Angin sedahsyat topan prahara melabrak. Pemuda gagah berseru keras. Dia berjumpalitan di udara. Lalu turun dan berusaha jejakkan dua kaki di atas batu di tepian telaga. Dia tidak menduga batu yang satu itu demikian licinnya karena terselimut lumut. Walau dia berusaha imbangi diri namun tak urung tubuhnya limbung dan mencebur masuk ke dalam air telaga. Untungnya telaga itu hanya sedalam dada. Dengan cepat pemuda gagah bergerak menuju tepian. Pagandring tidak memberi kesempatan. Kepalanya digoyangkan. Selarik sinar merah menyembur keluar dari kaca merah yang melekat di keningnya.
Melihat datangnya sambaran sinar merah yang pasti sangat berbahaya pemuda gagah hantamkan kaki kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring, jatuh tiga tombak dari tempatnya semula. Walau dia bisa menyelamatkan diri, namun saat itu terjadilah satu hal yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam pemuda gagah, mendarat di permukaan telaga. Air telaga serta merta berubah menjadi merah dan berg
TIBA-TIBA Pagandring berdiri. Matanya menyala laksana api. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam genggamannya mengepulkan asap. Di saat yang sama tubuhnya berubah menjadi besar dan tinggi.“Astaga! Dia berubah menjadi dua kali lebih besar!” Ksatria Pengembara tercekat. Kalau tadi dia masih mengerahkan setengah saja dari tenaga dalamnya, kini dia alirkan seluruh cakra petir yang ada dalam tubuhnya ke tangan kanan. “Akan kuhantam selangkangannya! Masakan tidak amblas!” kata Bintang dalam hati. Tangan kanannya segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada saat dia siap menghantam tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat sesosok tubuh. Menyusul suara orang berseru.“Pagandring! Tinggalkan pemuda itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!”Pagandring menyeringai buruk. “Kau masih untung anak muda! Kalau tidak ada uru
Di tempatnya berdiri Jin Tangan Seribu kelihatan terus saja mengusap-usap janggutnya dengan tangan kanan. Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat lalu ditempelkan menyilang di atas dada. Bunga-bunga di atas telaga yang tadinya diam menggantung di udara perlahan-lahan bergerak turun ke bawah. Dari sini sudah bisa dinilai bagaimana tingkat tenaga dalam Pagandrung yang digabung dengan Pagandring masih kalah dengan yang dimiliki si kakek berjuluk Jin Tangan Seribu itu.“Pagandring! Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak adu kekuatan. Kita berdua dia sendiri masakan kalah!”Mendengar ucapan kakaknya itu Pagandring segera salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan. Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya pengerahan tenaga dalam dua saudara kembar itu, sepasang kaki mereka sampai amblas setengah jengkal dan tanah yang mereka pijak kelihatan kepulkan asap!Di atas batu di tepi telaga kakek berjuluk Jin Tangan Seribu
“Hai Jin Tangan Seribu,” Pagandrung angkat bicara. “Kedatangan kami tidak membawa berita menyenangkan. Kami muncul tidak pula dengan niat gembira berbincang-bincang...”“Hai! Kalian masih seperti dulu saja. Serba kesusu, selalu sibuk hingga tidak bisa berbagi waktu dengan para teman.”Pagandrung gelengkan kepala. “Ketahuilah Hai Jin Tangan Seribu, kami datang membawa berita sedih. Jangan terkejut. Kami di Perintahkan untuk mengambil kepalamu!”Bintang tersentak kaget. Sebaliknya Jin Tangan Seribu tidak tampak terkejut. Malah dia tertawa bergelak. “Pagandrung! Sejak kapan kau pandai melawak!”“Kami tidak melawak!” membentak Pagandring. Sang adik memang punya sifat lekas naik darah.Tawa Jin Tangan Seribu langsung terputus. Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak percaya. Maka dia bertanya. “Kalau kalian tidak sedang membanyol, lalu siapakah yang memerintahkan kalia
Pagandring goyangkan kepalanya. Dari kaca merah yang menempel di keningnya berserabutan keluar sinar merah angker. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sinar Darah Merah.Seperti tadi Ksatria Pengembara hendak hadapi serangan lawan dengan ilmu Cakra Petirnya. Namun di saat terakhir dia putuskan menghantam dengan pukulan ‘Matahari Terik’-nya.Pagandring tersentak dan berseru kaget ketika melihat bagaimana satu gelombang angin panas dahsyat membuat sinar merah yang keluar dari kaca sakti di keningnya mencelat ke atas. Dia kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnya tubuhnya ikut terangkat ke atas. Sambil membentak garang Pagandring kembali goyangkan kepalanya. Sinar merah dari dalam kaca di kening menyapu keluarkan suara seperti seratus ular mendesis.Bintang tak tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya, dua telapak tangan didorong ke atas. Tapak Guntur dikerahkan oleh Bintang. Laksana disambar halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan m
Wutttt!Tiba-tiba kaki kanan Pagandring menderu. Belum lagi tendangannya sampai, angin sudah menyambar laksana topan prahara. Semak belukar hancur rambas beterbangan, pohon-pohon di kiri kanan berderak patah.“Mati aku!” jerit Bintang ketika tubuhnya ikut tersapu. Begitu jatuh di antara semak belukar dia segera menyelinap. Tapi Pagandring bergerak cepat sekali. Belum sempat Bintang bangkit berdiri, kaki Pagandring sudah berada di depannya dan kembali menendang. Bintang jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Dia masih bisa selamatkan diri walau angin tendangan membuat tubuhnya melesak tertelungkup satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Bintang sempat keluarkan dirinya dari dalam lobang, kaki kanan Pagandring telah menghunjam ke punggungnya. Selain itu dari kaca merah yang ada di tangan kanan lawan menyambar keluar pukulan Sinar Darah Merah. Sekali ini nyawa Ksatria Pengembara tidak tertolong lagi. Kalaupun ada keajaiban menyelamatkan dirinya dan membuatnya masi
Orang lain mungkin akan sulit menghindari serangan belasan bunga itu. Tapi Pagandrung dengan mudah bisa mengelak. Ketika dia kembali hendak menyerbu, di hadapannya Jin Tangan Seribu angkat tangan seraya berkata. “Kita pernah bersahabat! Jangan kau termakan Perintah jahat Jin Muka Seribu! Habisi semua kegilaan ini sampai di sini!” Jin Tangan Seribu memandang ke langit. “Matahari sudah tinggi. Aku perlu cepat-cepat mandi!”Pagandrung meludah dan menjawab dengan seringai mengejek. “Kau boleh mandi kalau air telaga sudah kucampur dengan darahmu!”Habis berkata begitu Pagandrung goyangkan kepalanya. Dari kaca putih yang menempel di keningnya menderu sinar putih sangat panas.Jin Tangan Seribu lemparkan kantung jerami yang ada di bahunya. Benda ini hancur lebur berantakan. Sinar putih panas terus menyambar ke arah curahan air terjun. Terdengar berkepanjangan suara seperti besi panas dicelup ke dalam besi sewaktu sinar putih menembus
Begitu Pagandrung dan Pagandring lenyap, Ksatria Pengembara segera mendatangi Jin Tangan Seribu yang saat itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang kakek bermuka rata.“Kek, kau tak apa-apa...?” tanya Bintang.Jin Tangan Seribu usap matanya yang basah oleh air mata karena tertawa terpingkal-pingkal tadi. “Kau sendiri bagaimana?”“Hampir celaka! Untung ada seseorang menolong” jawab Bintang.“He...” Jin Tangan Seribu hanya manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa adanya orang yang menolong Bintang tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada Bintang. “Anak muda, kau jangan ke mana-mana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!” Laju enak saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya setelah ditunggu sekian lama sosok Jin Tangan Seribu tak kunjung muncul. Mau tak mau Ksatria Pengembara jadi agak gelisah.“Kek! Jin Tangan Seribu!” Bintang memanggil. Tak
“Memutus ranting dengan daun kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang berkepandaian luar biasa mampu melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini pasti bukan makhluk sembarangan!” Baru saja Bintang membatin seperti itu tiba-tiba si kakek sudah ada di depannya. Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar.“He, Buyung! Kau tentu menduga aku ini sinting! Iya, kan?!”“Walah, jangan-jangan dia bisa mendengar suara hatiku!” kata Bintang. Lalu dia balas menyengir. “Tidak, Kek. Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang mendengar nyanyianmu!” kata Bintang pula.“He, begitu? Terima kasih! Yang betul saja Buyung!”“Betul, nyanyianmu sangat sedap didengar,” kata Bintang.Si kakek menyengir. “Terima kasih!” katanya lagi. Lalu, “Sekarang tolong kau pegangkan tangkai payung ini!” Karena payung langsung disodorkan kepadanya terpaksa Bintang pegang payung