Aleeta berjalan keluar dari kamar inap itu seraya mengancing jaket hingga ke leher. Ia lalu menaikkan tudung jaket hingga menutupi kepalanya. Dengan bertelanjang kaki, ia melangkah tergesa dengan kepala tertunduk. Menyusuri koridor rumah sakit untuk mencari jalan keluar. Wanita itu mendesah ketika sudah berhasil keluar dari gedung rumah sakit. Rupanya hari masih sangat pagi. Ia segera berlari menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. Aleeta mengenali jalanan ini. Jalan yang searah dengan rumah Nicholas. Aleeta ingat karena kemarin ia lewat jalan ini ketika Nicholas membawanya pulang. Gawat.Jika rumah sakit ini dekat dengan rumah Nicholas, maka pria itu bisa saja menemukannya di sini. Aleeta menggeleng, lalu semakin berlari cepat, tidak berhenti meski hanya sekedar untuk menoleh. Aleeta harus pergi menjauh dari tempat ini.Ia meringis ketika kakinya beberapa kali menginjak kerikil kecil yang ada di pinggir jalan. Aleeta memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Ia terdiam saat mer
“Mira, hari ini aku pinjam bajumu terlebih dahulu, ya. Besok janji akan aku kembalikan.” Kata Aleeta ketika ia keluar dari ruang ganti bersama Mira.Pagi tadi Aleeta sempat meminjam ponsel Thomas untuk menghubungi Mira supaya wanita itu membawakan pakaian ganti untuknya. Aleeta tahu jika ukuran bajunya dan Mira hampir sama. Jadi ia memutuskan untuk meminjam saja kepada Mira, daripada ia harus keluar ke jalanan dengan menggunakan pakaian rumah sakit lagi. “Santai saja, Aleeta. Aku masih punya banyak baju di rumah,” bisik Mira seraya terkekeh, dan Aleeta pun juga ikut terkekeh.“Hei, kalian. Cepatlah! Aku ingin segera pulang,” keluh Johan ketika melihat Mira dan Aleeta yang tengah berjalan ke arahnya.“Ck! Sabar kenapa, sih? Aku heran deh, Jo. Jangan-jangan alasan kenapa nggak ada wanita yang ingin jadi kekasihmu itu karena kamu orangnya nggak sabaran,” cibir Mira.Johan mendengus. “Jangan sok tahu!”“Sudah. Jangan ber
Keesokan harinya ketika Nicholas ingin sarapan. Ia melihat Aleeta yang sedang berdiri di bawah rangkaian anak tangga. Nicholas mengernyit. Apa yang di lakukan wanita itu? Apa dia sedang menunggunya?“Kembalikan ponselku.”Nicholas hanya melirik dengan sebelah alis terangkat ketika Aleeta mengatakan hal tersebut.“Kamu nggak dengar, ya. Aku bilang kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawa ponselku, kan?” Aleeta mengejar Nicholas yang tidak menanggapi ucapannya. Pria itu justru memilih untuk tetap berjalan ke arah ruang makan.“Nicho kembalikan—““Jangan panggil aku seperti itu!” Ketus Nicholas.Pria itu berhenti secara tiba-tiba hingga membuat Aleeta yang berjalan di belakangnya hampir saja menabraknya. Aleeta langsung bernapas lega karena gerak refleksnya bisa berfungsi cepat kali ini.“Baiklah, Tuan Nicholas. Tolong sekarang juga kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawanya,” ujar Aleeta dengan
“Emily? Tumben sekali kamu datang ke sini?” Nicholas mengernyit ke arah Emily yang baru saja datang ke kantornya. Selama ini, adiknya itu jarang sekali berkunjung jika tidak ada urusan yang penting. Karena Emily sendiripun juga memiliki pekerjaan, sebagai pemilik butik ternama di pusat kota. “Hm.” Wanita berwajah datar itu hanya bergumam seraya mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dalam ruangan kerja kakaknya. Menyilangkan kaki, seraya mengamati kuku jarinya yang lentik. Nicholas mendengus. “Kalau nggak ada hal yang penting lebih baik kamu pulang saja. Aku punya banyak—“ “Bagaimana keadaan istrimu, Kak?” Emily menyela cepat. Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Untuk apa kamu menanyakan hal itu?” “Memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku ingin tahu keadaan Kakak iparku,” sahut Emily seraya merebahkan punggung di sandaran sofa. “Keadaannya bukanlah urusanmu,” u
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” Aleeta segera beranjak dari tempat duduknya. “Nicholas.”Tubuh Aleeta seketika terasa begitu kaku. Bagaimana bisa Nicholas sampai di tempat ini? Bagaimana bisa pria itu begitu nekat mencarinya hingga ke Cafe Thomas? Aleeta lalu melirik ke arah Mira dan Johan. Mereka berdua tampak begitu kaget dan juga bingung dengan kehadiran Nicholas.“Nicho—““Tutup mulutmu dan ikut aku sekarang!” Nicholas segera mendekati Aleeta, hendak menyeret lengan wanita itu.“Nggak. Aku masih harus bekerja, Nicho.” Aleeta berhasil menghindar.Nicholas tersenyum sinis. “Jadi kamu benar-benar berani melawan perintahku, ya?”“Aku nggak melawanmu,” balas Aleeta cepat. Sementara Mira dan Johan masih diam mematung di tempat mereka.Semua yang terjadi saat ini sangatlah di luar dugaan. Siapa yang tidak mengenal Nicholas Axel Frederick? Mira dan Johan pun juga tahu kalau keluarga pria itu adalah orang ter
“Nicholas, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Karina begitu melihat putranya yang tengah duduk di depan ruang operasi.Tadi Nicholas terpaksa memberitahu kabar tentang kecelakaan Aleeta, karena Emily terus saja menghubunginya. Alhasil, saat ini Mama, Papa dan adiknya menyusul ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Aleeta.“Aku nggak tahu, Ma,” jawab Nicholas pelan.Karina menggeleng. “Jangan bilang kalau kejadian ini kamu yang sengaja melakukannya.”Nicholas segera mendongak, menatap ibunya yang sedang menatap marah padanya. “Demi Tuhan, aku nggak melakukan apapun, Ma.”“Jangan berbohong, Nicholas!” Karina menjerit seraya memegangi dadanya. “Ma, tenanglah.” Emily segera mendudukkan ibunya di kursi tunggu. Sementara Karina mulai menangis.“Mama tahu kamu membenci Aleeta, Nicholas. Sejak awal Mama sudah bilang, supaya kamu jangan menikahinya. Karena pernikahanmu pasti hanya akan membuat Aleeta terluka,” uj
Perbincangan Nicholas dengan Papanya kemarin benar-benar berhasil membuat pikiran Nicholas menjadi kacau. Di satu sisi, Nicholas benar-benar tidak ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Namun, di sisi lain ia juga merasa begitu takut.Nicholas masih ingat betul dengan ketakutannya ketika melihat Aleeta yang tak berdaya di depan matanya. Saat tubuh wanita itu berlumuran darah, dan terkulai lemah tidak sadarkan diri. Nicholas benar-benar takut saat itu. Nicholas takut jika ia harus melihat kematian lagi di depan matanya.Pada hari ini, entah mendapat dorongan dari mana, kaki Nicholas melangkah masuk ke dalam rumah sakit dimana Aleeta sedang di rawat. Ia bukanya ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Tidak. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang di katakan Papanya itu tidaklah benar. Tidak ada penyesalan yang harus Nicholas rasakan.“Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari semua ini?” Nicholas dan Lukas berdiri menatap ranjang rumah sakit, dimana Aleeta terbaring lemah dan tidak sadarkan di
Apa yang kamu rasakan ketika kematian datang menjemputmu? Apakah kamu merasa kesakitan? Apakah kamu merasa takut? Apakah kamu takut jika kamu akan sendiri dalam kegelapan dan kedinginan?Bagi Aleeta semua itu bukanlah apa-apa. Ia sudah hampir pernah mati beberapa kali sebelumnya, meski semuanya selalu gagal. Dan rasanya sama saja. Tidak ada rasa apa-apa. Bahkan ketika ia membuka matanya, ia juga tidak merasakan apa-apa.“Kamu sudah sadar.”Sebuah suara yang terdengar cukup familier terdengar. Meski tubuh Aleeta masih terasa lemah, tapi ia berusaha untuk menoleh. Ia menemukan pria yang selalu bersama Nicholas, berdiri di samping ranjangnya. “Kamu haus?”Aleeta mengangguk, pria itu mendekat, membantunya untuk minum. Aleeta ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan itu, tapi suaranya yang terdengar hanya gumaman yang tidak jelas.“Nggak perlu bicara. Dokter akan segera datang.”Aleeta hanya diam
Hari berikutnya, Aleeta kembali mengajak Nicholas untuk menonton film-film romantis lainnya yang belum pernah ia tonton sama sekali. Mulai dari film lama hingga film terbaru sekaligus. Seharian penuh mereka hanya menghabiskan waktu di dalam kamar, menonton film, makan, mandi lalu kembali melanjutkan menonton film lagi.Bahkan, di malam pergantian tahun baru pun Aleeta juga lebih memilih untuk tetap berada di rumah bersama Nicholas. Mereka menikmati pesta kembang api yang berpusat di menara Eiffel yang kebetulan terlihat jelas dari balkon kamar mereka. “Indah sekali,” gumam Aleeta seraya menatap lurus pada puluhan ribu kembang api yang pada malam hari ini menghias langit Paris.Bukan hanya itu saja, cahaya dari menara Eiffel-nya pun juga turut menjadi pelengkap keindahan pada malam pergantian tahun baru.“Momen terindah di setiap pergantian tahun baru hanya sebatas kembang api itu menyala,” ujar Nicholas yang langsung membuat Aleeta menoleh padanya. “Terbang, melayang, menyala, meredu
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, saat film berjudul The Fault In Our Stars yang Aleeta dan Nicholas tonton selesai. Semua film romantis yang Aleeta tonton hampir semuanya berhasil membuat wanita itu menangis di pelukan Nicholas. Bahkan tanpa sadar kaus yang di kenakan Nicholas sampai basah oleh air mata Aleeta.“Cengeng,” bisik Nicholas di telinga Aleeta.“Aku merasa sedih,” isak Aleeta sambil menghapus air matanya. “Itu hanya sebuah film. Kenapa kamu harus sampai sesedih ini?”Aleeta mencebik kesal. “Kamu nggak tahu. Coba kamu fokus pada jalan ceritanya, kamu pasti juga akan merasakan sedih.”“Ya lain kali akan aku coba,” sahut Nicholas dengan nada malas. “Sekarang kamu ingin menonton apa lagi?”Aleeta berpikir sejenak. Sejak tadi ia sudah menonton film romantis yang menguras air mata. Jika ia tetap melanjutkannya, maka ia yakin, besok pagi kedua matanya tidak akan bisa terbuka karena bengkak.“Film romantis tapi yang nggak menguras air mata. Bisa kamu carikan film yang s
“Aku capek sekali,” ujar Aleeta pelan, duduk bersandar di sofa ruang TV dan menatap Nicholas.“Capek kenapa?” Tanya Nicholas santai.Aleeta memelotot. “Kamu lupa, yang membuatku secapek ini kan kamu.”Nicholas hanya tertawa, menepuk-nepuk pelan paha Aleeta. Sementara Aleeta membenarkan dress rumahannya yang sedikit berantakkan akibat ulah Nicholas.“Aku benar-benar lupa,” ujar Nicholas sambil meringis. Aleeta memutar bola mata. “Aku benar-benar capek,” ujarnya sedikit merengek. “Baiklah. Kamu boleh beristirahat sekarang.”Aleeta berusaha menahan senyum yang hendak terbit di sudut bibirnya. Rasanya masih belum bisa di percaya jika sosok pria lembut yang ada di hadapannya itu adalah Nicholas. Selama ini pria itu selalu bersikap dingin dan datar. Dan melihat bagaimana perubahan sikap Nicholas akhir-akhir ini tentu hal yang sangat membingungkan sekaligus membahagiakan untuk Aleeta. Meski terkadang ia masih ti
“Terima kasih sudah mengajakku keluar. Dan melihat betapa indahnya kota Paris pada malam hari ini, Nicho,” ucap Aleeta.Ia dan Nicholas baru saja memasuki rumah. Setelah puas menikmati keindahan yang ada di sungai Siene tadi. Nicholas memutuskan untuk mengajak Aleeta pulang, terlebih karena hari sudah semakin malam, serta udara di luar juga sudah semakin dingin. “Aku benar-benar merasa senang,” sambung Aleeta sambil tersenyum.Nicholas hanya tersenyum tipis. Ia terus melangkah di samping Aleeta yang sedang berjalan menuju kamar mereka. “Andai saja cuacanya tidak dingin. Mungkin aku masih ingin berkeliling Paris denganmu.”“Lain kali saja. Kita masih punya banyak waktu untuk datang dan berkeliling di Paris,” sahut Nicholas.“Yah, sepertinya begitu,” ucap Aleeta seraya membuka pintu kamarnya.Begitu sampai di dalam kamar, Aleeta segera membuka coat yang sejak tadi masih ia pakai. Kemudian ia menggantungkann
Aleeta mengerjap ketika Nicholas menarik tangannya agar mendekat ke arah pria tersebut. “Kamu yang menulis atau aku?” Nicholas kembali bertanya.Aleeta berdehem pelan. “K-kamu saja,” jawabnya gugup.“Baiklah. Aku yang akan menulisnya. Bisa tolong bawakan gembok ini terlebih dahulu.” Nicholas berujar seraya menyerahkan gemboknya ke tangan Aleeta. Sedangkan Aleeta langsung mengangguk dan menerima gembok tersebut dengan senang hati.Saat Aleeta memikirkan atas ketakutannya jika Nicholas kembali mengingat tentang apa yang sudah pernah pria itu lakukan di tempat ini. Atau tentang bagaimana jika Nicholas kembali menatapnya dengan penuh dendam dan kebencian. Tapi ternyata Aleeta salah. Sejak tadi Nicholas sama sekali tidak menunjukkan hal itu kepada Aleeta. Pria itu bahkan juga masih terus menatapnya dengan penuh kehangatan. Sama seperti yang pria itu lakukan sejak memutuskan untuk membawa Aleeta berkeliling kota Paris.Entah apa yang
Nicholas masih terdiam seraya menggenggam gembok pemberian seorang wanita yang tak di kenalnya tadi. Untuk ke sekian kalinya Nicholas merutuk, kenapa ia harus menerima gemboknya?“Nicho.”“Hm.” Pria itu menyahut hanya dengan gumaman pelan.Aleeta menelan ludah. Sejujurnya ia merasa takut untuk menanyakan hal ini kepada Nicholas. Tapi jika Aleeta tidak bertanya maka rasa penasaran itu akan semakin bertambah besar nantinya.“K-kamu ... kenapa kamu terima gembok pemberian wanita tadi?” Tanya Aleeta pelan.Nicholas langsung menoleh. “Aku juga nggak tahu. Mungkin karena kasihan,” jawab Nicholas datar.“Kasihan?”Aleeta menatap Nicholas yang hanya mengangguk seraya menatap gembok di tangannya.“Lalu sekarang ...” Aleeta menjeda kalimatnya sejenak. “Kamu mau apakan gembok itu?” Wanita itu menjerit dalam hati. Kenapa sejak tadi ia terus mengikuti kata hatinya? Aleeta takut jika Nicholas akan
“Aleeta.”Nicholas memanggil Aleeta yang beberapa menit terakhir hanya terlihat diam saja.“....,”“Aleeta!”“Ya?”Aleeta tersentak ketika merasakan sebuah tepukan pelan di lengannya. Ia lalu menoleh ke arah Nicholas yang menatapnya bingung. Aleeta mengerjap lalu kembali membuang muka.“Ada apa?” Nicholas bertanya, tapi Aleeta hanya menggeleng.“Nggak apa-apa.”“Aleeta, katakan padaku ada apa? Kenapa kamu—““Aku bilang nggak apa-apa, Nicho,” sahut Aleeta masih membuang muka.Wanita itu menunduk, meremas kedua telapak tangannya yang terasa dingin. ‘Ada apa denganku? Kenapa perasaan ini harus muncul?’ tanyanya dalam hati.“Kamu ini kenapa?” Nicholas kembali bertanya. Kali ini dengan sedikit jengkel. Sedangkan Aleeta hanya diam.Aleeta tidak apa-apa. Hanya saja saat ini Aleeta merasa takut dan juga khawatir. Sejak tadi benaknya terus memikirkan soal Nichol
Langit yang semakin gelap menggelayut di atas sungai Seine, kota Paris. Hari yang semakin malam membuat suhu dingin terasa semakin menggigit dan menusuk permukaan kulit. Meskipun begitu, hal tersebut sama sekali tak menyurutkan antusiasme ratusan orang yang tetap ingin berada di sana. Mereka tetap menikmati keindahan sungai Seine dan menara Eiffel yang saling berdekatan itu.Angin dari sungai yang membelah kota Paris menjadi dua bagian itu terasa berembus kencang saat Nicholas menghentikan sepeda motornya di sana. Dingin. Sangat dingin. Nicholas bahkan sampai menggesek kedua telapak tangannya guna menepis rasa dingin yang menusuk tersebut.“Dingin?”“Ya.” Aleeta menjawab seraya merapatkan coat-nya. “Berapa derajat suhunya sekarang? Kenapa sampai sedingin ini?”Nicholas mengangkat bahu. “Nggak usah terlalu memedulikan suhunya. Lebih baik kita nikmati saja suasananya.”Aleeta mendengus. “Suasana dingin maksudnya?”Nicho
Setelah merasa puas mengamati pohon Natal. Nicholas kembali mengajak Aleeta untuk meneruskan perjalanannya. Mereka semakin melangkah mendekati kaki dari menara Eiffel. Di sana ada banyak sekali spot yang bisa di gunakan untuk bersantai, berfoto ria dan sebagainya. Nicholas berniat untuk mengajak Aleeta duduk di sebuah bangku kosong yang ada di ujung. Setelah berjalan beberapa menit lamanya, Nicholas yakin Aleeta pasti merasa kelelahan dan membutuhkan waktu untuk duduk barang sejenak. Meski Aleeta tidak meminta untuk beristirahat. Tapi Nicholas tetap sadar diri, ia tidak mungkin menjadi pria yang egois dengan membiarkan Aleeta tidak beristirahat.“Ayo, kita duduk di sana terlebih dahulu,” ajak Nicholas. Menarik Aleeta mendekati bangku kosong yang ia maksud.Namun, saat langkahnya hendak mencapai bangku. Tiba-tiba saja ada sepasang kekasih yang menghentikan langkah Nicholas.“Permisi. Maaf mengganggu ...,” Nicholas menoleh pada