Mobil berhenti di sebuah ballroom hotel megah, Willy mengapit pinggang Dominique agar tak lepas dari genggamannya. Puluhan pasang mata menatap ke arah Dominique dan Willy, mencari tahu siapa gadis yang di bawah oleh Tuan rumah, sedangkan Dominique mencoba tersenyum sebisanya menghilangkan rasa berdebar di dadanya.'Apa ini, siapa Willy sebenarnya, apa dia benar-benar seorang Raja?' Pekik Dominique di hati melihat puluhan awak media dan pengawal yang melindungi setiap langkahnya dan Willy."Hei, kau sungguh seorang Raja?" bisik Dominique yang penasaran."Kalau aku sungguh seorang Raja, apa kau mau jadi Permaisuri-ku?" ucapnya berbisik tanpa keraguan."Kau gila, aku kan sudah bilang, aku sudah menikah dan malam ini aku mau menemani mu karena kita teman juga di paksa olehmu, kau juga sedang berulang tahun, apa kau lupa," sewot Dominique tak mau kalah."Iya ya, aku tahu, aku hanya bercanda, jadi aku mohon tersenyum lah sekarang," terus berjalan di atas karpet merah memasuki area acara, su
Ponsel Dominique berdering, dia membuka mata, menarik selimutnya malas mengangkat deringan tersebut, namun tetap tak berhenti. 'Siapa sih, berisik sekali pagi-pagi begini.'Akhirnya tangan Dominique mencari keberadaan bunyi, meraih dan menempelkan di telinganya."DOMIIIII!" teriakan Sophie membuatnya membuka mata dengan lebar."Akh, apa sih Sop ... pagi-pagi teriak tidak jelas,""Kau resign? Kenapa?" seketika terbangun duduk di ranjang tidur sambil menutupi tubuhnya yang masih polos tanpa mengenakan baju."Resign, aku, tidak," otaknya berputar melirik tempat tidur, tak ada Haiden, suara dari arah dapur terdengar berisik."Ah, seperti nya aku tahu di mana masalah nya Sop, aku tutup dulu ya," Dominique langsung menutup ponsel turun dari ranjangnya berjalan ke arah lemari, mengambil kemeja yang tergolek dekat lemari, memakainya. Kemeja Willy."Ideeennn!!" teriak Dominique menggema di seluruh ruangan, melemparkan selimutnya dan berjalan ke arah Haiden sambil berkacak pinggang, Haiden sibu
"Tuan, saya akan siapkan beberapa mobil untuk ikut dengan kita," bisik John mengambil alih situasi, Haiden hanya memberi kode setuju lalu mengekori Dominique yang berjalan penuh semangat masuk ke dalam mobil.Ponsel Dominique kembali berdering, ia menggeser duduknya ketika Haiden masuk ..."Ada apa, siapa itu?" Haiden melihat gerak gerik Dominique mencurigakan saat melihat ponselnya."Bukan apa-apa,""Aku tanya siapa, kenapa kau menjawab bukan apa-apa," tatap Haiden sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. 'Benar-benar deh ... seperti polisi yang sedang mengintrogasi maling.'Dominique kembali memasukkan ponselnya ke tas, "Sophie ... bertanya kenapa aku resign,""Benarkah? Tunjukkan ponselmu padaku," Dominique menghela nafasnya, mengeluarkan kembali ponselnya dan menunjukkan chat dari Sophie, "Kau percaya sekarang?" Dominique merenggut kesal. 'Huh ... selamat ... selamat ... untung tadi buru-buru ku hapus panggilan masulk dari Willy, kalau tidak serigala liar ini pasti mencari al
Dominique membalikkan badannya, meraih tangan Willy menariknya tanpa sadar, bersembunyi di balik tembok sambil celingak celinguk. 'Wah, wah, wanita ini benar-benar penuh dengan kejutan.' Willy tak melewatkan kesempatan, langsung mengalungkan tangannya di pinggang Dominique,"Hei, kau jangan gila," pekik Dominique tangannya berusaha menghempaskan kalungan Willy dari pinggangnya."Ya, aku memang gila, aku mulai tergila-gila padamu," ucap Willy setengah berbisik bahkan hampir tak terdengar Dominique, apalagi otak dan mata Dominique tertuju dengan para pengawal Haiden yang sedang mencarinya.'Pantas saja dia tak terlalu terkejut dengan bodyguard yang kumiliki, rupanya dia sudah seperti burung kenari dalam sangkar emas.' Willy terus menatap gerak-gerik panik Dominique."Hah, apa, Will? Aku mohon kau pergi ya," pinta Dominique."Untuk apa aku menurutimu, kau saja,""Sssttt," dua telunjuk Dominique menutup mulut Willy, debaran di dada Willy hampir keluar, dia menatap intens kembali Dominique
Dominique membuka pintu, tertegun sesaat, di hadapannya sekarang berdiri seorang wanita dan seorang anak laki-laki membawa koper, mereka sama-sama terkejut."Maaf, mencari siapa?" tanya Dominique ramah."Gyan, Gyan-nya ada," ucap wanita tadi menatap Dominique tajam dari ujung kaki hingga rambut. Sangat terlihat tatapannya tak bersahabat pada Dominique. "Siapa sayang," Haiden memeluk Dominique dari belakang."Uhm ... kau kenal Gyan," ucap Dominique, Haiden menarik tubuhnya dari Dominique melihat orang yang datang."Papa ... Papa Gyan ... Aku kangen! Kenapa papa pergi nggak bilang-bilang sih," teriak anak laki-laki tadi berlari dan langsung memeluk Haiden."Rebecca? Sedang apa kau di sini?" wajah Haiden yang berubah muram.DEGG!!Bagai petir di pagi hari Dominique tak bisa berkata, kakinya terasa lemas dan berat untuk melangkah ketika wanita tadi langsung nyelonong masuk tanpa permisi."Tentu saja ... Aku merindukan-mu sayang, apa kau tidak rindu dengan anak-mu?" ucap wanita bernama Re
Willy membuka pintu mobilnya, berjalan memasuki cafe, dia duduk di sebarang sambil terus menatap Dominique yang tengah asik bercerita."Tuan, Anda," Willy memberi kode tutup mulut kepada Ramon."Jadi kenapa kamu keluar sih Dom?" Sophie sudah penasaran setengah mati."Aku ... sudah menikah Sop," Sophie tersedak, " Serius? Dom, kamu nggak sedang berbohong kan?""Iyaa,""Kau ... menikah dengan Justin, bukan?" Dominique menghela nafasnya," Andai saja itu benar Sop. Aku nggak akan sampai berhenti kerja seperti ini, " keluh Dominique."Lalu, kau menikah dengan siapa?" Sophie tambah penasaran sambil menyeruput minumannya."Mmmm ...""Siapa sih Dom? Jangan bikin aku penasaran," Sophie melirik jari manis Dominique, melingkar cincin berlian yang dia sendiri bahkan tidak bisa menebak harganya.Mata Shopie membulat lebar, "Pria kaya? Dari mana dia Dom?" sambil memegang lengan Dominique."Aku menikah dengan mantan pacarku,""Mantan? Kau nggak pernah cerita punya mantan,""Dia lama tinggal di Ingg
Haiden mengusap lembut rambut Domique yang masih tidur terlelap, Dominique terusik,"Sop, jangan iseng aku masih ngantuk," Dominique menghempaskan tangan Haiden.Namun Haiden tetap mengusapnya, menatap wanita yang di cintainya. Sophie menata sarapan di meja makan."Sayang bangun ...," bisik Haiden lembut di telinga Dominique, Sophie bahkan tidak percaya dengan penglihatan matanya, Sophie bisa menyaksikan pertunjukan live cinta dari atasannya sendiri."Wow, wow ... amajiingg," ucap Sophie masih terpesona dengan sikap dan ketampanan Haiden."Ssttt," desisan John membuyarkan khayalan Sophie."Kau ganteng sih, tapi lebih ganteng dia," cibir Sophie pada John."Apa kau bilang," John mendelikkan matanya karena kesal. Sophie mendenguskan hidungnya meledek John. 'Wanita ini dengan Nyonya sama saja, membuat geram dan sulit di atur.' John.Seketika Dominique terbangun mendengar bisikan, ia menolehkan tubuhnya, Haiden duduk di sampingnya, menatap tajam."Kau sedang apa di sini," dengus Dominiqu
"Keluarlah," perintah Haiden, Dominique turun dari ranjang keluar kamarnya.Tubuh Dominique masih bergetar dengan hebat, ia melihat luka di kedua tangannya. Sakit ... tapi tidak seberapa dengan sakit di hatinya, sakit karena Haiden tidak mempercayainya. Sakit karena Haiden tak sedikitpun mendengar penjelasannya malah menghukumnya. Dominique menangis tak bersuara, sedih, pedih, namun harus dia pendam. Dominique turun dari ranjang keluar kamar berjalan menghampiri Haiden yang menunggunya di meja makan.Rebecca menatap sinis pada Dominique, berbisik lirih di hati, menyakinkan diri, kalau dia memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam hidup Haiden.John membukakan kursi untuk Dominique, dia tak bersuara hanya menatap Dominique yang lemah. Haiden menatap tajam Dominique.'Nyonya, nyonya, mengapa anda berbuat sejauh ini, kenapa anda berbuat bodoh seperti itu, Tuan hanya mencintaimu namun kau menghianatinya.' Otak John yang berfikir sama dengan Haiden."Gyan, kau mau makan yang mana dulu," Re
Will menyadari kedatangan istri dan rivalnya. Dia hanya duduk menunggu di samping ruang operasi. Dominique menghampirinya. "Kau berbohong lagi!" cetusnya. Dia masih mode on merajuk. Will menarik tangan istrinya agar duduk disebelah dirinya. Tangan satunya melingkar di pinggang istrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukan.Haiden duduk di sebelah istrinya. Hanya bisa menatap setiap perlakuan manis yang diberikan rivalnya. Dia kini sudah tidak pernah cemburu seperti dulu. Mereka berdua, sesama rival sudah sangat mengetahui kondisi masing-masing. Sesekali bertengkar. Namun, bukan pertengkaran yang besar selain berebut lebih dulu siapa yang mendapatkan jatah dari istrinya, selain itu. Mereka tidak pernah bertengkar. Sudah saling mengisi dan memahami. "Maafkan aku, sayang. Kau boleh menghukumku nanti. Aku akan menerima semua hukumannya!" dia mengecup kening istrinya. Mencoba menenangkan kemarahannya. "Iya, aku pastikan akan menghukummu secara berat. Kali ini aku tidak akan melepaskan beg
“Jangan sentuh? Kau yakin dengan ucapanmu itu?” goda Willy.“Iya, memangnya aku takut. Aku kan memiliki satu suami lagi, kau pikir, hah!” Dominique tak mau kalah melawan godaan suaminya.“Tidak ada apa-apa sayang, aku memang menginginkannya. Sudah lama sejak kau melahirkan dan mengurus anak-anak kita. Aku kangen!” Willy tetap menutupi hatinya. Mengusap kembali rambut istrinya sambil memandangi wajahnya dengan lembut."Sudah kalau tidak mau bicara, aku akan keluar!" ucap Dominique. Baru saja dia menarik selimutnya akan turun dari ranjang. Entah mereka memang tak mendengarnya atau terlalu fokus saat berbicara. Haiden sudah berdiri dihadapannya sambil melihat kedua tangannya. "Oh, jadi begini cara kalian? Melakukan hal yang enak tanpa mengajakku!" dengusnya kesal. Dominique menarik wajahnya sambil menghela nafas panjang. "Aku sudah selesai, jika kau memang menginginkan bilang saja sendiri!" Willy berjalan turun melenggang tanpa sehelai benang pun masuk ke kamar mandi. "Ah, tidak. Sud
Martha masih belum sanggup menatap wajah Will, dia hanya terus tertunduk ketika suaminya berkata seolah ada satu pedang yang langung menancap di dadanya. Will dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan hanya bisa menghela nafasnya. Bingung.“Kau tidak sedang bergurau denganku kan, Pah?” Will masih setengah tak percaya. Tubuhnya bahkan terasa bergetar, masih belum mempercayai semua ucapan ayahnya“Kau bisa bertanya langsung dengannya, apa aku sekarang sedang berbohong padamu atau tidak?” tanpa banyak berkata apapun Baron membalikkan tubuhnya. Jantung Martha benar-benar akan copot di tatap putranya. Meminta penjelasan tentang kehadirannya.“Huh, baiklah, ayo kita masuk, Nyonya. Sepertinya akan banyak hal yang akan kita bicarakan!” kali ini Martha terkejut saat mendengar ucapannya. Datar dan dingin. Berbeda saat pertama kali mereka tak sengaja bertemu.Langkah kakinya mengekori Will masuk ke ruang bacanya. Dia sudah duduk di sofa sambil terus memperhatikan wanita yang bernama Martha
“Bersiaplah hari ini kita akan menemuinya!” Baron berkata dengan sangat tegas. Menatap wanita yang duduk dihadapannya. Dia sedang menikmati sarapan paginya.Wanita yang beberapa hari ini telah resmi menjadi istrinya kembali. Dia yang dipaksa olehnya. Martha mau tidak mau menuruti semua kemauan Baron, daripada ada nyawa yang tidak bersalah berkorban untuk dirinya.Martha masih menatap wajah Baron. Bingung dengan ucapannya. Bertanya dalam hati apa yang akan ditemuinya nanti. “Aku hanya memintamu, menemaniku dan menemuinya. Apakah ada masalah? Mengapa kau menatapku seperti itu?” kembali Baron berbicara dengan suara sakrasnya. Membuat Martha tetap diam. Dia tak perduli dengan ucapannya. Dia tahu saat dia mencoba menjawab setiap perkataannya akan timbul hal yang tidak diinginkan.“Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapnya setengah terpaksa.“Apa kau sebegitu tak sukanya pergi bersamaku?” Baron menaikkan rahangnya dengan kasar menatap Martha yang baru beberapa hari ini resmi menjadi istr
"Jangan mendekat!" Sophie terus bergeser dari ranjangnya, saat Ramon mencoba mendekatinya. Sedangkan, John sibuk dengan dunianya sendiri. Dia seperti mendapatkan mainan baru. Saat pulang kerja dan setelah makan juga mandi hal yang dilakukan pertama kali adalah mengendong anaknya. Dia menjadi bapak siaga saat berada di rumah. "Inikan sudah empat puluh hari lebih, sayang. Masa aku nggak boleh dekat-dekat kamu sih!" Ramon merajuk. Namun, tak menghentikan aktifitasnya saat berusaha menggulingkan pertahanan istrinya. "Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya. Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya."Cih, kau bersungguh-sungguh? Sebaiknya, kau mencontohnya! Lihat tuh dia sangat akrab dengan, Josh!" cibirnya. Terus menghempaskan tangan Ramon yang berusaha menjamahnya.John hanya meliriknya tanpa mengindahkan semua ucapan yang kelur dari mulut Ramon. Dia bahkan tak perduli dengan cibiran atau umpatan yan
"Sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan bawa aku kesana!" Martha memohon dengan penuh penekanan. Dia tak ingin seorang pun tahu tentang penyakit yang sedang dideritanya. Baron tak mengindahkan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Dia tahu wanita itu sedang membohonginya. Dia melemparkan tubuh yang tidak muda lagi itu dengan kasar ke kursi penumpang. Setelah penyeretan yang dramatis. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatap mereka. Seperti seorang istri yang sedang kepergok suaminya berselingkuh. "Jangan membantah lagi, jika kau terus terusan menolakku, jangan salahkan jika senjata ini akan langsung bersarang ke perutmu!" ancamnya. Kini Baron sedang tidak bermain-main. Dia menodongkan senjata tepat disamping perutnya. Martha sudah kehilangan akal menghadapi lelaki yang sudah berumur itu. Yang memiliki sikap dan temperamen seperti anak remaja. Merajuk kalau keinginannya tak dituruti. Dia tak bersuara. Pasrah. Hingga Baron memasukkan senjatanya kembali ke jasnya. Dia bertanya
Baron masih saja mondar mandir di kamarnya. Menunggu wanita itu benar-benar bisa menenangkan hati, agar mereka bisa kembali pembicaraannya. Sebenarnya bukan berbicara, tapi Baron masih ingin meneruskan rasa penasarannya. Martha menghela nafasnya. Isak tangis terakhirnya sebelum dia benar-benar berhenti.“Apa kita sudah bisa berbicara sekarang?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Daripada dia menemani wanita yang sedang menangis. Dia lebih baik memukuli seluruh pengawalnya hingga babak belur.‘Huh, apa kata dunia, jika ada orang yang tahu aku mendengarkan seorang wanita menangis!’Baron meraup wajahnya dengan kasar. Sungguh dia pun tak menyangka bisa menemani wanita itu merajuk. Menangis terseduk selama satu jam.Martha menganggukkan kepalanya. Memberikan tanda, dia siap menerima introgasi dari laki-laki dihadapannya itu.“Jadi, penjelasan apa yang ingin kau berikan padaku?” Baron masih menatapnya tajam.‘Huh, dari dulu dia memang tak pernah mau mengalah. Padahal dia yang salah.
‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa menjadi seperti ini? Apa sungguh aku telah salah mengira dirinya?’Pikiran Baron bergemuruh. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tak menentu. Dia bahkan tak tega melihat wanita itu berbaring lemah tak berdaya. Bagaimanapun, dia pernah menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam hidupnya.Dia berjalan perlahan menghampiri ranjangnya. Duduk tanpa bersuara, menatap wanita itu yang terlihat tidur dengan nyaman oleh obat yang habis dia minum. Rasa lelah yang dia rasakan seakan menghilang. Padahal tadi dia berencana akan pulang ke hotelnya untuk beristirahat.‘Ah, hotel!’ Baron keluar dari kamar wanita itu. Mencari keberadaan Markus yang tengah memberikan perintah kepada anak buahnya untuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka buat.“Carikan selimut yang tebal untukku dan segera bawakan untukku!” setengah tak percaya Markus mendengar permintaan Tuannya. Dia sedikit menaikan kedua alisnya saat mendengar tuannya berkata seperti itu.“Cepat!
Baron memicingkan matanya di kursi penumpang. Matanya ke luar jendela mobilnya. Menatap mantap orang yang dia kenali. 'Aku yakin dia.' Baron tak melepaskan tatapannya sedikitpun. Dia melihat orang itu tengah memegangi dadanya saat berjalan. Sesekali kakinya berhenti dan tangannya menempel pada tembok jalanan. Beberapa detik kemudian dia melihat orang itu ditabrak seseorang hingga membuatnya tersungkur di jalanan. 'Cih, apa dia benar-benar orang itu? Aku rasa mataku salah lihat lagi.' hatinya berkata demikian. Namun, dia menyuruh Markus menghentikan mobilnya. Rasa penasaran dan dia sangat ingin membuktikan sesuatu membuat tekadnya bulat.Menghampiri orang itu yang tengah berusaha bangkit dari orang yang sudah menabraknya tadi. "Ck, ck, ck, apa sungguh kau masih seorang Nona dari keluarga Belvina?" Orang tadi melirik kearah suara. Melihat Baron sudah tepat dihadapannya menaikan rahangnya dengan kasar.Orang tadi berusaha menutupi getaran dalam tubuhnya. Menatap datar wajah orang yan