“John!” teriak Haiden. Dia baru saja memapah istrinya turun dari mobil. Konsentrasinya sedikit terpecah. Dia fokus terhadap istri dan istri temannya.Sophie dan Diana saling menatap saat Haiden mengerahkan seluruh pengawalnya.“Cari mereka, sekarang!” Haiden meradang dengan segala kemarahannya. Dia gagal melindungi istrinya.“Ada apa, Tuan?” John menghampiri tuannya yang terlihat kacau.“Hubungi Ramon, katakan padanya, aku gagal melindungi istriku!” perintahnya. Tanpa ragu John segera menghubungi Ramon. John memberi kode pada beberapa pengawal untuk membawa Sophie dan Diana masuk ke dalam rumah sakit.“Kawal mereka!” perintah John.“Ada apa sayang? Apa yang terjadi? Dimana Dominique?” Sophie bertanya dengan penuh khawatir."Kalian masuk lebih dahulu, nanti aku akan menyusul!" dia memberi kode keras agar pengawal segera membawa masuk wanita-wanita itu. "Tapi sayang," Sophie menolak masuk. Bersikeras memegang tangan suaminya. Cuuppp"Aku tidak akan lama, masuklah dulu, sayang. Aku ak
Evakuasi berlangsung secara dramatis. Will berhasil menarik tubuh istrinya keluar dengan selamat. Mereka pun berpelukan sambil menangis.Dominique membuang semua rasa ego. Rasa bencinya pada Will. Yang dia pikirkan tadi hanyalah dia sangat takut apabila dia tak bisa melihat suaminya itu. "Huhuhu, aku takut sekali, Will. Aku takut!" tangisannya pecah. Meraung sangat keras. "Sudah, sudah, kau sudah tidak apa-apa. Aku ada disini!" Will berusaha menenangkan istrinya. "Jangan tinggalkan aku lagi, Will. Aku mohon, jangan tinggalkan aku! Huhuhu!" dia masih saja menangis tersedu, tak ingin melepaskan pelukannya dari tubuh suaminya itu.Suara bantingan keras terdengar saat para pengawal melepaskan pegangan mereka pada mobil yang terjungkal terbalik itu.“Will, tolong, masih ada orang di dalam. Tolong dia!” pinta istrinya terus memegangi perutnya yang makin menjadi. Mulas tak tertahankan.“Biarkan dia mati. Dia pantas menerima hukuman itu!” suara Will berang. Dia bahkan tak sudi memalingkan
"Keluarga Nyonya Dominique!" sapa suster saat Haiden dan Willy menghampirinya. "Iya!" keduanya menyahut. Suster menatap secara bergantian Haiden dan Willy. Mereka tersenyum kecut karena tahu apa yang di pikiran suster itu. "Kami, ayah biologis-nya!" sahut mereka kompak. Membuat suster tadi mengecutkan bibirnya. "Ada apa, Sus? Apa istri kami baik-baik saja?" Haiden yang sudah masa bodo dengan pikiran suster itu tentang mereka. Dia memberikan delikan pada suster tadi sebagai peringatan. "Ba-baik, ah, bayinya lahir kembar couple, Tuan!" suster tadi segera tersadar akan posisinya. Dia sedang dalam waktu bekerja bukan cemburu karena memiliki dua suami yang sangat tampan. Keduanya kembali saling memandang. Kembar Couple? Berarti ada kemungkinan? "Tolong lakukan test DNA pada mereka dan ambil darah kami juga untuk berkas laporannya!" Suster tadi menaikan kedua alisnya. "Kami hanya ingin tahu, mana dari mereka yang anak kami!" Willy menjawab kebingungan dari suster tadi. Sepertinya di
“Apa aku perduli. Lupakan semuanya. Aku sudah mengurus surat perceraian kita dan aku sudah keluar dari keluarga Abraham jadi kau tak perlu beralasan apapun atas apa yang kau lakukan adalah kesalahanku. Dan, aku peringatkan, sekali lagi kau menyentuhnya. Aku pastikan akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” Justin meradang setelah tahu istrinya melakukan penculikan terhadap Dominique. Wanita yang masih sangat dia cintai sampai saat ini.Haiden membanting pintu dengan keras. Menerobos masuk pada pertengkaran mereka. Justin baru saja menolehkan wajahnya saat Haiden dengan sangat cepat melayangkan tinjunya berkali-kali. Willy yang mengekori dan juga sempat mencuri dengar sedikit pertengkaran mereka akan melakukan hal yang sama. Namun, yang dia lakukan sekarang adalah melerai Haiden saat memukuli Justin mati-matian.“Brengsek! Rupaya kau pelakunya!” emosinya masih belum mereda. Dia mengumpat kasar Justin. Monica terkejut dengan kedatangan dua orang yang memasuki ruang perawatannya.Justin
“Hah, sudahlah. Aku malas. Bantu aku,” dia meraih lengan suaminya agar bisa membenarkan posisinya. Menjadi tiduran.“Kapan aku bisa melihat anakku?” baru saja Dominique berbicara, dua suster masuk ke ruangan mereka. Di ekori oleh Haiden. Dia pun penasaran melihat anaknya.“Maaf, Nyonya Dominique, putra dan putri anda sepertinya haus,” ucap mereka yang sudah berada di dekat ranjangnya.“Ah, baiklah, kemarikan, Sus!” Dominique meminta salah satu dari mereka. Dia belum bisa kalau harus menyusui kedua bayi tersebut.Saat bersamaan Baron dan Markus masuk. Mereka masuk dengan membawa banyak paper bag. Dominique meliriknya saat dia menyerahkan satu bayinya agar bergantian pada suster tadi.Tak lama Marina dan Simon pun masuk membawa Terry yang tadi meminta di jemput. Dia ingin melihat ibu dan adiknya yang baru lahir. Ruangan pun menjadi ramai.“Ck, ck, ck, apa yang kau lakukan, Pah?” Will sepertinya masih belum bisa memaafkan sikap ayahnya.“Dasar anak kurang ajar! Aku datang membawakan had
“Sayang, ah,” John mulai merajuk. Dia terpaksa memberikan anaknya pada Sophie.“Rasakan! Kena marah juga kan kau!” dengus Ramon. Meledek teman seperjuangannya.Sophie menimang anaknya perlahan. Melirik satu persatu suaminya yang tak sabar ingin menggendongnya kembali.“Jangan sentuh dia!” Sophie terus memicingkan tajam matanya pada John. Dia masih kesal dengan ulahnya tadi.“Sayang ...,” John masih membujuk istrinya. Dia masih ingin menimang anaknya lagi.“Bolehkah aku menggendongnya?” tanya Ramon. Matanya berbinar penuh harap. Istrinya memberikan izin padanya.“Uhm, hati-hati!” dia menyerahkan perlahan gendongannya ke tangan Ramon. Dia menerima bayi mungil itu dengan sangat hati-hati. Mengangkat perlahan sambil memandangi wajahnya yang mungil dan lucu.“Tampan sekali sayang, dia sepertinya sangat mirip denganku!” Ramon berkata sambil mengelus pipinya yang gempil.“Huh, kau curang. Pilih kasih. Padahal, dia kan anakku!” dengus John.“Siapa suruh kau tadi begitu sombong. Aku tidak suk
“Dulu, aku begitu miskin dan melarat. Untuk bisa makan setiap haripun sangat kesulitan. Aku mengandalkan diriku sendiri hingga bisa mendapatkan posisi tertinggi seperti ini. Aku tidak akan pernah melupakan semua penghinaan keluarganya. Dia bahkan lebih tega, memilih keluarganya dan akan membawamu pergi. Aku tidak terima dan aku menculikmu. Aku juga ingin dia tahu bagaimana rasanya kehilangan harapan untuk hidup!” lanjut ayahnya bercerita. Sambil matanya menerawang jauh. Mengenang masa kelamnya.“Aku sungguh mencintainya, dengan segenap jiwaku. Bahkan nyawaku ini, aku rela menyerahkannya. Namun, penghiantannya membuatku benci dan tak mempercayai lagi akan ketulusan cinta. Dia sudah berkhianat padaku dan memilih laki-laki ketimbang diriku, ayah kandungmu!” penekanannya masih dengan sorot mata penuh dengan kebencian.Dia membenci orang yang paling dicintainya. Andai saja dia tahu jarak benci dan cinta itu tidak terlihat. Kadang mereka tersamarkan. Setidaknya itulah yang kini sedang diras
"Dimana suami yang satunya?" kini Rose mulai menanyakan keberadaan Willy setelah matanya berkeliling ke seluruh ruangan. Dia tak menemukannya."Dia sedang jajan, sepertinya!" sahutnya ragu-ragu.“Jajan? Disaat istrinya sedang dalam tahap pemulihan? Apa dia benar suamimu?” Rose berkomentar tajam.“Aku yang menyuruhnya, Grandma. Lagipula ada, Iden yang menemaniku, iya kan sayang!” seraya memberi kode pada suaminya itu. Dia tak ingin neneknya salah faham pada suaminya.‘Ck, ck, ck, dia bahkan tetap membelanya.’ Haiden hanya menjawab dengan anggukan, walaupun dihatinya terasa terbakar.‘Benar, posisi dia dihatiku istriku tak mungkin bisa digantikan dengan sangat mudah.’Haiden memilih keluar ruangan disaat Rose dan istrinya saling melepas kangen.Haiden memilih keluar ruangan disaat Rose dan istrinya saling melepas kangen.“Apa aku bisa melihat putri—ku, Carlos?” dia mulai bosan berada didalam ruangan. Ingin menengok putrinya yang berada di ruang perawatan bayi.“Kau bisa ikut denganku!”