“Anda memanggil kami?”
Aku bertanya pada Ratu Samirana. Ia mengangguk lalu menunjuk kursi di hadapannya sementara ia berdiri di dekat jendela. Di kursi lain duduk Lord Caelus, Flaresh dan Lynx. Aku dan Ashlyn mengangguk lalu duduk di kursi yang masih kosong. Firroke melorot turun dari pundakku dan duduk di pegangan kursi.
“Aku telah berusaha mencari informasi mengenai kalung Ibu kalian dan bagaimana bisa ia memilikinya. Tapi sayangnya aku tidak bisa memberikan kalian kabar yang lebih baik.”
Aku mengangguk. Entah mengapa aku seakan tidak terkejut dengan berita yang disampaikan oleh Ratu Samirana.
“Akan tetapi,” Suara Ratu Samirana membuatku kembali fokus. “Ada kemungkinan yang sangat besar orang tua kalian berada di dunia ini, sama seperti kalian.”
“Benarkah?”
Aku sudah memikirkan kemungkinan itu sejak kami pertama kali tiba di sini. Tapi perkataan Ratu Samirana telah benar-benar mey
“Apakah tidak apa-apa?” Tanya Firroke. Ada kekhawatiran dalam suaranya. Ratu Samirana menatapnya dengan pandangan geli. “Tentu saja tidak apa-apa. Aku tidak mungkin mengirim Axel dan Ashlyn ke dalam bahaya bukan?” Alis Ratu Samirana bertaut “Memangnya ada apa Firroke?” Firroke menggesek-gesekkan kakinya dengan canggung. Ia menjawab sambil menunduk dengan mata menatap ke ujung kakinya. “Aku dengar mereka berbahaya. Mereka juga tidak mau berhubungan dengan peri lain.” Ratu Samirana tertawa. “Dari mana kau dengar tentang hal itu? Mereka Asra, bukan Darkash. Mereka tidak semenakutkan itu.” Ratu Samirana memutar bola matanya jenaka. “Yah, walaupun bagian mereka tidak mau berhubungan dengan peri lain sedikit benar.” “Siapa Peri Asra itu?” Tanya Ashlyn. “Saya sepertinya pernah mendengar nama itu disebut sebelumnya.” Ratu Samirana menatap Ashlyn. “Ya. Itu saat kita diserang Darkash setelah keluar dari Erde. Tapi sepertinya mere
“Kita beristirahat di sini?” Tanya Ashlyn. Flaresh mengangguk. Kami segera turun dari kuda kami dan melepaskan mereka agar mereka dapat mencari makan. Tanpa suara, Lynx menghilang entah kemana. Tapi aku yakin ia sedang memeriksa keadaan sekitar. Flaresh dan Ashlyn bersama Firroke yang bersembunyi di kantong mantelnya berjalan menuju Danau Suila sementara aku bergegas menuju pohon besar yang seingatku adalah pohon yang kami gunakan beristirahat saat pertama kali kami bertemu Era dan Esen. Kuletakkan barang bawaanku lalu duduk bersandar di batang pohon. Aku lelah sekali. “Kalian lama sekali.” Tiba-tiba sebuah suara menyambutku saat aku baru saja hendak menutup mata. Aku begitu terkejut sampai hampir terguling dari dudukku. Aku memandang tidak percaya ke Era dan Esen yang tiba-tiba muncul dari balik pohon. “Apa yang kalian lakukan disini?” Seruku setengah histeris. Esen hanya nyengir sambil keluar dari persembunyiannya. Era mengekor dari belakang sambil
“Berapa lama lagi perjalanan yang harus kita tempuh?” Tanya Esen suatu malam saat kami sedang berkumpul mengelilingi api unggun setelah makan malam.“Apa kau sudah tidak sanggup meneruskan perjalanan? “ Tanya Flaresh.“Tentu saja aku masih sanggup. Aku hanya ingin tahu. “ Jawab Esen tidak mau kalah. “Kita sudah melakukan perjalanan selama sebelas hari. Itu artinya kita telah menempuh jarak hampir dua ratus karaj.”“Ternyata kau cukup pandai juga dalam berhitung.” Hanya itu reaksi yang diberikan Flaresh“Dua ratus apa?” ulangku.“Karaj. “ Kata Era berusaha membantuku.“Seberapa jauh itu?”“Ada beberapa satuan ukuran di dunia ini. Yang terkecil adalah iku. Cara menghitungnya adalah dengan menyatukan kedua tangan kita di depan dada lalu kita ukur panjangnya dari siku yang satu ke siku yang lainnya. ““Yang kedua adalah
"Tempat apa ini?” Aku mengedarkan pandangan berkeliling. Kami sampai di sebuah hutan yang sunyi.“Ini adalah Hutan Sendalu.”“Apakah ini bagian dari Lembah Dalu?”“Ya. Ini adalah bagian terluar lembah.”Seperti yang telah diberitahu oleh Flaresh sebelumnya, tempat di hadapan kami ini sama sekali tidak tampak istimewa. Alamnya tampak normal. Tanamannya tampak biasa. Langitnya juga sama saja. Sama sekali tidak mencerminkan betapa legendaris nya ia.“Tempat ini benar-benar terlalu biasa.” Kata Esen sambil memandang seluruh penjuru hutan. Yang lainnya mengangguk menyetujui.“Bukankah aku sudah mengatakannya pada kalian?”“Aku tahu. Tapi,”Perkataan Esen terpotong. Ada keraguan dalam nada suaranya.“Kau tidak menyangka bahwa tempat yang sangat terkenal ini akan sebiasa ini?” Tanyaku. Esen mengangguk. Aku meringis. “Jika peri yang m
Entah sudah yang keberapa kalinya aku melihat ujung lembah tempat Flaresh menghilang tadi. Ia memasuki Lembah Dalu tepat saat hari berganti senja. Namun hingga bulan bulat sempurna muncul dan bersinar di langit malam, sosoknya tak kunjung terlihat. Aku mulai sedikit khawatir. Selain karena Flaresh pergi seorang diri juga karena aku takut perjalanan jauh kami akan sia-sia. Aku takut Bangsa Asra yang sangat membatasi interaksi dengan peri lain tersebut, menolak dan tidak bersedia membantu kami. Aku mendongakkan kepalaku menyadari kegelapan yang berangsur lebih pekat. Langit tiba-tiba berubah mendung sementara awan tebal berarak menutup rembulan. “Apakah akan hujan?” Tanyaku pada Lynx. Aku tidak pernah mengalami hujan sejak pertama kali sampai disini. Lynx yang sedang menikmati makananya mendongak ke langit, namun tiba-tiba ia menegakkan badan. Matanya menatap waspada. “Ada apa?” Tanyaku. Rasa was-was tiba-tiba menyelinap d
“Jangan mendekat.” Kataku. Suaraku sedikit bergetar. Aku bergeser sedikit, menempatkan tubuhku diantara dia dan Ashlyn. “Kalian ini memang menyusahkan. Tidak bisakah kalian menurut dan ikuti saja kami?” kata Darkash itu. Suaranya rendah dan parau, menambah kesan licik padanya. “Apa yang kalian inginkan dari kami?” Darkash itu memicingkan mata hijaunya. “Sejujurnya aku juga ingin mengetahui hal yang sama. Kalian sama sekali tidak terlihat istimewa.” Lalu ia mengangkat bahu acuh. “Ah, seperti aku peduli saja. Aku hanya melaksanakan perintah.” “Perintah siapa?” Tanya Ashlyn. “Apakah jika kusebut namanya kalian mengenalnya?” Ia mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. Ia maju selangkah. Membuatku mengambil langkah mundur, mendorong Ashlyn di belakangku. Kulebarkan tanganku sedikit, berusaha menutupi Ashlyn. Rasa takut menyelinap dalam diriku. Tapi aku tidak bisa membiarkannya mendekati Ashlyn. Matanya yang menyala ber
Kiwa menyerang kami dengat tanaman dan pepohonan yang ada di hutan. Meskipun Era berhasil menghancurkan semua, dan aku juga membantu semampuku, tapi Era telah kehabisan tenaga. Bertarung sambil melindungiku adalah tugas ganda yang berat.Kiwa kembali menyerang sambil melecutkan batang-batang berduri ke arah kami. Hingga salah satunya mengenai Era dan membuatnya tersungkur dan kesulitan berdiri.Tergopoh-gopoh aku menghampirinya.“Era.”Era menatapku.“Kau pergilah. Cari tempat berlindung bersama Ashlyn dan Firroke.”“Tidak, tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu. ““Era! Awas!”Teriakan Ashlyn membuatku menoleh tepat saat Kiwa seperti gerakan lambat mengayunkan batang berduri bagaikan cemeti ke arah kami.Aku dan Era seperti terpaku di tempat kami.Sesaat kemudian batang berduri itu menyala terang dan terbakar hangus. Kiwa melotot penuh amarah ke arah Lynx.&ldq
“Terima kasih. “ Kataku setelah Firroke membebaskan kami. Firroke mengangguk. Kami bergegas mendekati Esen dan Ashlyn untuk membantu. Tapi satu dari dua peri misterius yang datang bersama Flaresh telah bersama mereka.Aku menatap peri yang berdiri di hadapan Esen dan Era yang terkubur sampai leher. Dilihat dari semua sisi, tidak mungkin mengeluarkan mereka kecuali tanah di sekitar mereka digali. Apa yang bisa dilakukan peri ini?Peri itu hanya memandang mereka berdua dalam diam. Lalu tiba-tiba kegelapan ganjil kembali datang menyelimuti kami. Ashlyn dan Esen menatapnya tanpa berkedip. Lalu tiba-tiba mereka berdua melayang menembus tanah seakan mereka arwah dan berdiri di hadapan kami dalam keadaan bebas. Kami semua tercengang dan kehilangan kata untuk diucapkan.“Te, terima kasih.” Ucap Ashlyn terbata pada akhirnya. Peri itu mengangguk dan membalikkan badan, kembali ke tempat Flaresh berada.“Bagaimana keadaan kalian? Apa luk
Aku hanya mengantar kalian sampai sini.” Kata Ghadanfar saat kami sampai di sisi hutan yang sudah jarang ditumbuhi pohon. Langit sudah semakin terang dengan cahaya matahari yang memucat. “Selanjutnya kau tahu bukan?”Aku mengangguk. Ini adalah sisi hutan yang dulu pernah kami lalui saat pertama kali akan ke Erde.“Berhati-hatilah. Dan tetap waspada.” Ujarnya. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Terima kasih banyak.” Kata Esen.“Bukan masalah.” Ghadanfar mengangkat bahu. Ia melompat lalu hilang di antara pepohonan.Aku menghela nafas. Kepergiannya meninggalkan setitik rasa waswas di hatiku.“Jadi, kita berangkat sekarang?” Kataku akhirnya memandangi teman-teman seperjalanku. Esen, Era dan Ashlyn mengangguk. Firroke yang duduk di bahu Ashlyn pun melakukan yang sama. Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku yang agak berat meninggalkan hutan Seda yang terasa seperti rumah bagiku. Misu yang seakan mengerti perasaanku menggosokkan hidungnya ke tanganku yang menggenggam tali kekangnya. Aku terse
“Kau sehat?”“Kalian baik-baik saja?”“Ah, Sanja. Lama tidak bertemu. Terima kasih telah mengantar mereka kemari. Aku tidak menyangka kalau kau yang akan mengantar mereka.”“Aku sedang ingin berjalan-jalan.”“Kalian hanya bertiga saja?”“Tidak. Kami ditemani Jalen.”Kami mengikuti arah pandangan Sanja dan mendapati kedua puma tadi telah berdiri di hadapan Raja Narawana dan berubah menjadi dua sosok peri. Yang satu adalah Ghadanfar, yang satu lagi sesosok peri yang tak pernah kami lihat. Ia berperawakan gempal, sedikit lebih pendek dari Ghadanfar namun saat ia berjalan ke samping Raja Narawana bersama Ghadanfar, kami bisa melihat bahwa ia tak lebih lambat darinya. Rambutnya yang berwarna hitam diikat kebelakang. Wajahnya tirus dengan mata berwarna kuning emas yang berkilat siaga. Dan di samping kedua matanya tampak lukisan atau tato simbol yang rumit berwarna putih keperakan yang membuatku seakan terbius dan tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.“Aku kira Tyh yang akan datang.”
“Bisakah kau berhenti mondar-mandir?”Aku menghentikan langkahku dan mencari sumber suara yang telah mengomeliku. Esen berjalan mendekat dengan Firroke sedang berdiri di atas kepalanya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya padaku. Biasanya ia hanya akan berdiri atau duduk di pundakku.“Firroke!”Firroke hanya mendengus tapi matanya berkilat senang.“Apa yang kau lakukan di sini?”“Aku akan menemani perjalanan kalian.”“Menemani kami?”“Ya. Aku dengar kalian akan bepergian.”“Kami tidak sedang piknik.”“Kau pikir aku tidak tahu?”Ia lalu melompat ke tanah dan berjalan ke arah Raja Narawana untuk memberinya salam.Aku mengalihkan pandanganku ke Esen. Kemunculan Firroke benar-benar diluar dugaan.“Kenapa kau baru datang?”“Ada yang harus kupersiapkan dengan Ghadanfar.”Aku mengangguk. Pantas saja Ghadanfar tidak terlihat sedari tadi.“Lalu, bagaimana bisa kau dan Firroke datang bersama?”“Aku bertemu dengannya di tengah jalan lalu dia bersikeras ingin ikut.”Aku memandang Raja Narawan
Setelah hampir dua jam perjalanan kami sampai di pohon Zurine. Tampak Ghadanfar berdiri di bawah pohon menunggu kami dengan sikap siaga.Ia hanya mengangguk saat kami berada tepat di hadapannya, lalu berbalik dan menyentuh pohon Zurine. Batang pohon yang berkerut itu bergerak-gerak lalu mengembang dan menciptakan sebuah lubang yang cukup besar untuk kami masuki. Terdengar siulan pelan dari mulut Esen.Tanpa berkata apa-apa Ghadanfar memasuki pohon Zurine. Aku mengikutinya dengan Esen mengekor di belakangku. Kegelapan total menyambut kami begitu lubang di belakang kami tertutup. Hal ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku sampai di Sena dan jatuh di dalam pohon ini.Ghadanfar meraih sesuatu lalu memberikannya kepada kami. Sebatang dahan pohon yang dipenuhi bunga yang sepintas mirip bluebell dan berpendar dengan cahaya putih. Kalau aku tidak salah ingat dari penjelasan Lynx bunga ini bernama Ruun. Dengan diterangi bunga Ruun aku bisa melihat keadaan sekelilingku yang seperti sebua
“Kau tidak apa-apa?” Esen menatapku penuh kekhawatiran saat akhirnya aku menarik tanganku dari wajah. “Seharusnya.” Aku menjawab dengan ragu. Kami berdua terdiam lagi hingga cukup lama. “Jadi kau bisa mendengarkan pikiranku tadi?” “Sepertinya.” “Tapi bagaiimana caranya? Kan kita tidak saling bersentuhan.” “Aku juga tidak tahu. Ini tidak seperti biasanya.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus berusaha berpikir jernih. “Apa yang kau lakukan tadi saat aku mendengar pikiranmu?” “Aku memeriksa bekas cakaran di dahan pohon.” “Bagaimana tepatnya kau memeriksanya?” “Aku menyentuhnya.” Dan dengan kompak kami saling pandang. “Tidak mungkin.” Aku masih tidak percaya. “Sepertinya begitu.” Kata Esen sambil mengangguk meyakinkan. “Tapi,” “Bagaimana kalau kita coba lagi?” “Ha?” Esen meletakkan tangannya di batang pohon tadi. “Coba tebak apa yang aku pikirkan.” Aku memandangnya memastikan ke kesungguhannya. Ia mengangguk menyemangatiku. “Tidak ada salahnya mencoba bukan?” Ben
Aku mengulurkan tangan menyentuh batang pohon yang berkulit kasar dan berbenjol di sana sini. Ada getah setengah kering yang merembes dari tiga buah sayatan agak dalam yang posisinya tidak lebih tinggi sedikit dari mataku. Mungkin cakaran hewan. Dengan posisi setinggi ini artinya hewannya besar. Semoga aku tidak perlu bertemu dengannya hari ini.Aku kembali meraba dan merasakan permukaan kasar dibawah jemariku. Dengan tangan masih menempel di batang pohon, aku menutup mata mencoba mendengarkan sekitarku.Telinga dan benakku menangkap bunyi yang sama. Desau angin, bunyi gesekan dedaunan yang menenangkan serta bunyi serangga dan bermacam kicau burung yang berbeda-beda. Bebunyian khas musim panas.Aku berusaha berkonsentrasi lebih dalam dan berusaha mengacuhkan bebunyian yang kudengar di telingaku. Namun tidak ada perubahan. Yang kudengar masih sama. Tidak ada suara lain.Aku mendesah dan berjalan ke pohon yang lain. Lalu mengulangi usahaku sebelumnya. Aku bisa merasakan matahari yang s
“Sekarang tutup mata kalian.”Aku dan Esen saling pandang sesaat lalu menuruti apa yang diperintahkan Raja Narawana.“Ghadanfar.” Terdengar suaranya yang beerat memanggil Ghadanfar.“Ya Yang Mulia.”“Pergilah.”Tidak ada jawaban. Aku membayangkan Ghadanfar yang menjawab perintah Raja Narawana hanya dengan anggukan hormat.“Buka mata kalian.” Lanjutnya kemudian.Kami membuka mata dan hanya disambut oleh sosok tinggi Raja Narwana. Ghadanfar tidak terlihat dimanapun. Sepertinya ia telah pergi sesuai dengan perintah Raja Narawana.“Esen, aku ingin kau mencari dan menemukan Ghadanfar. Aku memberimu waktu sampai sebelum matahari terbenam.” Kata Raja Narawana sambil menatap Esen. “Ia akan memberikanmu sebuah benda sebagai bukti bahwa kau berhasil menemukannya.”“Tapi apa hamba sanggup menemukan Ghadanfar di hutan seluas ini sebelum matahari terbenam?”“Tentu saja kau tidak akan sanggup.”Esen memasang tampang merajuk yang sangat jarang kulihat. Mau tak mau aku tersenyum.“Lalu, apakah Anda
Aku membuka pintu kamarku dan langsung disambut wajah ceria Esen.“Kau tidak ada latihan hari ini?” tanyaku padanya. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena ia sibuk berlatih dengan Ghadanfar sedangkan aku sibuk bermain dan berkeliaran kesana kemari dengan kucing apiku. Sebutanku pada Lynx yang tentu saja hanya ada dalam pikiranku.“Kata Ghadanfar hari ini kita akan menemani Raja Narawana.”Jantungku seketika berdegup lebih kencang.“Benarkah?”“Ya. Itulah mengapa ia memintaku untuk memanggilmu.”“Akhrnyaaa..”Esen memandangiku dengan pandangan bertanya.“Sementara kau berlatih sampai tulangmu akan lepas, aku sama sekali belum berlatih, Esen.”Esen menggaruk kepalanya sambil meringis.“Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak mendengar perkataanmu. Ghadanfar benar-benar tidak tanggung-tanggung dalam melatihku. Sampai-sampai itu lebih mirip siksaan daripada latihan.”Aku tersenyum dan meninju dadanya pelan.“Tapi kau senang bukan?”Esen mengangguk dengan mata berbinar.“Baikla
“Apa kau tidur?”Aku membuka mata dan menatap sesosok burung berwarna putih melayang di atas kepalaku. Kutegakkan tubuhku. Burung itu berputar di angkasa satu kali lalu dengan sebuah desiran halus ia mendarat di atas salah satu daun teratai besar di dekatku dan berubah menjadi seorang peri wanita bertubuh ramping dan mungil. Dulu aku pernah bertemu dengannya saat pertama kali tiba di sini. Namanya,“Aku Ava.” Kata peri itu seakan bisa mengetahui pikiranku.Ah, benar.“Apakah kau menemui kesulitan dengan tugasmu?” Tanyanya. Dengan santai ia duduk di atas daun teratai tadi sambil memainkan kakinya yang terjulur ke danau.“Kau tahu tugasku?” Tanyaku dengan heran.“Tentu saja. Itulah mengapa aku diminta kemari untuk melihat sejauh apa perkembanganmu.”Aku mengangguk sambil memandanginya yang duduk santai di atas daun teratai.“Ada apa?”“Ah, itu..” aku masih tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ia punya ilmu meringankan tubuh atau bagaimana sih kok bisa-bisanya ia duduk di atas dau