain merugikan dirinya, Naomi bisa berurusan dengan hukum. Ia bisa berakhir membusuk di penjara, karena sudah membunuh dua orang sekaligus. Naomi mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Perempuan itu memukul-mukul bantalnya dengan kasar, meluapkan emosinya kepada benda-benda di atas ranjangnya. Hati Naomi benar-benar sakit sekali. "Dia pikir, hanya dia yang bisa selingkuh dengan orang lain?" gerutu Naomi. Ia jadi teringat dengan Akarsana. Walau pesan-pesan lelaki itu tidak pernah Naomi balas, rupanya Akarsan
Di perjalanan pulang, Pelangi masih mencerna apa yang terjadi di rumah Kayla. Sebenarnya ia belum terlalu yakin apalagi ini menyangkut tentang Akarsana. Jelas apa yang terjadi benar-benar membekas di hati Pelangi, hal yang tidak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Namun, tidak dipungkiri Pelangi begitu bahagia. Lebih tepatnya hatinya yang bahagia, Akarsana sudah satu langkah mengenal Pelangi, memberikan apa yang tidak pernah Pelangi pikirkan sebelumnya.Ya, kecupan singkat itu masih terasa. Bahkan Pelangi mulai meraba pipinya sendiri merasakan bagaimana sentuhan hangat itu ia rasakan. Bagaimana rasanya ketika Akarsana mendekatinya, memberikan mawar berwarna pink itu. Sesampainya di rumah, Pelangi masih membayangkan Akarsana mencium pipinya. Entahlah, bayangan itu selalu hadir dan dapat Pelangi rasakan secara langsung meskipun kejadian itu sudah berlalu."Pelangi?" Danurdara yang melihat Pelangi seperti tengah bahagia mengerutkan keningnya bingung."Ayah? Kenapa belum tidur?" "Ayah be
"Pelangi akan datang malam ini," ujar Prita, begitu Akarsana memasuki rumah sehabis pulamg dari kantornya. Akarsana yang baru saja meletakkan tas kerjanya, hanya mampu mengangguk lemah. "Benarkah? Hari ini?" tanyanya, berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. Prita mengangguk. "Iya. Jangan lupa bersikap manis!" Akarsana menghela napas panjang. Ia merasa tidak nyaman dengan harapan ibunya dan tekanan untuk menjalin hubungan lebih jauh dengan Pelangi. "Aku tahu. Tenang saja!" Pelangi melangkah masuk ke rumah Akarsana dengan hati berbunga. Aroma kayu manis dan kopi hangat menyambutnya. Akarsana, dengan senyum hangat, menyambutnya di pintu. "Selamat datang, Pelangi!" Pelangi tersenyum malu. "Terima kasih, Akarsana!" Sore itu, mereka menghabiskan waktu bersama. Pelangi menyiapkan camilan ringan, sementara Akarsana memilih film untuk ditonton bersama. Mereka duduk berdampingan di sofa, saling berdekatan. Pelangi sesekali melirik Akarsana yang fokus pada layar televisi, hati
"Kak, Kenapa? Kak Pelangi kenal dengan Renjana?" tanya Diana heran. Pelangi tidak percaya. Namun yang ia lihat memang kenyataan. Sesuai dengan dugaan Pelangi, Renjana pacar Diana adalah adiknya Akarsana. Anak kedua dari Prita. Tidak pernah Pelangi sangka akan terjadi hal seperti ini. "Kak," tegur Diana semakin bingung. Pelangi bisa merasakan dorongan pada bahunya oleh Diana. Sesaat, Pelangi kehilangan kesadarannya. Pelangi berusaha mengatur napas dan memberitahu pada Diana, siapa Renjana sebenarnya. "Kak, jawab aku!" seru Diana mulai tidak sabaran. "Aku kenal dengan Renjana, bahkan aku tahu di mana rumah lelaki itu," gumam Pelangi. "Apa?" desis Diana tidak percaya. Bagaimana Pelangi bisa tahu tentang Renjana? Bahkan tahu alamat rumah Renjana. Apa yang membuat Pelangi begitu yakin kenal dengan lelaki itu? "Tidak mungkin," gumam Diana menolak untuk percaya. Hati kecil Diana seolah tidak terima sang Kakak mengenali Renjana. Diana lebih mengenali Renjana selama ini, tap
"Kak Pelangi, tunggu." Diana menahan lengan sang Kakak. Kini, kedua perempuan itu telah berada di rumah Maheswara. Diana menatap rumah di depannya dengan seksama. "Kakak yakin ini rumahnya Renjana?" tanya Diana menatap Pelangi tak percaya, karena ia sering ke rumah ini untuk menjemput dan mengantarkan pakaian kotor.Pelangi mengangguk. Ia menurunkan tangan Diana yang memegangi lengannya. "Sudah, Diana. Jangan banyak membuang waktu!" Tidak biasanya Pelangi menjadi sangat marah. Biasanya perempuan itu hanya akan diam dan tidak banyak melakukan apa-apa, tapi kali ini ia tidak memilih diam. Adik perempuan satu-satunya dihamili seorang lelaki dan faktanya, lelaki itu adalah Renjana, salah satu anggota keluarga Maheswara yang beberapa kali ia temui di rumah itu. Langkah Diana ragu. Dalam kepala Diana, ia takut—mereka akan diusir oleh satpam di rumah itu, karena menerobos masuk ke dalam begitu saja. "Non Pelangi," sapa Pak Udin dari dalam pos satpam yang berada di dekat gerbang rumah.
Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak
"Dan kau gagal." Akarsana menatapnya dalam, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. "Aku tahu kau masih mencintaiku, Pelangi. Aku bisa melihatnya di matamu." Pelangi menggeleng dengan cepat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan. "Tidak," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Akarsana. Akarsana mengulurkan tangannya, ingin menghapus air mata itu, tapi Pelangi mundur selangkah, membuat jarak di antara mereka. "Aku akan bertunangan dengan Damar," katanya dengan suara yang lebih tegas, seakan ia mengatakannya bukan hanya untuk Akarsana, tapi juga untuk dirinya sendiri. Akarsana terdiam, dadanya terasa sesak. "Lalu kenapa kau menangis?" tanyanya dengan suara lirih. Pelangi menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak ingin bertunangan dengan Damar, bahwa hatinya masih terikat pada Akarsana, tapi ia tidak bisa. Ia tidak boleh. Tanpa menjawab, ia berbalik dan membuka pintu, meninggalkan Akarsana yang masih berdiri di sana dengan ekspresi hancur.
Dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Pelangi membeku di tempat. Hatinya berdebar begitu kencang saat matanya bertemu dengan mata Akarsana. Pria itu berdiri di antara kerumunan, mengenakan jas hitam yang tampak sedikit longgar di tubuhnya seperti seseorang yang kehilangan berat badan. Wajahnya lebih tirus dari yang terakhir kali Pelangi lihat. Namun, sorot matanya tetap sama. Penuh luka. Akarsana tidak bergerak, hanya menatapnya dalam diam. Pelangi mengeraskan hatinya dan segera mengalihkan pandangan. Ini tidak seharusnya terjadi. Akarsana tidak seharusnya ada di sini. Tapi pertanyaannya adalah siapa yang mengundangnya? Di tengah kebingungan, Diana tiba-tiba muncul di sampingnya dan berbisik pelan, "Aku tidak mengundangnya, Pelangi. Aku juga terkejut dia datang." Pelangi menelan ludah. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya. "Aku akan pura-pura tidak melihatnya," katanya lirih. Diana menatapnya ragu, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, masalahnya adalah
Malam itu, Akarsana tidak bisa tidur. Kata-kata Sofia terus terngiang di kepalanya."Jika kau masih mencintainya, pergilah cari dia!"Akarsana tidak bisa menahan keinginan untuk mencari tahu. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil ponselnya, dan membuka kontak lama yang tak pernah ia hapus.Pelangi.Jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggil.Namun, ia ragu."Bagaimana jika dia tidak mau bicara denganku?""Bagaimana jika dia sudah bersama pria lain?"Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.Akhirnya, ia hanya menatap nama itu di layar ponselnya, sebelum akhirnya menghela napas dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.Mungkin, Sofia benar. Ia harus menemui Pelangi. Bukan hanya untuk memohon kesempatan kedua, tetapi untuk mengatakan hal yang selama ini tidak sempat ia katakan, bahwa ia mencintainya.Bahwa ia menyesali semuanya. Dan bahwa ia ingin memperbaikinya.Keesokan paginya, Akarsana mendatangi rumah sakit dimana Ardian bekerja. Ardian adalah satu-satunya o