Flashback beberapa bulan setelah kepergiannya Dominique.John masih saja mencari istri dari tuannya itu kemana pun. Sudah tiga bulan dia mencarinya. Namun, Dominique seolah di telan bumi. Tidak ada kabar dan berita apa pun. Hari ini dia memutuskan untuk mencari Dominique kembali pada Shopie. Teman baiknya. Dia masih merasa yakin kalau istri dari tuannya itu oasti memberikan kabarnya pada gadis itu.Siang itu matahari bersinar dengan sangat terik. Hingga membuat tubuh yang terkena langsung tersengat oleh panasnya. Mobil John melipir pada alamat yang di dapatnya dari informan yang dia perintahkan. Karena Shopie sudah di pindahkan tempat tinggal oleh Willy setelah peristiwa pertengkaran terakhirnya di kamar kecil yang menegangkan itu. Baku tembak tak bisa terelakkan oleh mereka. Hingga membuat kamar kecil yang di sewanya berantakan."Copet jangan lari!" teriaknya.BughDia menabrak seseorang di hadapannya hingga membuatnya tersungkur di jalan. Tas yang di pegangnya pun terhempas. Orang
Dominique membuka matanya. Di hadapannya dengan jelas dia dapat melihat wajah Haiden yang masih tertidur sangat pulas. Wajahnya bagaikan dewa baginya. Perlahan dia menyentuh wajah yang selama dua tahun ini dia tinggalkan. Tetap sama, saat dia tertidur seperti malaikat. Namun, senyumannya memudar saat dia merasakan ada tangan lain yang sedang memeluk erat punggungnya. Dia menyadari kehadiran lainnya. Tangan hangat Will yang sudah melindunginya selama dua tahun ini. Menjaganya dengan sangat baik tanpa dia tak kekurangan apa pun.Entah itu satu keberuntungan atau kebalikannya. Sampai hari ini dia masih saja belum mengetahui. Yang dia rasakan saat ini adalah keberuntungannya. Dia merasa beruntung karena di hidupnya yang sangat sederhana dia bisa mengenal dua lelaki yang sangat hebat.Mungkin akan terasa seperti dalam penjara. Namun, dapat di pastikan kedua lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu sangat menginginkan yang terbaik.Dia perlahan meregangkan tubuhnya. Tanpa mengganggu kedu
Seseorang baru saja tiba di tempat peristirahatannya. Dia menatap sekeliling. Memandangi dengan penuh perasaan setiap sudut dari yang dia pandang.Danau kecil buatan yang pernah mempunyai kenangan manis saat dia bercengkraman dengannya. Juga ruangan dapur tempat mereka pernah bercanda gurau bersama. "Aku kembali Domi. Aku sangat merindukanmu."Dia menggengam erat tangannya. Merasakan rindu yang menggebu di dalam dada. Ingin rasanya dia memperjuangkan kembali semua cintanya. Namun, dia sangat menyadari keberadaan-nya sudah sangat tidak mungkin karena sudah terganti dengan seseorang. "Huh jadi kau sungguh akan menikah dengan-nya sekarang Sop?" kembali Dominique bertanya menghapus air matanya yang masih berurai. "Uhm, aku 'kan tidak ingin orang lain yang mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia lakukan padaku. Sebenarnya kalau masih bisa aku ingin sekali melarikan diri darinya. Aku sangat takut, apalagi kalau dia sedang cemburu," Sophie menunjukkan raut wajahnya yang tersiksa. ""Ak
"Shit. Jaga ucapanmu. Kalau pertanyaan itu sangat mudah bagimu, baiknya kau yang lakukan dan lepaskan dia," Ramon murka menarik kerah baju John. Emosinya membuncah ketika John membandingkan Sophie dengan wanita murahan."Kau fikir aku sudi berbagi istriku denganmu," cibirnya."Hah, dia itu belum menikah denganmu. Jadi dia belum resmi menjadi istrimu. Aku pun masih berhak untuk menjadi calon suaminya," Ramon tak mau kalah."Ck, ck, ck. Sudah menyerah saja. Walaupun dia belum resmi menjadi istriku. Aku sudah lebih dulu menyentuhnya. Kau juga tidak akan suka 'kan kalau barang yang kau sukai sudah di sentuh oleh orang lain," kembali John mengungkit agar rivalnya menyerah secara totol. "Kau-" Ramon bersiap melayangkan satu pukulan di saat pintu kamar di buka oleh Sophie. Gadis itu baru saja membuka pintu saat pertengkaran mereka makin menegang. "Kalian berdua sedang apa?" Ramon menurunkan tangannya, mengengamnya dengan erat saat melirik Sophie sudah berada di hadapannya. "Tidak ada ha
Gadis itu tak memberikan perlawanan. Dia memberikan aksesnya secara lebar. Haiden tersenyum, dia menyadari bahwa dia sedang di goda oleh istrinya karena menginginkan satu hal. "Katakan. Aku akan melihat seberapa rumit perkaranya? Aku akan mempertimbangkannya," dia mengecup dengan hangat bibir gadis itu."Apa boleh aku meminum jus mentimun sesering mungkin," ucapnya. Membuat aktivitas yang sedang Haiden kerjakan terhenti. Dia menatap wajah istri kesayangannya. Berfikir sesaat."Cih, apa kau masih belum puas? Apa kami masih kurang tampan dan memuaskan-mu? Sampai kau berniat melihat wajah lainnya," Haiden mengerutkan dahinya. Dari arah pembicaraan istinya dia tahu apa yang sedang istrinya inginkan."Ayolah ... kalian kan tak bisa membuat jus mentimun seperti yang aku inginkan. Sebagai gantinya aku akan cabut yang satu bulan itu," dia memberikan penawaran yang tak mungkin di tolak oleh Haiden."Kau sungguh berani membuat penawaran denganku? Kau tahu hukuman yang akan kuberikan padamu pas
"Aku tidak mencurigaimu. Hanya saja ini di luar kebiasaanmu selama bersama dengan-ku. Biasanya kau hanya satu kali mengunjungi satu tempat atau memakan sesuatu dari tempat yang sama. Kau tidak akan kembali lagi walaupun di tempat itu rasanya sangat enak," terang Will masih membuat istrinya terdiam. 'Huh, suami satu-ku ini lebih jeli. Meminta izin darinya pasti akan sangat sulit!'"Jadi apa benar-benar karena jus mentimun itu yang enak atau?" Will terus menatap tajam wajah istrinya yang tertunduk. "Iya ya, sudah jangan mendesakku. Aku kan hanya bilang ingin jus mentimun. Kalau kau tidak mengizinkanku pergi, ya sudah aku tidak akan pergi," dia mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Kau ini. Apa wajah kami masih kurang tampan sampai kau melirik yang lain?" ucapan sama yang di keluarkan oleh Willy. "Apa kalian anak kembar? Berbicara pun seperti menggunakan telepati," cibirnya. "Jadi kau sungguh akan menemuinya?" tertebak sudah isi hati Dominique. "Aku hanya ingin jus mentimun, sayang
"Untuk apa kau mencariku? Aku kan sudah bilang jangan pernah temui dan tunjukkan wajahmu itu,"Haiden menatap lawan bicaranya dengan tatapan tak suka. Dia bahkan enggan berlama duduk di hadapan lawan bicaranya. Sang lawan bicara menatapnya, kali ini hanya datang seorang diri, membuatnya sedikit lega.BrukkDia berlutut dan bersimpuh. Menyentuh kaki di hadapanya. Tatapan wajah acuh dan tak suka langsung terlihat dengan jelas. Walaupun dia merasakan sakit bagai tertusuk ribuan jarum, demi mengharap belas kasihan dia rela melakukan semua itu.Dia sudah tak menghiraukan lagi soal perasaaanya. Baginya, saat ini dia datang dengan misi. Misi untuk menyelamatkan satu-satunya buah cinta mereka. Buah cinta yang tak pernah dia anggap."Aku mohon ... selamatkan Terry. Dia sangat membutuhkan bantuan-mu. Aku mohon Gyan, aku tidak akan meminta apapun lagi asalkan kau selamatkan anakku. Anakku yang malang, satu-satunya yang aku anggap sebagai kenanganku denganmu," tangisnya mengalir dengan deras. Tu
Waktu tak terasa berlalu cepat saat mereka mengobrol. Sesekali mengingat masa lalu. Tertawa dan bercanda penuh makna."Sudah malam, aku antarkan pulang ya? Sudah lama sekali aku tidak memboncengmu? Bolehkah?" dia meminta izin padanya. Ada rasa kangen yang sangat menggebu dalam jiwa Justin."Aku membawa supir dan beberapa pengawal," dia menolak secara halus. Tak ingin melukai siapa pun lagi."Ayolah, lagipula kita belum tentu akan sering bertemu. Kau memang tidak kangen dengan suasana disini? Udara malam dan yang lainnya," sedikit memaksa. Dia tak ingin segera berpisah dengannya.Dominique tampak berfikir. Dia tahu setelah pulang, dia memang tak akan mudah untuk meminta izin keluar apalagi dengan kondisi kehamilannya nanti yang akan makin membesar."Huh, kau memang selalu pintar merayu. Mungkin kalau sekarang aku belum punya suami, aku bisa saja kembali jatuh cinta padamu," sindirnya."Uhm, sebenarnya aku tidak keberatan sih ... kalau kau jatuh cinta lagi padaku," ucap Justin sambil me