“Bukalah supaya aku bisa mengobati luka di dadamu juga.”
Tangan Nicholas mulai maju, hendak membuka bathrobe di bagian dada Aleeta. Namun, ketika tangan itu baru menyentuhnya sedikit, Aleeta dengan cepat menangkisnya. Menyadari penolakan yang di lakukan Aleeta membuat Nicholas seketika langsung menarik tangannya kembali, kemudian mengepalkannya.Sedangkan Aleeta langsung berdehem dan membuang muka guna menutupi kegugupan yang kini sedang ia rasakan. Melihat tangan Nicholas hendak menyentuh bathrobe-nya tadi benar-benar berhasil membuat Aleeta merasa gugup. Tidak. Entah gugup atau takut Aleeta tidak bisa membedakannya sekarang.Lagi-lagi Aleeta merasakan dadanya berdebar berkat jantungnya yang berdegup kencang. Aleeta menggigit bibir dalamnya kuat-kuat.‘Kendalikan perasaanmu, Aleeta. Kalau nggak maka hanya sia-sia saja semua yang sudah kamu katakan ke Nicholas tadi,' ujar Aleeta dalam hati.“Aku hanya ingin melihat luka di bagHari ini Aleeta sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Ia segera masuk ke kamar mandi, mencuci muka lalu keluar menuju dapur.“Selamat pagi, Mary,” sapanya ceria.“Selamat pagi, Nona—“ mata Mary melotot kaget. “Apa yang terjadi dengan tangan Anda?!”Aleeta meringis. “Bukan apa-apa, kok,” ujarnya seraya menyembunyikan kedua tangannya ke balik punggung.Meskipun Nicholas sudah mengobatinya kemarin, tapi kenyataannya memar itu masih belum sepenuhnya hilang. Sebenarnya sudah tidak separah kemarin. Tapi karena kulit Aleeta yang putih, jadi membuat bekas memar yang kemerahan itu terlihat kentara sekali di kedua pergelangan tangannya. “Anda pasti bercanda? Mana mungkin tidak apa-apa padahal jelas tangan, Anda—““Mary, percayalah. Aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu panik seperti itu. Anggap saja kamu nggak melihatnya.”“Nona ...,” Mary menatap Aleeta lekat. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah Aleeta. Ia sadar, ia tidak punya hak untuk mencampuri urusan majikannya. Mary
“Aku pikir Kak Aleeta nggak akan bisa bekerja di butikku lagi.” Kata Emily ketika melihat Aleeta membuka pintu mobilnya.Emily datang ke rumah Nicholas tepat setelah sepuluh menit pria itu berangkat bekerja. Aleeta tersenyum. “Kamu pasti juga akan tetap memaksa kalau misalnya aku bilang nggak bisa bekerja lagi,” sahutnya seraya memasang seatbelt.Sebelum Emily datang tadi, Aleeta sudah memikirkan untuk memakai lengan panjang yang bisa menutup hingga ke pergelangan tangannya. Supaya adik iparnya itu tidak bisa melihat apa yang ada di balik lengan panjangnya itu. Dan Aleeta rasa cara yang ia gunakan memang berhasil.Emily terkekeh. “Kamu ini tahu saja, Kak. Selain itu, aku pikir Kak Nicholas juga akan melarangmu tadi.” Mengingat nama Nicholas membuat Aleeta kembali teringat dengan pembicaraannya di ruang makan tadi. Setelah menuduhnya gila tadi Nicholas langsung diam, dan menikmati sarapannya tanpa sepatah kata apapun. Bahkan pr
Aleeta tengah merapikan meja yang baru saja ia dan Emily gunakan untuk makan siang. Sementara adik iparnya sudah lebih dulu pergi ke toilet. Akhir-akhir ini Aleeta dan Emily memang lebih sering makan siang di butik daripada mencari makan di luar. Tidak ada alasan khusus, memang mereka saja yang malas keluar. Apalagi jalanan yang sering sekali macet setiap masuk jam makan siang.Aleeta baru saja hendak mengambil minum ketika Emily menyodorkan ponsel ke arahnya. “Kamu ini membuatku kaget saja,” gerutu Aleeta seraya membuka lemari pendingin.Emily hanya terkekeh. “Ini telepon untukmu, kak.”“Dari siapa?” Tanya Aleeta.“Mama.”“Apa? Mama?!”Emily hanya mengangguk, lalu menyerahkan ponselnya ke tangan Aleeta.“Halo, Ma?”“Halo, Aleeta.” Suara Karina—ibu mertuanya terdengar dari seberang sana. “Bagaimana kabarmu?”“Baik, Ma. Mama sama Papa bagaimana? Sehat?” Balas Aleeta.Sejak dari acara pertunangan Ander seminggu yang lalu hingga detik ini, Aleeta memang belum pernah bertemu dengan kedua
Nicholas baru saja selesai mandi pagi ketika mendengar ponselnya berbunyi. Ia mengernyit seraya mendekati ponsel yang tergeletak di atas nakas tersebut. Siapa yang menghubunginya di Minggu pagi? Apa jangan-jangan Mamanya? Mengingat semalam Aleeta mengatakan kalau ibunya itu akan datang ke rumahnya hari ini.Namun, ketika Nicholas melihat layar ponselnya. Ternyata bukan nama Mamanya yang ada di sana.“Halo.” “Nich? Sudah bangun?”Nicholas langsung mendengus. “Ada perlu apa sampai kamu menghubungiku sepagi ini? Kamu nggak lupa kan kalau sekarang adalah hari Minggu, Julian,” ucap Nicholas.Julian terdengar tertawa di seberang telepon. “Apa siang nanti kamu punya acara?”“Kenapa memangnya?”“Rencananya aku ingin mengajakmu pergi keluar. Bagaimana?” Nicholas berdecak. “Aku terlalu malas pergi denganmu,” ujarnya datar.Lagi-lagi Julian tertawa. “Ayolah, Nich. Bukan hanya kamu dan aku saja.
“Baik, Tuan. Kami akan melakukannya sesuai dengan yang Tuan perintahkan.” Kata Mark dan Steven.Nicholas mengangguk. “Dan jangan lupa untuk langsung memberitahuku jika kalian melihat sesuatu yang mencurigakan.”“Apa itu juga termasuk jika kami melihat wanita tua yang Tuan sebutkan ciri-cirinya tadi?” Mark bertanya.Wanita tua yang Mark maksud itu adalah Sonya. Beberapa saat yang lalu Nicholas memang baru saja memberitahu kepada kedua anak buahnya untuk mengawasi Aleeta. Bukan bermaksud apa-apa. Selama ini Nicholas tahu, kalau Aleeta tidak pernah keluar dari rumahnya. Dan bisa saja saat ia mengizinkan Aleeta untuk keluar, wanita itu justru akan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri lagi. Meski kemungkinannya hanya sedikit. Karena Aleeta keluar untuk bekerja di bersama adiknya—Emily. Dan tentunya itu bukanlah hal mudah yang bisa di lakukan oleh Aleeta.Lalu, Nicholas juga tidak melupakan dengan keberadaan Sonya. Bebera
Mobil yang di tumpangi Karina berhenti tepat di depan rumah Nicholas. Ia menoleh ketika sopir yang mengemudikan mobilnya tadi sudah membukakan pintu yang ada di sebelahnya.Sebenarnya tadi Karina ingin pergi bersama Emily, tapi tiba-tiba saja Emily mendapat telepon dari klien yang ingin memesan baju di butiknya. Jadinya Karina memutuskan berangkat ke rumah Nicholas dengan di antar oleh sopir. “Terima kasih ya, Pak,” ujar Karina begitu ia turun dari mobil. Sopir pribadi Karina itu mengangguk, lalu meminta izin untuk menunggu di pos jaga bersama Mark dan Steven. Sedangkan Karina segera melangkah masuk ke dalam rumah Nicholas.Karina sengaja tidak ingin menekan bell, agar yang ada di rumah ini terkejut dengan kehadirannya. Namun, saat ia hendak melangkah tiba-tiba saja suara Mary terdengar dari arah dapur.“Nyonya, kapan Anda datang?” Karina seketika tersenyum. “Baru saja, Mary,” jawabnya lembut.“Maaf, Nyo
Selepas keluar dari ruang kerjanya, Nicholas memilih untuk menyingkir ke halaman belakang. Setidaknya ia membutuhkan waktu untuk menyendiri. Nicholas duduk sendirian seraya menatap kolam yang ada di hadapannya. Sementara tangannya yang terluka ia biarkan begitu saja. Nicholas tidak peduli dengan luka tersebut. Luka itu tidak berasa apa-apa bagi tangannya. Ada hal lain yang justru lebih menyakitinya dari pada luka tersebut, yaitu mengingat kematian Sesilia. Sungguh tidak ada rasa sakit yang tidak tertahankan selain rasa sakit ketika melihat kematian orang yang kita cintai.Nicholas harus melakukan apa supaya ia bisa melupakan hal tersebut?Pria itu mengacak rambut, lalu menengadah. Menatap langit biru yang ada di atas sana, sebelum kemudian memejamkan mata.‘Apa yang harus aku lakukan?’ lirihnya dalam hati.Sementara itu, Karina yang masih berada di ruang kerja bersama Aleeta seketika langsung menghubungi Mary yang ada di lantai
“Nicho ...,”Pria itu tidak bergeming meski Aleeta sudah beberapa kali memanggil namanya.“Nicho, kamu kenapa? Apa tanganmu benar-benar sakit?”Nicholas masih tidak menjawab. Bahkan pria itu juga tidak menyadari ketika setetes bulir bening lolos dari pelupuk matanya. Seketika Aleeta merasa panik karena melihat air mata Nicholas. Aleeta merasa takut jika apa yang di lakukannya tadi benar-benar membuat luka Nicholas bertambah semakin sakit. Aleeta tidak berniat untuk menyakiti Nicholas.“Nicho ...,”“Kenapa kamu menangis?”“Apa aku menyakitimu?”“Maaf, Nicho. Aku nggak bermaksud menyakitimu ...,”Aleeta terus mengeluarkan suara meski sampai detik ini Nicholas belum memberinya respon apapun. Aleeta lalu menatap Nicholas.“Nicho, maaf ...,” ujarnya seraya mengangkat tangan, hendak menyeka air mata yang membasahi pipi NicholasNamun, saat tangan Aleeta baru hendak men
Aleeta hanya bisa diam membeku di tempatnya. Rasanya ia seperti di tampar oleh kata-kata yang di ucapkan Nicholas barusan. Kenapa Nicholas bisa berkata seperti itu? Kenapa Nicholas bisa kecewa padanya? Meski masih membingungkan, tapi entah kenapa hati Aleeta ikut terasa sakit ketika mendengarnya. “Nicho ...,”“Jangan sentuh aku,” peringat Nicholas ketika Aleeta hendak menyentuh tangannya.Sementara Aleeta hanya bisa menarik kembali tangannya, kemudian meremasnya pelan.“Kenapa kamu bisa mengatakan kalau kamu kecewa padaku, Nicho?” Aleeta bertanya pelan.Nicholas memicing. “Kamu masih bertanya kenapa? Dengar, Aleeta. Aku sudah bilang kalau aku nggak suka orang yang membohongiku. Dan kamu pikir setelah apa yang kamu lakukan aku nggak kecewa padamu, begitu?!”Aleeta menunduk. “Tapi, bukankah aku sudah menjelaskannya. Semua ini untuk kita, Nicho. Supaya nggak ada lagi rasa sakit yang bertambah di antara kita berdua.”
“Kenapa? Kamu merasa kesakitan, hah?”Nicholas menatap Aleeta yang hanya diam saja di hadapannya. Sedangkan tangannya terus meremas lengan Aleeta, tanpa peduli pada Aleeta yang meringis sakit sekalipun.“Jawab, Aleeta!” Bentak Nicholas kasar. “Kalau kamu nggak menjawab, maka aku nggak akan segan-segan untuk membuatmu semakin merasa kesakitan!”Aleeta menelan ludah. Setelah sekian lama tidak melihat kemarahan Nicholas, ia jadi takut saat kembali melihatnya lagi. Terlebih pria itu pasti akan selalu menyakitinya jika sedang dalam keadaan marah. Tapi Aleeta bisa apa? Semua kemarahan Nicholas itu memang karena salahnya.“Jawab!” Nicholas kembali membentak. Dan kali ini Aleeta mengangguk.“Y-ya ... Sa ... S-sakit, Nicho,” rintih Aleeta pelan.Nicholas tersenyum miring. “Tapi sepertinya kamu memang suka aku sakiti, ya?”Aleeta kembali menggeleng. “Nggak, Nicho. Aku mohon lepaskan tanganku.”“Kamu pasti
Nicholas menghentikan mobil tepat di pelataran parkir salah satu Apotek ternama yang ada di kotanya. Sebenarnya Nicholas bisa saja datang ke Apotek tadi malam, karena kebetulan Apotek yang ia datangi tersebut buka selama dua puluh empat jam. Tapi, semalam Nicholas masih terlalu bingung. Ia masih membutuhkan waktu untuk berpikir dan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Aleeta bisa mengonsumsi pil itu tanpa sepengetahuannya? Seraya meremas bungkus pil tersebut, Nicholas melangkah keluar mobil. Lalu berjalan ke arah pintu masuk Apotek. “Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang petugas di Apotek tersebut langsung menyapa ramah saat Nicholas masuk. “Saya ingin menanyakan soal pil ini,” ujar Nicholas seraya menunjukkan bungkus pil yang ia bawa. Petugas Apotek itu tampak melihat sejenak bungkus obat yang di berikan Nicholas. “Baik, Tuan. Mari ikut saya.” Tanpa banyak berpikir N
Aleeta terbangun keesokan paginya. Tangannya berusaha meraba-raba sisi tempat tidurnya yang ternyata sudah kosong. Wanita itu segera menoleh, dan benar saja Nicholas sudah tidak ada di sebelahnya. Kemana Nicholas? Aleeta pun segera beranjak bangun, memakai gaun tidurnya, lalu turun dari atas tempat tidur. “Kenapa sih Nicho suka sekali meninggalkanku?” Gerutu Aleeta kesal. “Kalau dia bangun pagi untuk berolah raga, kenapa dia nggak mencoba membangunkanku? Toh, aku juga nggak akan menolak untuk di ajak berlari-lari ataupun berjalan santai di sekitar kompleks ini.” Ia terus bergumam seraya berjalan masuk ke kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Aleeta kembali keluar dengan keadaan rambut basah dan juga handuk yang melilit tubuhnya. Wanita itu segera membuka lemari, mengambil pakaian dan memakainya. Setelah selesai mengeringkan dan menyisir rambutnya, Aleeta segera keluar kamar. Tempat pertama yang selalu ia tuju di pagi hari adalah dapur.“
“Sentuh aku.” Pinta Nicholas dengan suara parau. Sementara Aleeta tersenyum. Menatap Nicholas yang menatapnya penuh permohonan.“Sudah nggak sabar, heuh?” Goda Aleeta seraya menggenggam milik Nicholas yang besar.Nicholas menghempaskan kepalanya ke bantal seraya tertawa serak.“Aku lihat, kamu semakin pandai menggodaku.”Aleeta mengerucutkan bibirnya. Kemudian tangannya menggerakkan turun naik untuk menyentuh Nicholas seluruhnya. Nicholas mengumpat tertahan dan membuat gerakan tangan Aleeta terhenti.“Maafkan aku,” ujar Nicholas terengah, “Lanjutkan saja.”Aleeta tersenyum, kali ini menggerakkan tangannya tanpa ragu dan tanpa malu-malu. Nicholas memandangi Aleeta yang tengah menjilat bibirnya yang kering, hal itu membuat Nicholas semakin terasa membengkak dan berdenyut.“Aleeta ...,” Tangan Nicholas terangkat membelai rambut Aleeta yang membungkuk di dekat pahanya itu. Membelai kepalanya lembut
Aleeta masih menatap Nicholas. Kedua mata mereka saling berpandangan dan menatap lekat.“Apa keinginanmu masih sama seperti yang tadi, Nicho?” Aleeta bertanya pelan.Nicholas tersenyum. “Keinginan yang mana?”“Soal suatu hal yang membuatmu senang.”Nicholas mengangguk. “Ya ...,” Ujarnya serak.Lalu senyum kecil tercetak di wajah Aleeta. “Kalau begitu kamu akan mendapatkannya,” bisik Aleeta.Nicholas hanya menaikkan sebelah alisnya, saat melihat Aleeta yang sudah lebih dulu bergerak. Aleeta menyentuh tengkuk Nicholas, melingkarkan lengannya di sana, kemudian bergerak maju untuk mengecup bibir Nicholas.Hanya itu yang Nicholas butuhkan sebagai dorongan, ia memeluk pinggang Aleeta, membawa tubuh istrinya ke pangkuannya, mengangkanginya. Ia kembali mendekatkan bibir mereka, bibirnya kali ini bergerak sedikit agresif, membuat Aleeta kewalahan tapi tidak membuat Aleeta menjauhkan bibirnya. Wanita itu
“Apa kamu sudah paham?” Tanya Nicholas.Sudah hampir satu jam lamanya, Nicholas mengajari Aleeta tentang bagaimana cara menggunakan smartphone-nya. Pria itu mengajari dengan sangat sabar dan detail, tidak ada yang terlewat satupun. Hanya saja mungkin karena Aleeta baru pertama kali menggunakan smartphone jadinya wanita itu masih terlihat sedikit bingung.Sementara itu, Aleeta yang duduk di sebelah Nicholas hanya diam, tidak menggubris sedikitpun ucapan pria itu. Aleeta hanya terus mengamati layar ponsel yang di pegang Nicholas itu dengan serius. Lalu tiba-tiba Aleeta menunduk, menjatuhkan kepalanya ke bahu Nicholas.“Aleeta ...,” Nicholas menoleh. “Kamu tidur?” Aleeta menggeleng pelan. “Aku nggak tidur. Tenang saja.”“Aku kira kamu ketiduran,” sahut Nicholas.Aleeta lalu mengangkat kepalanya. Memutar posisi kemudian duduk bersila menghadap Nicholas. Dan karena malam ini ia hanya mengenakan gaun tidur pendek, jadi ia harus menarik selimut agar bisa menutupi bagian kaki dan pahanya yan
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nicholas yang melihat keberadaan Aleeta langsung cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik punggung. Aleeta tadi belum sempat melihat tangannya, kan? Kalau pun sudah terlanjur melihat semoga saja Aleeta tidak menyadari apa yang saat ini sedang ia bawa. “Nicho, kenapa diam? Bukanya tadi kamu mencariku. Tapi kenapa sekarang hanya diam?” Gerutu Aleeta dengan bibir mengerucut. Nicholas tersenyum. “Kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu,” perintahnya pada Aleeta. “Apa?” “Mendekatlah kalau ingin tahu,” ujar Nicholas yang mau tidak mau langsung membuat Aleeta mendekatinya. Nicholas segera merengkuh pinggang Aleeta ketika istrinya itu berdiri di hadapannya. “Nicho, apa yang kamu lakukan? Katanya kamu punya sesuatu untukku. Kenapa jadi memelukku seperti ini?” “Ini ...,” kata Nicholas seraya mengangkat paper bag ponsel yang di bawanya ke hadapan Aleeta. “Aku membelikanmu ponsel.” “P-ponsel?” Aleeta menatap Nichola
“Nona Aleeta, sedang apa Anda di sini?” Aleeta terkejut dan seketika menoleh saat mendengar suara Mary. Ia hanya menggaruk tengkuk, kemudian meringis. Menatap Mary yang berdiri di depan pintu.“Sejak tadi saya mencari-cari, Anda. Ternyata Anda berada di sini,” imbuh Mary.Aleeta langsung berdehem. “Memangnya ada perlu apa kamu mencariku, Mary? Apa Nicho sudah kembali?” Tanyanya.“Tuan belum kembali, Nona. Saya mencari Anda hanya untuk mengatakan kalau sepertinya semur dagingnya sudah matang. Apa saya harus memindahkannya ke wadah, atau di biarkan dulu di atas kompor?”“Ah, itu ... Biarkan di atas kompor saja, Mary. Supaya bumbunya bisa meresap sampai ke dalam dagingnya,” jawab Aleeta. Setelah itu ia kembali sibuk mencari sesuatu di dalam kamar lamanya.Saat Aleeta tengah memasak tadi entah kenapa tiba-tiba ia teringat dengan pil kontrasepsinya. Aleeta baru ingat kalau sejak kembali dari Paris kemarin, ia belum meminu