“Mira, hari ini aku pinjam bajumu terlebih dahulu, ya. Besok janji akan aku kembalikan.” Kata Aleeta ketika ia keluar dari ruang ganti bersama Mira.
Pagi tadi Aleeta sempat meminjam ponsel Thomas untuk menghubungi Mira supaya wanita itu membawakan pakaian ganti untuknya. Aleeta tahu jika ukuran bajunya dan Mira hampir sama. Jadi ia memutuskan untuk meminjam saja kepada Mira, daripada ia harus keluar ke jalanan dengan menggunakan pakaian rumah sakit lagi.“Santai saja, Aleeta. Aku masih punya banyak baju di rumah,” bisik Mira seraya terkekeh, dan Aleeta pun juga ikut terkekeh.“Hei, kalian. Cepatlah! Aku ingin segera pulang,” keluh Johan ketika melihat Mira dan Aleeta yang tengah berjalan ke arahnya.“Ck! Sabar kenapa, sih? Aku heran deh, Jo. Jangan-jangan alasan kenapa nggak ada wanita yang ingin jadi kekasihmu itu karena kamu orangnya nggak sabaran,” cibir Mira.Johan mendengus. “Jangan sok tahu!”“Sudah. Jangan berKeesokan harinya ketika Nicholas ingin sarapan. Ia melihat Aleeta yang sedang berdiri di bawah rangkaian anak tangga. Nicholas mengernyit. Apa yang di lakukan wanita itu? Apa dia sedang menunggunya?“Kembalikan ponselku.”Nicholas hanya melirik dengan sebelah alis terangkat ketika Aleeta mengatakan hal tersebut.“Kamu nggak dengar, ya. Aku bilang kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawa ponselku, kan?” Aleeta mengejar Nicholas yang tidak menanggapi ucapannya. Pria itu justru memilih untuk tetap berjalan ke arah ruang makan.“Nicho kembalikan—““Jangan panggil aku seperti itu!” Ketus Nicholas.Pria itu berhenti secara tiba-tiba hingga membuat Aleeta yang berjalan di belakangnya hampir saja menabraknya. Aleeta langsung bernapas lega karena gerak refleksnya bisa berfungsi cepat kali ini.“Baiklah, Tuan Nicholas. Tolong sekarang juga kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawanya,” ujar Aleeta dengan
“Emily? Tumben sekali kamu datang ke sini?” Nicholas mengernyit ke arah Emily yang baru saja datang ke kantornya. Selama ini, adiknya itu jarang sekali berkunjung jika tidak ada urusan yang penting. Karena Emily sendiripun juga memiliki pekerjaan, sebagai pemilik butik ternama di pusat kota. “Hm.” Wanita berwajah datar itu hanya bergumam seraya mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dalam ruangan kerja kakaknya. Menyilangkan kaki, seraya mengamati kuku jarinya yang lentik. Nicholas mendengus. “Kalau nggak ada hal yang penting lebih baik kamu pulang saja. Aku punya banyak—“ “Bagaimana keadaan istrimu, Kak?” Emily menyela cepat. Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Untuk apa kamu menanyakan hal itu?” “Memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku ingin tahu keadaan Kakak iparku,” sahut Emily seraya merebahkan punggung di sandaran sofa. “Keadaannya bukanlah urusanmu,” u
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” Aleeta segera beranjak dari tempat duduknya. “Nicholas.”Tubuh Aleeta seketika terasa begitu kaku. Bagaimana bisa Nicholas sampai di tempat ini? Bagaimana bisa pria itu begitu nekat mencarinya hingga ke Cafe Thomas? Aleeta lalu melirik ke arah Mira dan Johan. Mereka berdua tampak begitu kaget dan juga bingung dengan kehadiran Nicholas.“Nicho—““Tutup mulutmu dan ikut aku sekarang!” Nicholas segera mendekati Aleeta, hendak menyeret lengan wanita itu.“Nggak. Aku masih harus bekerja, Nicho.” Aleeta berhasil menghindar.Nicholas tersenyum sinis. “Jadi kamu benar-benar berani melawan perintahku, ya?”“Aku nggak melawanmu,” balas Aleeta cepat. Sementara Mira dan Johan masih diam mematung di tempat mereka.Semua yang terjadi saat ini sangatlah di luar dugaan. Siapa yang tidak mengenal Nicholas Axel Frederick? Mira dan Johan pun juga tahu kalau keluarga pria itu adalah orang ter
“Nicholas, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Karina begitu melihat putranya yang tengah duduk di depan ruang operasi.Tadi Nicholas terpaksa memberitahu kabar tentang kecelakaan Aleeta, karena Emily terus saja menghubunginya. Alhasil, saat ini Mama, Papa dan adiknya menyusul ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Aleeta.“Aku nggak tahu, Ma,” jawab Nicholas pelan.Karina menggeleng. “Jangan bilang kalau kejadian ini kamu yang sengaja melakukannya.”Nicholas segera mendongak, menatap ibunya yang sedang menatap marah padanya. “Demi Tuhan, aku nggak melakukan apapun, Ma.”“Jangan berbohong, Nicholas!” Karina menjerit seraya memegangi dadanya. “Ma, tenanglah.” Emily segera mendudukkan ibunya di kursi tunggu. Sementara Karina mulai menangis.“Mama tahu kamu membenci Aleeta, Nicholas. Sejak awal Mama sudah bilang, supaya kamu jangan menikahinya. Karena pernikahanmu pasti hanya akan membuat Aleeta terluka,” uj
Perbincangan Nicholas dengan Papanya kemarin benar-benar berhasil membuat pikiran Nicholas menjadi kacau. Di satu sisi, Nicholas benar-benar tidak ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Namun, di sisi lain ia juga merasa begitu takut.Nicholas masih ingat betul dengan ketakutannya ketika melihat Aleeta yang tak berdaya di depan matanya. Saat tubuh wanita itu berlumuran darah, dan terkulai lemah tidak sadarkan diri. Nicholas benar-benar takut saat itu. Nicholas takut jika ia harus melihat kematian lagi di depan matanya.Pada hari ini, entah mendapat dorongan dari mana, kaki Nicholas melangkah masuk ke dalam rumah sakit dimana Aleeta sedang di rawat. Ia bukanya ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Tidak. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang di katakan Papanya itu tidaklah benar. Tidak ada penyesalan yang harus Nicholas rasakan.“Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari semua ini?” Nicholas dan Lukas berdiri menatap ranjang rumah sakit, dimana Aleeta terbaring lemah dan tidak sadarkan di
Apa yang kamu rasakan ketika kematian datang menjemputmu? Apakah kamu merasa kesakitan? Apakah kamu merasa takut? Apakah kamu takut jika kamu akan sendiri dalam kegelapan dan kedinginan?Bagi Aleeta semua itu bukanlah apa-apa. Ia sudah hampir pernah mati beberapa kali sebelumnya, meski semuanya selalu gagal. Dan rasanya sama saja. Tidak ada rasa apa-apa. Bahkan ketika ia membuka matanya, ia juga tidak merasakan apa-apa.“Kamu sudah sadar.”Sebuah suara yang terdengar cukup familier terdengar. Meski tubuh Aleeta masih terasa lemah, tapi ia berusaha untuk menoleh. Ia menemukan pria yang selalu bersama Nicholas, berdiri di samping ranjangnya. “Kamu haus?”Aleeta mengangguk, pria itu mendekat, membantunya untuk minum. Aleeta ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan itu, tapi suaranya yang terdengar hanya gumaman yang tidak jelas.“Nggak perlu bicara. Dokter akan segera datang.”Aleeta hanya diam
“Tuan Nicholas ini ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani.” Ella—sekretaris Nicholas masuk ke dalam ruangan pria itu sembari membawa beberapa berkas di tangannya. Ella mengernyit ketika Nicholas tak kunjung merespons pembicaraannya. Atasannya itu terlihat sedang melamunkan sesuatu.“Tuan ... Tuan Nicholas ....”“Ya.” Pria itu mengerjap dan langsung menatap Ella. Sementara yang di tatap segera menunduk karena takut kalau ia telah membuat kesalahan.“Maaf, Tuan. Saya hanya ingin meminta tanda tangan—““Mana yang harus aku tanda tangani?” Tanya Nicholas cepat.“Ini, Tuan.” Ella segera mendekat dan memberikan beberapa berkas yang harus Nicholas tanda tangani. Tidak butuh waktu lama, semua berkas itu sudah berhasil tertanda tangani oleh Nicholas.“Ada lagi?”Ella menggeleng. “Tidak ada, Tuan.”Nicholas mengangguk. “Baiklah.” Pria itu hendak melanjutkan kegiatannya. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Ella, tunggu,” ujarnya ketika melihat Ella hendak keluar dari ruangannya.“
Aleeta turun di halte bus sembari merapatkan jaket. Ia melangkah lunglai menuju gang kecil yang akan membawanya ke kontrakan yang selama bertahun-tahun ini menjadi tempat tinggalnya. Rasanya lelah luar biasa. Aleeta melangkah pelan, bahkan sesekali berhenti, menatap ujung sepatunya dengan pikiran kosong. Kemudian Aleeta kembali melangkah menuju kontrakannya. Dalam satu hari ia harus bekerja di dua tempat sekaligus. Mulai dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Tubuh Aleeta bahkan sampai terlihat begitu kurus dan pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang setiap hari semakin bertambah kentara. Terkadang tubuhnya juga terasa lemah karena kekurangan jam istirahat. Tapi Aleeta tidak boleh mengeluh. Aleeta menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu rumah. Belum sempat pintu itu tertutup, dia sudah mendengar seruan yang memekakkan telinganya. “Mana uangku?!” Aleeta mendesah lelah. Ia tidak kaget lagi mendapati Sonya menunggu kepulangannya di balik pintu. Bukan, bukan kepulangan
“Tuan Nicholas ini ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani.” Ella—sekretaris Nicholas masuk ke dalam ruangan pria itu sembari membawa beberapa berkas di tangannya. Ella mengernyit ketika Nicholas tak kunjung merespons pembicaraannya. Atasannya itu terlihat sedang melamunkan sesuatu.“Tuan ... Tuan Nicholas ....”“Ya.” Pria itu mengerjap dan langsung menatap Ella. Sementara yang di tatap segera menunduk karena takut kalau ia telah membuat kesalahan.“Maaf, Tuan. Saya hanya ingin meminta tanda tangan—““Mana yang harus aku tanda tangani?” Tanya Nicholas cepat.“Ini, Tuan.” Ella segera mendekat dan memberikan beberapa berkas yang harus Nicholas tanda tangani. Tidak butuh waktu lama, semua berkas itu sudah berhasil tertanda tangani oleh Nicholas.“Ada lagi?”Ella menggeleng. “Tidak ada, Tuan.”Nicholas mengangguk. “Baiklah.” Pria itu hendak melanjutkan kegiatannya. Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Ella, tunggu,” ujarnya ketika melihat Ella hendak keluar dari ruangannya.“
Apa yang kamu rasakan ketika kematian datang menjemputmu? Apakah kamu merasa kesakitan? Apakah kamu merasa takut? Apakah kamu takut jika kamu akan sendiri dalam kegelapan dan kedinginan?Bagi Aleeta semua itu bukanlah apa-apa. Ia sudah hampir pernah mati beberapa kali sebelumnya, meski semuanya selalu gagal. Dan rasanya sama saja. Tidak ada rasa apa-apa. Bahkan ketika ia membuka matanya, ia juga tidak merasakan apa-apa.“Kamu sudah sadar.”Sebuah suara yang terdengar cukup familier terdengar. Meski tubuh Aleeta masih terasa lemah, tapi ia berusaha untuk menoleh. Ia menemukan pria yang selalu bersama Nicholas, berdiri di samping ranjangnya. “Kamu haus?”Aleeta mengangguk, pria itu mendekat, membantunya untuk minum. Aleeta ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan itu, tapi suaranya yang terdengar hanya gumaman yang tidak jelas.“Nggak perlu bicara. Dokter akan segera datang.”Aleeta hanya diam
Perbincangan Nicholas dengan Papanya kemarin benar-benar berhasil membuat pikiran Nicholas menjadi kacau. Di satu sisi, Nicholas benar-benar tidak ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Namun, di sisi lain ia juga merasa begitu takut.Nicholas masih ingat betul dengan ketakutannya ketika melihat Aleeta yang tak berdaya di depan matanya. Saat tubuh wanita itu berlumuran darah, dan terkulai lemah tidak sadarkan diri. Nicholas benar-benar takut saat itu. Nicholas takut jika ia harus melihat kematian lagi di depan matanya.Pada hari ini, entah mendapat dorongan dari mana, kaki Nicholas melangkah masuk ke dalam rumah sakit dimana Aleeta sedang di rawat. Ia bukanya ingin peduli dengan keadaan Aleeta. Tidak. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang di katakan Papanya itu tidaklah benar. Tidak ada penyesalan yang harus Nicholas rasakan.“Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari semua ini?” Nicholas dan Lukas berdiri menatap ranjang rumah sakit, dimana Aleeta terbaring lemah dan tidak sadarkan di
“Nicholas, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Karina begitu melihat putranya yang tengah duduk di depan ruang operasi.Tadi Nicholas terpaksa memberitahu kabar tentang kecelakaan Aleeta, karena Emily terus saja menghubunginya. Alhasil, saat ini Mama, Papa dan adiknya menyusul ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Aleeta.“Aku nggak tahu, Ma,” jawab Nicholas pelan.Karina menggeleng. “Jangan bilang kalau kejadian ini kamu yang sengaja melakukannya.”Nicholas segera mendongak, menatap ibunya yang sedang menatap marah padanya. “Demi Tuhan, aku nggak melakukan apapun, Ma.”“Jangan berbohong, Nicholas!” Karina menjerit seraya memegangi dadanya. “Ma, tenanglah.” Emily segera mendudukkan ibunya di kursi tunggu. Sementara Karina mulai menangis.“Mama tahu kamu membenci Aleeta, Nicholas. Sejak awal Mama sudah bilang, supaya kamu jangan menikahinya. Karena pernikahanmu pasti hanya akan membuat Aleeta terluka,” uj
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” Aleeta segera beranjak dari tempat duduknya. “Nicholas.”Tubuh Aleeta seketika terasa begitu kaku. Bagaimana bisa Nicholas sampai di tempat ini? Bagaimana bisa pria itu begitu nekat mencarinya hingga ke Cafe Thomas? Aleeta lalu melirik ke arah Mira dan Johan. Mereka berdua tampak begitu kaget dan juga bingung dengan kehadiran Nicholas.“Nicho—““Tutup mulutmu dan ikut aku sekarang!” Nicholas segera mendekati Aleeta, hendak menyeret lengan wanita itu.“Nggak. Aku masih harus bekerja, Nicho.” Aleeta berhasil menghindar.Nicholas tersenyum sinis. “Jadi kamu benar-benar berani melawan perintahku, ya?”“Aku nggak melawanmu,” balas Aleeta cepat. Sementara Mira dan Johan masih diam mematung di tempat mereka.Semua yang terjadi saat ini sangatlah di luar dugaan. Siapa yang tidak mengenal Nicholas Axel Frederick? Mira dan Johan pun juga tahu kalau keluarga pria itu adalah orang ter
“Emily? Tumben sekali kamu datang ke sini?” Nicholas mengernyit ke arah Emily yang baru saja datang ke kantornya. Selama ini, adiknya itu jarang sekali berkunjung jika tidak ada urusan yang penting. Karena Emily sendiripun juga memiliki pekerjaan, sebagai pemilik butik ternama di pusat kota. “Hm.” Wanita berwajah datar itu hanya bergumam seraya mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dalam ruangan kerja kakaknya. Menyilangkan kaki, seraya mengamati kuku jarinya yang lentik. Nicholas mendengus. “Kalau nggak ada hal yang penting lebih baik kamu pulang saja. Aku punya banyak—“ “Bagaimana keadaan istrimu, Kak?” Emily menyela cepat. Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Untuk apa kamu menanyakan hal itu?” “Memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku ingin tahu keadaan Kakak iparku,” sahut Emily seraya merebahkan punggung di sandaran sofa. “Keadaannya bukanlah urusanmu,” u
Keesokan harinya ketika Nicholas ingin sarapan. Ia melihat Aleeta yang sedang berdiri di bawah rangkaian anak tangga. Nicholas mengernyit. Apa yang di lakukan wanita itu? Apa dia sedang menunggunya?“Kembalikan ponselku.”Nicholas hanya melirik dengan sebelah alis terangkat ketika Aleeta mengatakan hal tersebut.“Kamu nggak dengar, ya. Aku bilang kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawa ponselku, kan?” Aleeta mengejar Nicholas yang tidak menanggapi ucapannya. Pria itu justru memilih untuk tetap berjalan ke arah ruang makan.“Nicho kembalikan—““Jangan panggil aku seperti itu!” Ketus Nicholas.Pria itu berhenti secara tiba-tiba hingga membuat Aleeta yang berjalan di belakangnya hampir saja menabraknya. Aleeta langsung bernapas lega karena gerak refleksnya bisa berfungsi cepat kali ini.“Baiklah, Tuan Nicholas. Tolong sekarang juga kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawanya,” ujar Aleeta dengan
“Mira, hari ini aku pinjam bajumu terlebih dahulu, ya. Besok janji akan aku kembalikan.” Kata Aleeta ketika ia keluar dari ruang ganti bersama Mira.Pagi tadi Aleeta sempat meminjam ponsel Thomas untuk menghubungi Mira supaya wanita itu membawakan pakaian ganti untuknya. Aleeta tahu jika ukuran bajunya dan Mira hampir sama. Jadi ia memutuskan untuk meminjam saja kepada Mira, daripada ia harus keluar ke jalanan dengan menggunakan pakaian rumah sakit lagi. “Santai saja, Aleeta. Aku masih punya banyak baju di rumah,” bisik Mira seraya terkekeh, dan Aleeta pun juga ikut terkekeh.“Hei, kalian. Cepatlah! Aku ingin segera pulang,” keluh Johan ketika melihat Mira dan Aleeta yang tengah berjalan ke arahnya.“Ck! Sabar kenapa, sih? Aku heran deh, Jo. Jangan-jangan alasan kenapa nggak ada wanita yang ingin jadi kekasihmu itu karena kamu orangnya nggak sabaran,” cibir Mira.Johan mendengus. “Jangan sok tahu!”“Sudah. Jangan ber
Aleeta berjalan keluar dari kamar inap itu seraya mengancing jaket hingga ke leher. Ia lalu menaikkan tudung jaket hingga menutupi kepalanya. Dengan bertelanjang kaki, ia melangkah tergesa dengan kepala tertunduk. Menyusuri koridor rumah sakit untuk mencari jalan keluar. Wanita itu mendesah ketika sudah berhasil keluar dari gedung rumah sakit. Rupanya hari masih sangat pagi. Ia segera berlari menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. Aleeta mengenali jalanan ini. Jalan yang searah dengan rumah Nicholas. Aleeta ingat karena kemarin ia lewat jalan ini ketika Nicholas membawanya pulang. Gawat.Jika rumah sakit ini dekat dengan rumah Nicholas, maka pria itu bisa saja menemukannya di sini. Aleeta menggeleng, lalu semakin berlari cepat, tidak berhenti meski hanya sekedar untuk menoleh. Aleeta harus pergi menjauh dari tempat ini.Ia meringis ketika kakinya beberapa kali menginjak kerikil kecil yang ada di pinggir jalan. Aleeta memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Ia terdiam saat mer