Saat itu Maithatarun tundukkan kepalanya ke tanah. Perlahan sekali dia berkata.”Hai! Bayu, kalau kita tidak membebaskan tutukan...”
"Totokan! bukan tutukan!" sergah Bayu tapi sambil senyum-senyum.
“Terserah! Kau menyebut totokan, aku tutukan. Karena totokan dalam bahasa di Negeri Kota Jin berarti payudara perempuan!"
Arya tertawa cekikikan. Bintang geleng-geleng kepala sambil menyengir sedang Bayu tertawa terpingkal-pingkal.
"Kalau kita tidak membebaskan tutukannya, se- umur-umur dia akan menderita seperti itu...”
"Siapa yang berani menolongnya?! Sekali mendekat pasti mati kita dihantamnya!" kata Bayu.”Maithatarun, bukankah kau yang menotok selangkangannya? Jadi kalau kau mau berbaik hati kau saja yang melepas totokannya. Tusuk sekali lagi selangkangannya! Ha ha ha...!"
Saat itu Jin Bara Neraka duduk tergeletak di tanah. Dia tak habis pikir apa yang terjadi dengan dirinya. Memandang berkeliling dia tidak melihat
Lapangan kecil di bukit patinggisubur pagi itu dipenuhi oleh para penyabung ayam, mereka yang bertaruh atau hanya sekedar menonton. Ketika ayam milik Pakabil dan Patondang sedang hebat-hebatnya berlaga tiba-tiba sebuah benda melayang di udara dan jatuh di tengah lapangan. Dua ayam yang bertarung berkotek keras lalu kabur. Orang yang ada di tempat itu serta merta dilanda kegemparan. Betapa tidak. Benda yang bergelimpang ditanah lapang itu adalah sesosok tubuh bergelimpang darah mulai dari kepala sampai ke badan. Dalam keadaan seperti itu dari balik semak belukar sekonyong-konyong keluar sesosok tubuh tinggi besar. Saat itu juga tempat itu diselimuti hawa panas serta bau aneh seperti daging terpanggang. Kalau tadi semua orang dilanda kegegeran maka kini mereka dicekam ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu pasti makhluk apa yang sebenarnya tegak di depan mereka saat itu. Sosok tinggi besar ini tegak kaki terkembang tubuh agak terbungkuk seolah menahan sesuatu yang berat di
"Bukkkk!"Kaki kanan Jin Bara Neraka mendarat telak di dada Pasingar. Orang ini terpental dan ambruk di bawah sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya. Nafasnya sesak, nyawanya seolah terbang. Dia mengerang dengan sekujur tubuh bergeletar.Jin Bara Neraka menyeret sosok berdarah ke hadapan Pasingar. Orang yang berada dalam keadaan luka parah itu dijambaknya lalu membentak."Patorik! Sebelum kau keburu mampus katakan apa yang kau lihat delapan puluh tahun silam di atas ranjang di anjungan rumah kediaman Ruhsantini! Kalau kau mati para Dewa dan para Dewi akan mengampuni segala dosamu karena kau telah berbuat baik, memberi kesaksian yang benar!"Orang yang bergelimang darah itu tidak segera menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu bersuara. Jin Bara Neraka menggoncang kepala Patorik.”Bicara! Atau kugeprak pecah kepalamu saat ini juga!" teriak Jin Bara Neraka."A... aku...." Patorik bersuara walau perlahan.”Del... delapan puluh tahu
Untuk beberapa saat lamanya Patandai alias Jin Bara Neraka diam tertunduk masih berlutut dan dua tangan masih di atas kepala."Patandai, dari tadi kulihat kau berlutut terus. Berdirilah dan bicara secara wajar. Aku bukan sebangsa Dewi gila hormat..."Patandai alias Jin Bara Neraka jadi bingung dan kecut. Kalau dia berdiri, Bunda Dewi pasti akan melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah."Hai! Patandai, apakah kau tidak mendengar. Berhentilah berlutut. Bicara dengan berdiri padaku." kata Bunda Dewi.Perlahan-lahan, terbungkuk-bungkuk Jin Bara Neraka bangkit berdiri. Celakanya ketika berdiri, celananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke bawah. Cepat-cepat Patandai memegangi, menariknya ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya untuk melindungi anggota rahasianya.Meskipun semua itu dilakukan dengan cepat oleh Patandai, namun Bunda Dewi masih sempat melihat. Sang Dewi langsung tersentak dan palingkan mukanya yang serta merta menjadi sa
Perjalanan Menuju Gunung Pabatuhitam di kawasan selatan bukan perjalanan mudah. Walau Maithatarun alias Jin Kaki Batu menunggangi kuda raksasa berkaki enam, namun mereka harus melewati kawasan berbukit-bukit, lembah tandus, menyeberangi sungai serta menembus rimba belantara yang nyaris jarang dilewati manusia. Selama perjalanan Bintang, Bayu dan Arya lebih banyak berada di dalam kocek jerami sehingga keadaan mereka bertiga cukup menderita. Memasuki malam Maithatarun hentikan kudanya di bibir sebuah lembah berbatu-batu. Bintang dan dua kawannya dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan di atas sebuah batu datar. Maithatarun meletakkan se- potong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga orang itu. Walau sangat kecil tapi bagi Bintang dan kawan- kawannya sepotong jambu hutan itu hampir seukuran besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup menghabiskan.Sementara Maithatarun membaringkan tubuhnya di tanah, Bintang, Bayu dan Arya be
"Celaka! Jangan-jangan Maithatarun kedatangan setan istrinya sendiri! Kita bisa ditinggalkan begitu saja di atas batu ini!" ujar Bintang."Maithatarun suamiku! Aku berada begini dekat di hadapanmu. Kau seolah tertegun lupa. Apa kau tidak lagi mengenali istrimu sendiri, Maithatarun?"Sosok perempuan itu kini hanya terpisah dua langkah dari hadapan Maithatarun."Perempuan raksasa itu..." bisik Arya.”Wajahnya cantik, pakaiannya sangat tipis. Aku dapat melihat sekujur auratnya! Lihat, tubuhnya putih bagus. Dadanya sebesar batu raksasa di sungai, Tonilnya begitu mulus... Ah... aku bisa bersembunyi dalam pusarnya! Hik... hik... hik. !"Arya usap-usap sepasang matanya berulang kali. Sementara Bintang memandang dengan ternganga."Lihat, ada tahi lalat di kiri pahanya sebelah dalam. Kalau saja aku bisa memanjat kakinya yang bagus mulus itu.”"Dasar pikiran kotor!" tukas Bintang pada Arya. ”Coba kau perhatikan! Apa kau tidak melihat
Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat."Astaga! Lihat!" seru Bayu sambil menunjuk ke atas. Sementara Bintang dan juga Arya pelototkan mata terheran-heran. Saat itu cahaya biru tadi telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali. Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulung- gulung panjang seolah tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari batu-batu permata berkilauan."Bunda Dewi, terima hormat saya!" kata Maithatarun begitu melihat siapa yang berada di atasnya."Maithatarun menyebut perempuan cantik itu Bunda Dewi..." bisik Bintang pada dua temannya."Setahuku yang namanya Dewi itu hanya ada dalam dongeng..." menyahuti Arya."Di negeri serba aneh ini bisa saja terjadi. Bukankah saat ini kita berada di Negeri Jin?" ujar Bintang.”Yang aku herankan
Hujan lebat membuat Maithatarun tidak dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam kocek jerami yang basah, Bintang, Bayu dan Arya kedinginan setengah mati. Bukan saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga akibat terpaan angin deras yang menembus masuk melalui celah-celah anyaman jerami. Menjelang pagi dalam keadaan letih dan mata mengantuk Maithatarun hentikan kudanya di tepi sebuah rimba belantara. Saat itulah Lapat-lapat telinganya menangkap suara aneh. ”Seperti suara orang meracau. Tapi juga seperti seseorang mengerang. Eh, malah berubah seperti suara tangis anak-anak," membatin Maithatarun sambil terus memasang telinga. Di dalam kocek suara itu juga terdengar oleh Bintang dan kawan-kawannya. Mereka berusaha mengangkat penutup kocek untuk melihat. Namun baru sedikit tersingkap ketiganya jatuh terduduk karena saat itu Maithatarun menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke dalam rimba. Ingin menyelidik suara apa adanya yang barusan didengarnya
Maithatarun tersenyum. dia coba tenangkan anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya dia berkata.”Anak, jangan takut! Aku bukan orang jahat..." "Kau...” Hanya sepotong bicara si anak hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa sakit. Dari mulutnya masih meleleh darah. "Totok tenggorokannya di bawah dagu sebelah kanan!'' Bintang berteriak. ”Sakit pada mulut dan lidah anak itu pasti berkurang" Maithatarun palingkan kepalanya pada Bintang. ”Aku pernah menutuk orang. Akibatnya luar biasa! Bagian bawah perutnya jadi melembung bengkaki Apa saat ini kau juga hendak menipuku, mencelakai anak perempuan ini?" "Aku tidak seberengsek itu! Yang dulu kau lakukan adalah petunjuk gila bocah bernama Bayu ini!" sahut Bintang. "Maithatarun, sobatku ini memang benar. Totok di tempat yang tadi dikatakannya. Leher di bawah dagu sebelah kanan. Waktu dengan Jin Bara Neraka aku sengaja berbuat gila agar manusia itu tahu rasa" "Hemm. Baik, tapi jika