Sinar jingga serangan Ruhjelita laksana menghantam bantalan kapas lalu buyar. Tahu bahwa dalam kekuatan hawa sakti dia tak bakal dapat mengungguli sang Dewi, Ruhjelita menyergap ke depan, lancarkan serangan tangan kosong. Cepat dan beruntun tak berkeputusan. Mendapat serangan sangat gencar begitu rupa Dewi Awan Putih tetap berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng. Namun karena kalah cepat dengan serangan berantai yang dilancarkan lawan, jurus demi jurus sang Dewi akhirnya tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini Ksatria Pengembara segera berteriak.
“Hentikan perkelahian!”
Tapi tak satupun dari dua gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau Ksatria Pengembara terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada saat Dewi Awan Putih lancarkan satu pukulan kilat ke arah Ruhjelita. Namun karena sosok Bintang melintang di depan maka hantaman Dewi Awan Putih mendarat telak d
DITEPI telaga Dewi Awan Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Bintang, tak ada gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia masih memegang robekan lengan baju Bintang yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut bibir akibat tamparan Ruhjelita.“Aku memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Hai! Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut bibirku. Hai... Kalau saja aku bisa membaca isi hatinya...” Dewi Awan Putih tekapkan robekan baju Bintang itu ke wajahnya. Sepasang mata
Di lereng bukit yang sejuk dan sunyi, Ksatria Pengembara tegak berdiri sementara Ruhjelita enak saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan.Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah Bintang sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah. Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.“Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan?” bertanya Bintang.Ruhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari tempatnya berdiri Bintang bisa melihat sosok tubuh bagian atas si gadis, putih dan kencang. Dalam hati Ksatria Pengembara berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis ini dari Maithatarun. Aku harus berhati-hati...”“Hai Bintang,” Ruhjelita berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan segala urusan?”Bintang tersenyum. &l
“Bunga mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti ini...” kata Bintang. Lalu dia membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan orang begitu bunga dipegang Bintang ini langsung dekatkan ke hidungnya lalu mengendus bunga itu. “Heiii... harum sekali,” kata Bintang pula. “Bunga sebagus ini dari mana datangnya?” Ksatria Pengembara memandang ke arah telaga. “Eh...!” Kening Bintang mengerenyit. Dikedip-kedipkannya matanya. Lalu diusapnya. “Aneh, apa yang teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. Lebih aneh lagi, dadaku sesak. Kepalaku seperti pusing!” Bintang pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan matanya namun dia tak bisa melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!”Bintang mulai huyung. “Seharusnya aku kebal segala macam racun. Tapi ra
Payung di atas kepala si kakek mumbul sampai beberapa jengkal. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Bintang jadi tambah jengkel dia melompat berdiri. “Kek! Jangan kau tertawa! Mengaku saja! Saya...” Bintang mendadak jadi kelabakan karena baru sadar saat itu dia berdiri dengan tubuh bugil sebelah bawah karena lupa mengikat kembali tali celana putihnya. Si Jin Sinting tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut Ksatria Pengembara. Bintang cepat-cepat menarik celananya ke atas dan mengikatnya kuat-kuat, merapikan letak kapak dan batu hitam.“Anak muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa perlu aku membukai celanamu! Celana perempuan saja tak ingin aku bukai! Ha... ha... ha...!”“Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain itu kau punya kesukaan jelek, tukang merorotkan celana orang!”“Waw... waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu kejelekan? Aku sendiri pakai celana melorot seperti itu! Lihat
“Kek, seumur hidup baru sekali ini aku melihat bunga mawar berwarna kuning. Ketika tadi aku mengendus keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi kabur...”“Lekas kau buang bunga celaka itu! Mawar kuning itu bunga beracun yang bisa membunuh. Jangankan manusia, gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui ajal jika menciumnya. Kau beruntung tidak sampai mati. Berarti kau menyimpan satu ilmu kesaktian yang bukan sembarangan...”“Aku tidak punya ilmu apa-apa. Tapi aku ingin bilang terima kasih padamu. Kalau kau tidak muncul mendadak di tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah terjadi atas diriku...”“Terima kasih kau menganggap aku menolongmu. Padahal tidak...” jawab Si Jin Sinting sambil menyeringai.“Kek, kau mungkin tahu asal-usul bunga mawar kuning itu? Dari mana asalnya... Siapa pemiliknya...”“Hai, siapa pemiliknya aku tidak tahu anak muda. Tapi dari mana berasalnya me
Sesaat Bintang merasa bimbang. Tapi ketika dia ingat hutang budi pada Jin Tangan Seribu segera saja dia berkelebat menyusul Si Jin Sinting. Bintang tak perlu bertanya apa yang terjadi atau siapa yang tengah mereka ikuti. Di sebelah depan sana dia melihat satu sosok aneh, berlari cepat ke arah timur di mana terdapat kawasan berbatu-batu berwarna kelabu. Sosok itu tidak beda adanya dengan sosok tubuh manusia. Tapi anehnya sekujur badan mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api! Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebiru-biruan pertanda panas dan daya bakarnya lebih hebat dari api biasa!Sambil lari orang ini memanggul sesosok tubuh. Ketika Bintang memperhatikan, astaga! Kagetlah sang pendekar. Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata adalah si kakek Jin Tangan Seribu! Luar biasanya, walau dipanggul di atas bahu yang dikobari api namun sosok Jin Tangan Seribu tidak ikut terbakar!“Kek, siapa adanya manusia berapi itu?!” tanya Bintang pada S
“Jika kau mampu mengapa aku tidak! Lihat siapa di sampingku!” Si Jin Sinting menjawab.Jin Api Biru memandang pada Bintang yang tegak mulai merasa heran bahkan curiga. Bicara kedua orang itu membuat dia tersentak tidak enak. Jin Api Biru tertawa mengekeh. Si Jin Sinting menimpali. Tiba-tiba, sama sekali tidak terduga oleh Bintang, Si Jin Sinting dorong tubuhnya. Demikian hebatnya kekuatan dorongan itu membuat Bintang tidak mampu mempertahankan diri dan tak ampun lagi tubuhnya melayang jatuh, masuk ke dalam lobang batu besar! Dalam jatuhnya masih untung Ksatria Pengembara tidak panik dan kehilangan akal. Dengan cepat dia kerahkan ilmu meringankan tubuh lalu berjungkir balik dua kali hingga begitu jatuh dia tetap berdiri di atas dua kakinya.Di atas sana, di tepi lobang batu, Jin Api Biru dan Si Jin Sinting tertawa gelak-gelak.“Jahanam! Aku tertipu! Kakek sinting itu ternyata kaki tangan Jin Muka Seribu! Mengapa aku jadi sebodoh ini?!” Bin
Sesaat kemudian kakek itu mulai siuman dan buka sepasang matanya. Selagi pemandangannya masih mengabur kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar suara erangan. Dia kenali betul suara itu. Jin Tangan Seribu cepat bangkit dan duduk. Lalu memandang seputar ruangan. Dia kembali memandang ke arah Bintang. Ingatannya masih belum jernih.“Anak muda, aku rasa-rasa pernah melihat wajahmu. Di mana aku berada saat ini?”“Hai kerabatku Jin Tangan Seribu,” sosok yang melesak di dinding berkata. “Istrimu Ruhbarini ada di sudut kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kau pasti bisa menolongnya.”Mendengar ucapan itu Jin Tangan Seribu segera berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan nafasnya serasa berhenti. Satu sosok tubuh perempuan dilihatnya terhantar di lantai ruangan, kurus mengenaskan, tak bergerak tapi keluarkan suara erangan.“Istriku Ruhbarini!” Jin Tangan Seribu berseru setengah menggerung. Lalu dia lari dan j