Dominique tersenyum. Rasa lega menyerukan keluar dari dalam dadanya. Beban yang dia pikir sangatlah sulit. Namun, begitu mudah dia lewati. "Aku mencintaimu, Dominique." Willy menarik tubuh Dominique agar lebih dekat dengannya. Kecupan hangat dan dalam langsung diberikan oleh Willy.Mereka berdua berpagut dalam lautan kasih yang begitu dalam dan hangat. Membuat mereka saling insten melakukan sentuhan. Willy segera mengangkat tubuh Dominique yang sama-sama sudah membara. Meletakan perlahan tubuhnya di ranjang mereka. Willy melepaskan pakaiannya terlebih dahulu. Kemudian setelah dia polos dan berada diatas tubuh Dominique,"Aku teruskan ya sayang," ucap Willy berbisik manja di telinga Dominique. Dia hanya mengangguk perlahan. Dan Willy langsung merobek lingerie hitam yang di pakai Dominique. Dia menarik perlahan leher Willy dan mengalungkannya,"Ingat tanganku masih terluka." Willy mengangguk dan segera melakukan serangan dengan genjar, menyentuh dan mengabsen setiap inci dari tubuhn
Willy menyadari dan mengusap pipi Dominique. Dia melompat kepelukan Willy. "Antarkan aku ke makamnya." Suara Dominique lirih tertahan, menahan air matanya yang terus mengalir.Setelah berpikir keras Dominique menyakini bahwa tidak ada orang yang begitu mirip dengannya bahkan memiliki golongan darah yang sama jika dia bukan saudara kembarnya.Willy menarik tubuh Dominique. Menatap wajah wanita yang dicintainya dengan penuh luka. Air mata Dominique terus mengalir. Tergambar dengan jelas di wajahnya. Bahkan pedihnya sampai menyayat hati Willy."Apa kau sungguh ingin bertemu dengannya?" Tegas Willy sekali lagi. Dominique mengangguk pelan."Baiklah jika sungguh menginginkannya, kita pergi sekarang." Willy merengkuh kembali wanita yang dicintai kedalam pelukan dan memapahnya berjalan.Hati Willy tergores. Dirinya bahkan rela menggantikan semua penderitaan yang dirasakan Dominique asalkan dia berhenti menangis.Sepanjang perjalanan Dominique hanya memeluk Willy dengan erat. Hatinya kacau. D
Dominique terusik dibantu duduk oleh Diana yang semenjak dia pingsan terus berada di sampingnya. Dia melihat jelas sosok Haiden sedang memukuli Willy. Matanya membulat lebar. Dia membekap mulutnya tak percaya segera menghempaskan tangan Diana dan berlari kearah Willy yang sedang di hajar mati matian oleh Haiden."Kau gila!" Senggit Dominique menarik kasar tubuh Haiden dari atas tubuh Willy.Haiden terkejut melihat Dominique terlihat begitu marah terhadapnya. Tatapan matanya penuh dengan kebencian."Sa-sayang, ini aku Haiden. Kau sudah bisa mengingatnya kan? Aku ini suami-mu bukan dia." Tunjuk Haiden gelagapan menunjukkan kebenaran kepada Dominique. Menggenggam kedua tangannya dengan erat. Dia masih sangat yakin Dominique masih memiliki perasaan terhadapnya.Willy mengatur nafasnya sambil mengusap darah yang terus mengalir. Dominique menghempaskan kasar kedua tangan Haiden yang menggenggamnya."Carlos, ambilkan obat!" teriak Dominique memerintahkan Carlos yang terkesima dengan kejadi
Ramon dan Carlos langsung bersiap akan mengejar. Namun, dihentikan oleh Willy."Kenap? Kau tidak lihat istrimu sedang di culik?" Senggit Carlos kesal melihat tingkah arogan Haiden."Sudahlah berikan mereka waktu. Aku sangat yakin dia tak mungkin menyakiti Dominique seujung rambut pun." Tukas Willy berusaha tenang. Namun, hatinya gelisah."Kau serius Willy, apa tak sebaiknya kau menyuruh pengawal hitammu yang mengikuti." Carlos memberikan saran."Jangan libatkan mereka. Aku takut akan semakin tercium cepat oleh papaku. Kau tahu aku tidak ingin didesak oleh masalahnya." Sahut Willy terlihat gelisah ketika Carlos menyinggung pengawal hitam.Di dalam mobil Haiden. Dominique menggigit bibirnya kesal sendiri tidak bisa mencegah Haiden yang memaksanya untuk ikut."Kau tahu aku hampir gila memikirkanmu. Dua tahun kau menghilang dan tinggal dengan lelaki brengsek tadi. Kau sungguh tak memikirkan perasaanku?" Haiden geram saat dia berkata, Dominique malah memalingkan wajahnya."Tatap aku!" Peri
"Tidak. Aku mohon jangan katakan apa pun lagi yang akan menjauhkan atau menyakitkan lagi. Sungguh aku harus menjelaskannya padamu." Haiden bertekad menjelaskan semuanya. Tanpa ada lagi yang dia tutupi soal dia, Terry dan Rebecca.'Bagaimana pun aku harus membujuk Dominique untuk pulang bersamaku. Aku tidak akan melepaskan kesempatanku.' Batinnya berkecamuk dan bergejolak."Tidak perlu Iden. Aku mohon. Antarkan aku pulang. Aku tidak ingin Willy mencemaskanku." Dominique yang tak ingin hatinya terbujuk dan menjadi lemah ketika mendengar penjelasan Haiden."Willy, Willy dan Willy sajakah yang ada di benakmu. Apa kau tak pernah memikirkan perasaanku, sedikit saja." hentak Haiden ketika Dominique menyebutkan nama Willy. Membuatnya cemburu, sedangkan Dominique nyalinya menciut."Pernahkah sedikit saja kau melihat pengorbananku. Sejak dulu sampai sekarang aku hanya mencintaimu. Hanya kau yang selalu dihatiku. Aku hanya mencintaimu, Dominique." Senggit Haiden terdengar kesal ketika Dominique
DEGPenjelasan Haiden membuat tubuh Dominique bergetar. Ada rasa bersalah menyelimuti dirinya. Dia telah salah sangka dan termakan provokasi oleh ucapan Rebecca. Rebecca yang memang menginginkan hubungan mereka hancur.Dominique tak mampu berkata. Dia hanya bisa memaki kebodohan-nya. Andai waktu masih bisa berputar kembali pada dua tahun lalu, mungkin yang akan dia lakukan adalah langsung meminta penjelasan dari Haiden. Bukan seperti orang bodoh yang melarikan diri. Penyesalan Dominique yang teramat dalam ialah melarikan diri dari masalah."Tapi ... Rebecca sungguh mencintaimu, Idenn." Akhirnya ucapan itu pun keluar dari mulutnya. Hati dan lukanya kembali terbuka saat mereka membahas."Aku tidak perduli. Yang aku cintai hanyalah dirimu. Hanya kamu satu-satunya sayang." Wajah Haiden pun sama. Menunjukkan luka yang tak bisa dia sembunyikan lagi.Haiden sudah pernah kehilangan Dominique selama sepuluh tahun. Lalu terpisah dua tahun kembali oleh hasutan Rebecca sehingga dia kehilangan Dom
John meraih sakunya dan memberikan sebuah amplop kepada Haiden. Dia kembali melihat sekitar. "Anda tidak menyakiti Nyonya kan Tuan?" Seloroh pertanyaan penasaran keluar dari mulut John. Haiden membulatkan matanya. Menendang kaki John, melemparkan amplop tadi keatas mejanya."Kau fikir aku pembunuh berdarah dingin yang akan memukuli istriku sendiri," cibir Haiden kesal atas ucapan yang keluar dari mulut John."Aish mungkin saja Tuan ... anda kan biasanya tak bisa menahan emosi." Celetuk John."Jaga mulutmu!" bentak Haiden."Cih ... kali ini saya bicara sebagai sahabat-mu." Dengus John kesal."Thanks John. Aku tidak sebodoh yang kau fikir. Dia hanya kelelahan menahan serangan yang sudah kutahan selama dua tahun ini. Yah ... kau tahulah aku sudah puasa selama dua tahun. Makanya kau juga cepat menikah. Agar kau bisa tahu seperti apa rasanya," cibir Haiden merasa lebih unggul dari sahabat dan juga pendamping sejatinya, John.John memalingkan wajah dan segera menghampiri dokter yang sedan
"Aku masih sangat lapar. " Ucap Dominique mengalihkan perang urat saraf di antara mereka. Haiden dan Willy langsung menoleh."Kau mau makan apa lagi?" Haiden dan Willy bersamaan."Kalian duduk. Aku akan ambil sendiri. Awas kalau ada yang berani menghampiri." Ancam Dominique memberi kode menggorok lehernya sendiri. Berdiri dan meninggalkan mereka yang masih bersitegang. 'Bikin seleraku hilang saja. Pagi pagi sudah berulah.' Dominique menghela nafas panjang di hati.Dia kembali menghampiri meja pilihan makanan. Sesaat dia melirik meja yang sudah di duduki dua laki laki yang kini ada dalam hidupnya. Mereka menatap Dominique tak berkedip.'Apa aku masih bisa menghindari mereka. Aku mencintai Willy. Namun, Haiden adalah suamiku. Haaahhh, kepalaku jadi pusing. Kalau seperti ini lebih baik tak mengingat segalanya. Aku bisa lepas dari penjara cinta Haiden.'"Kau mau tambah menu yang tadi?" Ucap seseorang yang sudah berada di samping Dominique menatapnya dengan lembut.Dominique menoleh terny