“Apa aku perduli. Lupakan semuanya. Aku sudah mengurus surat perceraian kita dan aku sudah keluar dari keluarga Abraham jadi kau tak perlu beralasan apapun atas apa yang kau lakukan adalah kesalahanku. Dan, aku peringatkan, sekali lagi kau menyentuhnya. Aku pastikan akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” Justin meradang setelah tahu istrinya melakukan penculikan terhadap Dominique. Wanita yang masih sangat dia cintai sampai saat ini.Haiden membanting pintu dengan keras. Menerobos masuk pada pertengkaran mereka. Justin baru saja menolehkan wajahnya saat Haiden dengan sangat cepat melayangkan tinjunya berkali-kali. Willy yang mengekori dan juga sempat mencuri dengar sedikit pertengkaran mereka akan melakukan hal yang sama. Namun, yang dia lakukan sekarang adalah melerai Haiden saat memukuli Justin mati-matian.“Brengsek! Rupaya kau pelakunya!” emosinya masih belum mereda. Dia mengumpat kasar Justin. Monica terkejut dengan kedatangan dua orang yang memasuki ruang perawatannya.Justin
“Hah, sudahlah. Aku malas. Bantu aku,” dia meraih lengan suaminya agar bisa membenarkan posisinya. Menjadi tiduran.“Kapan aku bisa melihat anakku?” baru saja Dominique berbicara, dua suster masuk ke ruangan mereka. Di ekori oleh Haiden. Dia pun penasaran melihat anaknya.“Maaf, Nyonya Dominique, putra dan putri anda sepertinya haus,” ucap mereka yang sudah berada di dekat ranjangnya.“Ah, baiklah, kemarikan, Sus!” Dominique meminta salah satu dari mereka. Dia belum bisa kalau harus menyusui kedua bayi tersebut.Saat bersamaan Baron dan Markus masuk. Mereka masuk dengan membawa banyak paper bag. Dominique meliriknya saat dia menyerahkan satu bayinya agar bergantian pada suster tadi.Tak lama Marina dan Simon pun masuk membawa Terry yang tadi meminta di jemput. Dia ingin melihat ibu dan adiknya yang baru lahir. Ruangan pun menjadi ramai.“Ck, ck, ck, apa yang kau lakukan, Pah?” Will sepertinya masih belum bisa memaafkan sikap ayahnya.“Dasar anak kurang ajar! Aku datang membawakan had
“Sayang, ah,” John mulai merajuk. Dia terpaksa memberikan anaknya pada Sophie.“Rasakan! Kena marah juga kan kau!” dengus Ramon. Meledek teman seperjuangannya.Sophie menimang anaknya perlahan. Melirik satu persatu suaminya yang tak sabar ingin menggendongnya kembali.“Jangan sentuh dia!” Sophie terus memicingkan tajam matanya pada John. Dia masih kesal dengan ulahnya tadi.“Sayang ...,” John masih membujuk istrinya. Dia masih ingin menimang anaknya lagi.“Bolehkah aku menggendongnya?” tanya Ramon. Matanya berbinar penuh harap. Istrinya memberikan izin padanya.“Uhm, hati-hati!” dia menyerahkan perlahan gendongannya ke tangan Ramon. Dia menerima bayi mungil itu dengan sangat hati-hati. Mengangkat perlahan sambil memandangi wajahnya yang mungil dan lucu.“Tampan sekali sayang, dia sepertinya sangat mirip denganku!” Ramon berkata sambil mengelus pipinya yang gempil.“Huh, kau curang. Pilih kasih. Padahal, dia kan anakku!” dengus John.“Siapa suruh kau tadi begitu sombong. Aku tidak suk
“Dulu, aku begitu miskin dan melarat. Untuk bisa makan setiap haripun sangat kesulitan. Aku mengandalkan diriku sendiri hingga bisa mendapatkan posisi tertinggi seperti ini. Aku tidak akan pernah melupakan semua penghinaan keluarganya. Dia bahkan lebih tega, memilih keluarganya dan akan membawamu pergi. Aku tidak terima dan aku menculikmu. Aku juga ingin dia tahu bagaimana rasanya kehilangan harapan untuk hidup!” lanjut ayahnya bercerita. Sambil matanya menerawang jauh. Mengenang masa kelamnya.“Aku sungguh mencintainya, dengan segenap jiwaku. Bahkan nyawaku ini, aku rela menyerahkannya. Namun, penghiantannya membuatku benci dan tak mempercayai lagi akan ketulusan cinta. Dia sudah berkhianat padaku dan memilih laki-laki ketimbang diriku, ayah kandungmu!” penekanannya masih dengan sorot mata penuh dengan kebencian.Dia membenci orang yang paling dicintainya. Andai saja dia tahu jarak benci dan cinta itu tidak terlihat. Kadang mereka tersamarkan. Setidaknya itulah yang kini sedang diras
"Dimana suami yang satunya?" kini Rose mulai menanyakan keberadaan Willy setelah matanya berkeliling ke seluruh ruangan. Dia tak menemukannya."Dia sedang jajan, sepertinya!" sahutnya ragu-ragu.“Jajan? Disaat istrinya sedang dalam tahap pemulihan? Apa dia benar suamimu?” Rose berkomentar tajam.“Aku yang menyuruhnya, Grandma. Lagipula ada, Iden yang menemaniku, iya kan sayang!” seraya memberi kode pada suaminya itu. Dia tak ingin neneknya salah faham pada suaminya.‘Ck, ck, ck, dia bahkan tetap membelanya.’ Haiden hanya menjawab dengan anggukan, walaupun dihatinya terasa terbakar.‘Benar, posisi dia dihatiku istriku tak mungkin bisa digantikan dengan sangat mudah.’Haiden memilih keluar ruangan disaat Rose dan istrinya saling melepas kangen.Haiden memilih keluar ruangan disaat Rose dan istrinya saling melepas kangen.“Apa aku bisa melihat putri—ku, Carlos?” dia mulai bosan berada didalam ruangan. Ingin menengok putrinya yang berada di ruang perawatan bayi.“Kau bisa ikut denganku!”
Rose memicingkan tajam matanya menatap Baron. Bertanya dalam hati tentang orang itu. Terlihat jelas dia tak menyukai pria itu.“Grandma, itu Papanya Willy. Dia juga baru saja datang untuk menjenguk kelahiran cucunya!” Dominique bersuara. Menjawab segala pertanyaan yang langsung tertebak.“Oh, iya, Grandma, perkenalkan ini ayahku, Baron Bunarco!” Will maju memperkenalkan ayahnya. Baron ketika namaya di sebut dengan sadar diri menghampiri.“Selamat malam, Nyonya, maaf saya tadi mengagetkan Anda dengan suara saya yang seperti speker butut!” cengirnya. Suasana kembali canggung. Mereka saling menatap. Tak percaya seorang Baron dapat melakuakan humor yang sedikit nyeleneh menurut pandangan mereka.“Apa yang kau lakukan, Pah? Tidak lucu!” dengus Will sambil menggeleng tak percaya menatap ayahnya. Canggung dengan humor recehnya.“Baiklah, aku keluar saja. Aku ingin menengok cucuku dulu!” dia mengacuhkan sindiran dari putranya. Keluar dari ruangan yang sedang dalam reuni keluarga.Pintu tertut
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!