Nicholas mengerang ketika ia meledakkan cairannya ke dalam mulut Aleeta. Ia menekan dan mendorong hingga semua cairan itu masuk ke dalam tenggorokan Aleeta. Dan apakah setelah itu semuanya akan selesai begitu saja?
Tidak.Nicholas kemudian menjambak, menarik rambut Aleeta hingga wanita itu berdiri di hadapannya. Mengabaikan Aleeta yang masih tersedak dan terbatuk-batuk. Nicholas menyusul berdiri lalu mendorong wanita itu hingga pinggangnya menatap meja makan.“Nicho—“Aleeta memekik tertahan ketika tiba-tiba Nicholas mengangkat tubuhnya, dan mendudukkannya di atas meja makan. Pria itu membuka paksa kedua paha Aleeta, dan berdiri di tengah-tengahnya.“A-apa yang ingin kamu lakukan, Nicho?” Tanya Aleeta sambil terus mengusap sisa cairan Nicholas yang ada di mulutnya.Nicholas tersenyum miring. “Tenanglah. Aku nggak akan menyakitimu.”Aleeta mendelik. Apa pria itu bilang? Tidak akan menyakitinya? Lalu kira-kirPagi harinya, semua aktivitas berjalan seperti biasa. Aleeta menyiapkan sarapan lalu membangunkan Nicholas. Meski setiap kali ia mengetuk pintu kamar Nicholas, pria itu sama sekali tidak pernah membukakan pintu untuknya. Senyum Aleeta mengembang ketika melihat Nicholas muncul di tangga. Ia baru saja selesai menghidangkan sarapan di atas meja makan. Meja yang menjadi tempat bercintanya dengan Nicholas semalam.Ugh! Jika mengingat hal semalam langsung membuat kedua pipi Aleeta terasa memanas. Bukan karena teringat tentang percintaannya. Melainkan malu karena Aleeta tidak habis pikir jika ia dan Nicholas melakukan hal itu di ruang makan. Tidak. Lebih tepatnya di atas meja makan. Tempat mereka makan setiap harinya. Ya ampun, untung saja sisa cairan percintaannya semalam bisa langsung hilang begitu saja. Jika tidak Aleeta mungkin tidak akan pernah berani untuk menginjak ruang makan lagi.“Apa yang kamu lakukan?”Aleeta mengerjap saat menyadari
“Kamu apa kabarnya?” Johan tersenyum pada Aleeta yang sedang sibuk memilih menu makan siangnya.Ternyata Johan tadi membawa Aleeta mampir ke sebuah kedai makanan yang terletak tidak jauh dari butik Emily. Aleeta sedikit bernapas lega karena Johan memilih kedai tersebut. Pasalnya nanti Aleeta tidak perlu panik jika jam istirahat di butik adik iparnya itu hendak berakhir.Aleeta tinggal meminta Johan untuk mengantarnya, tidak butuh waktu lama. Paling lima menit juga langsung sampai.“Baik ...” Aleeta menatap Johan yang terus saja menatapnya sejak tadi. “Kamu?”“Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik-baik saja,” jawab Johan.Aleeta mengangguk. “Syukurlah.”“Aleeta ...,” Johan kembali memanggil.“Ya?”“Hanya perasaanku atau memang kamu terlihat sedikit kurusan?” Tatapan Johan terlihat menelisik.Aleeta hanya tersenyum. Jujur saja selama ini ia jarang sekali memerhatikan tubuhnya. Menurutny
Ponsel Nicholas berdering ketika ia sedang sibuk membaca berkas-berkas yang menumpuk di atas mejanya. Tidak ingin menjawab, Nicholas memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut. Namun, beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering. “Sial,” umpat Nicholas seraya menyambar ponsel dengan kasar. “Mark? Ada apa dia menghubungiku?”Kali ini tanpa berpikir panjang Nicholas segera menggeser tombol hijau yang ada pada layarnya. Lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya. Seketika suara Mark langsung terdengar.“Selamat siang, Tuan. Maaf jika saya mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberikan sedikit laporan hari ini,” terang Mark di seberang telepon.“Laporan?” Nicholas mengernyit seraya menumpuk berkas yang sudah ia periksa, lalu mengambil berkas yang lainnya. “Laporan apa yang ingin kamu katakan padaku?”“Siang ini saya melihat Nona Aleeta pergi ke sebuah apotek.”Nicholas terdiam. Apotek? Untuk apa Aleeta ke apot
“Hai, Kak Nicholas!” Emily langsung tersenyum dan mendekati Nicholas yang baru saja menuruni anak tangga.Sementara Nicholas hanya mengernyit heran ketika melihat keberadaan Emily di rumahnya saat ini. Apa yang di lakukan adiknya itu? Tidak biasanya Emily datang sepagi ini. Lagipula jam buka butik milik adiknya masih sekitar jam delapan nanti.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanya Nicholas penuh selidik.Emily langsung meringis. “Tentu saja untuk menemuimu, Kak. Sejak kemarin aku ingin sekali menemuimu. Ada hal yang ingin aku katakan.”Nicholas bersedekap menatap adiknya yang berdiri di hadapannya. “Tentang apa? Kenapa kamu nggak meneleponku saja?”“Ck! Bagaimana aku mau meneleponmu? Kamu saja nggak pernah menjawab setiap kali aku menghubungimu,” keluh Emily.“Oh, itu karena aku sedang sibuk,” sahut Nicholas santai.Emily langsung mendengus. Ia sudah sangat hafal dengan sifat kakaknya.
Hari Sabtu pun tiba. Sesuai janji, Nicholas dan Aleeta datang berkunjung ke rumah orang tua Nicholas. Selama perjalanan, baik Aleeta maupun Nicholas sama sekali tidak ada yang membuka percakapan. Nicholas yang selalu dingin dan bersikap datar kepada Aleeta tidak mungkin memulai pembicaraan terlebih dahulu. Sedangkan Aleeta, ia terlalu takut untuk merusak suasana hati Nicholas di pagi hari seperti ini. Begitu sampai di kediaman orang tua Nicholas. Keduanya langsung turun. Aleeta meringis ketika hampir menjatuhkan kotak kue yang ia beli sebagai buah tangan untuk kedua mertuanya karena keseimbangan kakinya terganggu. Sedangkan Nicholas hanya menatap datar meski tadi pria itu melihat sendiri Aleeta yang hampir terjatuh. Tanpa mengatakan apapun, Nicholas berjalan lebih dulu mendahului Aleeta masuk ke rumah orang tuanya, dan Aleeta menyusul di belakang. Ini pertama kalinya Aleeta berkunjung ke rumah mertuanya yang ternyata ta
Setelah sepuluh menit menunggu di meja makan, barulah Nicholas pergi ke ruang kerja Javier. Ia terlebih dahulu mengetuk pintu, dan baru masuk setelah dipersilahkan.“Ada hal penting apa, Pa?” Tanya Nicholas. Javier menginstruksikannya untuk duduk di sofa, dan pria itupun menurut. Tak lama, Javier menyusul dengan membawa sebuah paspor, lalu menyerahkannya pada Nicholas.“Ini hadiah dari Papa dan Mama,” ujar Javier yang membuat kening Nicholas berkerut ketika mendengarnya.“Paspor?” Nicholas lalu mengambil paspor tersebut, dan terkejut ketika melihat data diri Aleeta tercantum di sana. “Untuk apa Papa memberikan paspor ini pada Aleeta?”“Bukankah tadi Papa sudah bilang, itu hadiah dari Papa dan Mama.”“Aleeta nggak butuh hadiah ini, Pa,” sahut Nicholas cepat.“Tentu saja dia butuh. Kamu akan pergi berlibur ke Paris bersama Aleeta. Berhubung kamu sudah memilikinya sedangkan Aleeta belum. Jadi dia membutuhkannya.”
Pagi harinya, Aleeta bangun kesiangan.Baru saja Aleeta membuka mata, ia langsung lompat dari ranjang tempat tidurnya. Padahal beberapa waktu belakangan ini ia sudah terbiasa bangun pukul lima atau enam pagi untuk membantu Mary di dapur. Tapi kali ini, ia bangun pukul delapan. Apa mungkin karena tidurnya yang terlalu nyenyak semalam?Seketika Aleeta langsung menatap ke ranjang tempat tidurnya. Nicholas sudah tidak ada di sana. Kemungkinan pria itu sudah bangun sejak tadi, dan sekarang menghilang entah kemana. “Kenapa sih Nicho nggak membangunkanku?” Gumam Aleeta pelan.Wanita itu lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Setelah menyikat gigi dan mencuci muka, Aleeta segera keluar dari kamar menuju dapur. Di sana ada Karina yang sedang memasak sarapan dengan di bantu oleh ART-nya.“Pagi, Ma,” sapa Aleeta. “Maaf, aku bangunnya kesiangan.”Karina tersenyum. “Tidak apa-apa, Sayang. Mama maklum, kok,” ujarnya kembali tersenyu
Ketika hendak memasuki jam makan malam, Nicholas menghampiri Mary yang sedang memasak di dapur. Beruntung, ketika Nicholas ke dapur, Aleeta tidak berada di sana. “Mary, apa kamu bisa membuatkanku semur ayam yang seperti waktu itu?” Nicholas menatap Mary yang terlihat langsung menghentikan aktivitas memasaknya.“Maaf, Tuan. Semur ayam yang mana?” Mary balik bertanya.“Semur ayam yang pernah kamu masak pagi-pagi itu. Yang membuatku sampai menambah nasi,” terang Nicholas.Mary terdiam. Mungkin Nicholas berpikir semur ayam itu adalah buatannya. Padahal selama ini yang selalu memasak untuk Nicholas adalah Aleeta. Kalau seperti ini Mary harus menjawab apa?“Mary, kenapa kamu diam saja?” Mary mengerjap ketika mendengar suara Nicholas. “M-maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud—““Nggak usah banyak bicara. Cepat kamu buatkan saja semur ayamnya. Aku ingin makan malam dengan menu itu,” sahut Nicholas.Mary meng
“Apa kamu sudah paham?” Tanya Nicholas.Sudah hampir satu jam lamanya, Nicholas mengajari Aleeta tentang bagaimana cara menggunakan smartphone-nya. Pria itu mengajari dengan sangat sabar dan detail, tidak ada yang terlewat satupun. Hanya saja mungkin karena Aleeta baru pertama kali menggunakan smartphone jadinya wanita itu masih terlihat sedikit bingung.Sementara itu, Aleeta yang duduk di sebelah Nicholas hanya diam, tidak menggubris sedikitpun ucapan pria itu. Aleeta hanya terus mengamati layar ponsel yang di pegang Nicholas itu dengan serius. Lalu tiba-tiba Aleeta menunduk, menjatuhkan kepalanya ke bahu Nicholas.“Aleeta ...,” Nicholas menoleh. “Kamu tidur?” Aleeta menggeleng pelan. “Aku nggak tidur. Tenang saja.”“Aku kira kamu ketiduran,” sahut Nicholas.Aleeta lalu mengangkat kepalanya. Memutar posisi kemudian duduk bersila menghadap Nicholas. Dan karena malam ini ia hanya mengenakan gaun tidur pendek, jadi ia harus menarik selimut agar bisa menutupi bagian kaki dan pahanya yan
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.” Nicholas yang melihat keberadaan Aleeta langsung cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik punggung. Aleeta tadi belum sempat melihat tangannya, kan? Kalau pun sudah terlanjur melihat semoga saja Aleeta tidak menyadari apa yang saat ini sedang ia bawa. “Nicho, kenapa diam? Bukanya tadi kamu mencariku. Tapi kenapa sekarang hanya diam?” Gerutu Aleeta dengan bibir mengerucut. Nicholas tersenyum. “Kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu,” perintahnya pada Aleeta. “Apa?” “Mendekatlah kalau ingin tahu,” ujar Nicholas yang mau tidak mau langsung membuat Aleeta mendekatinya. Nicholas segera merengkuh pinggang Aleeta ketika istrinya itu berdiri di hadapannya. “Nicho, apa yang kamu lakukan? Katanya kamu punya sesuatu untukku. Kenapa jadi memelukku seperti ini?” “Ini ...,” kata Nicholas seraya mengangkat paper bag ponsel yang di bawanya ke hadapan Aleeta. “Aku membelikanmu ponsel.” “P-ponsel?” Aleeta menatap Nichola
“Nona Aleeta, sedang apa Anda di sini?” Aleeta terkejut dan seketika menoleh saat mendengar suara Mary. Ia hanya menggaruk tengkuk, kemudian meringis. Menatap Mary yang berdiri di depan pintu.“Sejak tadi saya mencari-cari, Anda. Ternyata Anda berada di sini,” imbuh Mary.Aleeta langsung berdehem. “Memangnya ada perlu apa kamu mencariku, Mary? Apa Nicho sudah kembali?” Tanyanya.“Tuan belum kembali, Nona. Saya mencari Anda hanya untuk mengatakan kalau sepertinya semur dagingnya sudah matang. Apa saya harus memindahkannya ke wadah, atau di biarkan dulu di atas kompor?”“Ah, itu ... Biarkan di atas kompor saja, Mary. Supaya bumbunya bisa meresap sampai ke dalam dagingnya,” jawab Aleeta. Setelah itu ia kembali sibuk mencari sesuatu di dalam kamar lamanya.Saat Aleeta tengah memasak tadi entah kenapa tiba-tiba ia teringat dengan pil kontrasepsinya. Aleeta baru ingat kalau sejak kembali dari Paris kemarin, ia belum meminu
Begitu sampai di rumah, Nicholas segera menyerahkan kunci mobilnya kepada Steven agar pria itu memindahkan mobilnya ke carport. Sementara Nicholas memasuki rumah bersama Aleeta. “Selamat datang, Tuan dan ... Nona.” Mary yang kebetulan sedang membersihkan ruang tamu terlihat kaget. Hari ini untuk pertama kalinya ia melihat Nicholas dan Aleeta pulang secara bersamaan. Meski Mary ingin sekali bertanya kenapa mereka bisa pulang bersama? Atau mungkin, apakah Nicholas tadi yang menjemput Aleeta? Tapi kemudian Mary sadar. Ia tidak punya hak atas pertanyaan itu. Lagipula, Mary sudah sangat senang bisa melihat Tuan dan Nonanya akur seperti itu. Tanpa harus ia ikut campur ke dalam urusan mereka. “Oh iya, Mary. Apa kamu sudah menyiapkan makan malam untuk kami?” Tanya Nicholas. “Belum, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda dan Nona Aleeta pulang lebih awal hari ini. Kalau begitu saya akan segera menyiapkan makan malam terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Nicholas lalu mengeluarkan ponsel.Sonya yang melihat Nicholas mengeluarkan ponselnya pun langsung tersenyum senang. Ia berpikir kalau Nicholas pasti akan mengiriminya uang sekarang. Maka dari itu, Sonya pun juga langsung mengeluarkan ponselnya.“Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu, menantu,” ucap Sonya tanpa malu. Padahal Aleeta yang mendengarnya pun langsung merasa malu. Kenapa ibunya itu selalu mendewakan yang namanya uang? Sejak dulu sampai sekarang yang ibunya pikirkan hanya uang, uang dan uang. Apa tidak ada yang lain?Nicholas menaikkan kedua alisnya. “Apa kamu bilang? Nomor rekening?”Sonya mengangguk. “Ya. Nomor rekeningku masih sama dengan yang dulu.”Nicholas langsung tertawa. “Memangnya siapa yang butuh nomor rekeningmu?”“Bukankah kamu akan mengirimiku uang.” Sonya menatap Nicholas yang masih terus tertawa.“Uang? Ck! Untuk apa aku mengirimu uan
Sonya mengerjap. Merasa kaget dengan kemunculan seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya, menahan tangannya dan juga ... Melindungi Aleeta dari jangkauannya.Sonya kemudian memicing, menatap sosok pria yang sudah sangat ia kenal tersebut.“Jangan pernah berani kamu sentuh istriku dengan tangan kotormu.” Pria itu mendesis seraya menyentak tangan Sonya dengan kasar.Sonya langsung mengumpat atas perlakuan kasar tersebut. “Sialan! Beraninya kamu!” Teriaknya kesal.Aleeta menatap ibunya yang tampak marah, lalu beralih menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. “Nicho.”Nicholas segera menoleh saat Aleeta menyentuh lengannya. “Kamu nggak apa-apa?” Tanyanya lembut.“Aku nggak apa-apa,” jawab Aleeta seraya menggeleng.Nicholas langsung menangkup wajah Aleeta dengan kedua tangannya. Mengamati setiap inci wajah istrinya dengan lekat. Seolah takut jika ada bagian wajah Aleeta yang telah tersentuh oleh t
Sonya terus mengumpat sepanjang perjalanan. Merasakan perutnya yang begitu begah karena ia sudah langsung harus berjalan setelah makan. Sonya menghentikan langkah saat ia melewati minimarket. “Sepertinya akan lebih baik jika aku duduk di sana terlebih dahulu,” ujar Sonya seraya menatap kursi kosong yang ada di depan minimarket.Namun, saat ia hendak melangkahkan kakinya, tanpa sengaja ekor matanya menangkap sekelebatan bayangan sosok Aleeta di depan sana. Sonya bahkan sampai terdiam. Antara percaya dan tidak percaya dengan bayangan tersebut. Apakah itu benar-benar hanya bayangan atau ... Memang Aleeta yang ia lihat?Sonya lalu meluruskan pandangannya ke arah depan. “Apa itu benar-benar Aleeta?” Gumam Sonya dengan mata menyipit. Namun, beberapa detik kemudian mata yang menyipit itu berubah menjadi memelotot. “Benar. Sepertinya itu memang Aleeta,” ujar Sonya seraya terus menatap Aleeta yang tengah memasukkan minumannya ke dalam
“Bagaimana? Kamu sudah menemukannya sekarang?” Sonya memicing pada seorang pria yang baru saja memasuki klub yang biasa ia gunakan sebagai tempat berjudi bersama dengan para geng sosialitanya. Pria berpotongan botak itu hanya tersenyum seraya duduk di sebelah Sonya. “Aku belum—““Apa kamu bilang? Belum?! Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau waktu itu pernah melihat keberadaannya di dekat jalan green hill?!” Sonya semakin menatap marah pada pria botak tersebut.Pria botak bernama Roi itu mendesah. “Santailah sedikit, Sayang. Kamu sudah terlalu banyak marah akhir-akhir ini.”“Bagaimana aku tidak marah? Sia-sia aku mengeluarkan uang untukmu dan juga anak buahmu yang tidak berguna itu!” Ketus Sonya.Sejak Sonya memutuskan untuk mencari keberadaan Aleeta. Sejak saat itu juga Sonya rela mengeluarkan uang untuk membayar orang-orang suruhannya agar ia bisa segera menemukan keberadaan Aleeta di pusat kota ini. Sonya sadar
“Sekarang aku tahu bagaimana wajah orang bodoh yang sesungguhnya.” Seharusnya Nicholas marah oleh kalimat yang Lukas katakan. Tapi kali ini, ia tidak marah sama sekali. Nicholas menutup pintu mobilnya dengan santai, lalu berjalan memasuki kantornya.“Sudah kuduga, kamu benar-benar terlihat seperti orang bodoh,” sambung Lukas.“Apa masalahmu sebenarnya? Kenapa kamu bisa ada di sini sepagi ini?” Nicholas mengangkat wajah dan menatap saudara angkatnya.“Aku menunggumu.” “Wah, selama aku nggak ada di sini ternyata kamu sudah berubah menjadi orang yang perhatian, ya,” cibir Nicholas seraya tersenyum di buat-buat.Lukas mendengus. “Kamu terlihat semakin bodoh saat tersenyum seperti itu.”Nicholas langsung terkekeh. “Terima kasih atas pujiannya, Luke.”Mereka lalu masuk ke dalam lift. Dan keluar ketika lift sudah terbuka di lantai tujuan mereka, yaitu ruangan Nicholas.“Apa kamu nggak meras