"Bukkkk!"
Kaki kanan Jin Bara Neraka mendarat telak di dada Pasingar. Orang ini terpental dan ambruk di bawah sebatang pohon. Darah segar mengucur dari mulutnya. Nafasnya sesak, nyawanya seolah terbang. Dia mengerang dengan sekujur tubuh bergeletar.
Jin Bara Neraka menyeret sosok berdarah ke hadapan Pasingar. Orang yang berada dalam keadaan luka parah itu dijambaknya lalu membentak.
"Patorik! Sebelum kau keburu mampus katakan apa yang kau lihat delapan puluh tahun silam di atas ranjang di anjungan rumah kediaman Ruhsantini! Kalau kau mati para Dewa dan para Dewi akan mengampuni segala dosamu karena kau telah berbuat baik, memberi kesaksian yang benar!"
Orang yang bergelimang darah itu tidak segera menjawab. Mungkin dia tidak lagi mampu bersuara. Jin Bara Neraka menggoncang kepala Patorik.”Bicara! Atau kugeprak pecah kepalamu saat ini juga!" teriak Jin Bara Neraka.
"A... aku...." Patorik bersuara walau perlahan.”Del... delapan puluh tahu
Untuk beberapa saat lamanya Patandai alias Jin Bara Neraka diam tertunduk masih berlutut dan dua tangan masih di atas kepala."Patandai, dari tadi kulihat kau berlutut terus. Berdirilah dan bicara secara wajar. Aku bukan sebangsa Dewi gila hormat..."Patandai alias Jin Bara Neraka jadi bingung dan kecut. Kalau dia berdiri, Bunda Dewi pasti akan melihat kelainan keadaan auratnya sebelah bawah."Hai! Patandai, apakah kau tidak mendengar. Berhentilah berlutut. Bicara dengan berdiri padaku." kata Bunda Dewi.Perlahan-lahan, terbungkuk-bungkuk Jin Bara Neraka bangkit berdiri. Celakanya ketika berdiri, celananya yang sudah tidak karuan rupa merosot ke bawah. Cepat-cepat Patandai memegangi, menariknya ke atas dan membenahi dedaunan yang dipakainya untuk melindungi anggota rahasianya.Meskipun semua itu dilakukan dengan cepat oleh Patandai, namun Bunda Dewi masih sempat melihat. Sang Dewi langsung tersentak dan palingkan mukanya yang serta merta menjadi sa
Perjalanan Menuju Gunung Pabatuhitam di kawasan selatan bukan perjalanan mudah. Walau Maithatarun alias Jin Kaki Batu menunggangi kuda raksasa berkaki enam, namun mereka harus melewati kawasan berbukit-bukit, lembah tandus, menyeberangi sungai serta menembus rimba belantara yang nyaris jarang dilewati manusia. Selama perjalanan Bintang, Bayu dan Arya lebih banyak berada di dalam kocek jerami sehingga keadaan mereka bertiga cukup menderita. Memasuki malam Maithatarun hentikan kudanya di bibir sebuah lembah berbatu-batu. Bintang dan dua kawannya dikeluarkan dari dalam kocek lalu diletakkan di atas sebuah batu datar. Maithatarun meletakkan se- potong kecil jambu hutan untuk santapan ketiga orang itu. Walau sangat kecil tapi bagi Bintang dan kawan- kawannya sepotong jambu hutan itu hampir seukuran besar tubuh mereka hingga ketiganya tak sanggup menghabiskan.Sementara Maithatarun membaringkan tubuhnya di tanah, Bintang, Bayu dan Arya be
"Celaka! Jangan-jangan Maithatarun kedatangan setan istrinya sendiri! Kita bisa ditinggalkan begitu saja di atas batu ini!" ujar Bintang."Maithatarun suamiku! Aku berada begini dekat di hadapanmu. Kau seolah tertegun lupa. Apa kau tidak lagi mengenali istrimu sendiri, Maithatarun?"Sosok perempuan itu kini hanya terpisah dua langkah dari hadapan Maithatarun."Perempuan raksasa itu..." bisik Arya.”Wajahnya cantik, pakaiannya sangat tipis. Aku dapat melihat sekujur auratnya! Lihat, tubuhnya putih bagus. Dadanya sebesar batu raksasa di sungai, Tonilnya begitu mulus... Ah... aku bisa bersembunyi dalam pusarnya! Hik... hik... hik. !"Arya usap-usap sepasang matanya berulang kali. Sementara Bintang memandang dengan ternganga."Lihat, ada tahi lalat di kiri pahanya sebelah dalam. Kalau saja aku bisa memanjat kakinya yang bagus mulus itu.”"Dasar pikiran kotor!" tukas Bintang pada Arya. ”Coba kau perhatikan! Apa kau tidak melihat
Tiba-tiba ada bau harum semerbak memenuhi tempat itu. Lalu satu cahaya biru terang muncul di kejauhan, bergerak di antara pepohonan. Makin lama makin besar dan makin dekat."Astaga! Lihat!" seru Bayu sambil menunjuk ke atas. Sementara Bintang dan juga Arya pelototkan mata terheran-heran. Saat itu cahaya biru tadi telah berubah menjadi sosok seorang perempuan separuh baya cantik sekali. Tubuhnya terselubung lilitan pakaian biru bergulung- gulung panjang seolah tergantung sampai ke langit. Di kepalanya ada sebentuk mahkota yang ditebari batu-batu permata berkilauan."Bunda Dewi, terima hormat saya!" kata Maithatarun begitu melihat siapa yang berada di atasnya."Maithatarun menyebut perempuan cantik itu Bunda Dewi..." bisik Bintang pada dua temannya."Setahuku yang namanya Dewi itu hanya ada dalam dongeng..." menyahuti Arya."Di negeri serba aneh ini bisa saja terjadi. Bukankah saat ini kita berada di Negeri Jin?" ujar Bintang.”Yang aku herankan
Hujan lebat membuat Maithatarun tidak dapat memacu kencang kuda tunggangannya. Di dalam kocek jerami yang basah, Bintang, Bayu dan Arya kedinginan setengah mati. Bukan saja karena kocek yang basah oleh air hujan, tapi juga akibat terpaan angin deras yang menembus masuk melalui celah-celah anyaman jerami. Menjelang pagi dalam keadaan letih dan mata mengantuk Maithatarun hentikan kudanya di tepi sebuah rimba belantara. Saat itulah Lapat-lapat telinganya menangkap suara aneh. ”Seperti suara orang meracau. Tapi juga seperti seseorang mengerang. Eh, malah berubah seperti suara tangis anak-anak," membatin Maithatarun sambil terus memasang telinga. Di dalam kocek suara itu juga terdengar oleh Bintang dan kawan-kawannya. Mereka berusaha mengangkat penutup kocek untuk melihat. Namun baru sedikit tersingkap ketiganya jatuh terduduk karena saat itu Maithatarun menyentakkan kudanya, bergerak masuk ke dalam rimba. Ingin menyelidik suara apa adanya yang barusan didengarnya
Maithatarun tersenyum. dia coba tenangkan anak perempuan itu. Sambil mengusap keningnya dia berkata.”Anak, jangan takut! Aku bukan orang jahat..." "Kau...” Hanya sepotong bicara si anak hentikan ucapannya. Leher dan lidahnya terasa sakit. Dari mulutnya masih meleleh darah. "Totok tenggorokannya di bawah dagu sebelah kanan!'' Bintang berteriak. ”Sakit pada mulut dan lidah anak itu pasti berkurang" Maithatarun palingkan kepalanya pada Bintang. ”Aku pernah menutuk orang. Akibatnya luar biasa! Bagian bawah perutnya jadi melembung bengkaki Apa saat ini kau juga hendak menipuku, mencelakai anak perempuan ini?" "Aku tidak seberengsek itu! Yang dulu kau lakukan adalah petunjuk gila bocah bernama Bayu ini!" sahut Bintang. "Maithatarun, sobatku ini memang benar. Totok di tempat yang tadi dikatakannya. Leher di bawah dagu sebelah kanan. Waktu dengan Jin Bara Neraka aku sengaja berbuat gila agar manusia itu tahu rasa" "Hemm. Baik, tapi jika
Di atas telapak tangan anak perempuan itu Bayu lalu bersalto tiga kali berturut-turut membuat si anak perempuan tertawa senang. "Hai! Ruhkimkim, aku ikut senang kalau kau suka pada tiga saudaraku itu. Sekarang harap kau suka menjawab pertanyaanku tadi. Mengapa kau berada di tempat ini. Siapa yang telah berlaku jahat terhadapmu." Ruhkimkim seperti hendak menangis. Tapi anak ini berusaha tabahkan diri agar tidak mengeluarkan air mata. Setelah mengusap lelehan darah yang masih melekat di sudut bibirnya Ruhkimkim lalu memberi keterangan. "Makhluk jahat bernama Jin Muka Seribu yang menjatuhkan tangan jahat mencelakai saya...” "Jin Muka Seribu?" mengulang Maithatarun. ”Dia memang terkenal jahat, menganggap diri Raja Di Raja para Jin di Negeri Jin. Tapi sungguh tak kupercaya Hai! Ruhkimkim kalau dia tega berlaku sekeji ini terhadap seorang anak kecil sepertimu. Kesalahan apa yang telah kau lakukan? Dendam apa yang bersarang di hati makhluk biadab
Gunung Pabatuhitam sesuai dengan namanya merupakan satu gunung batu berwarna hitam. Tak satu tetumbuhanpun hidup di sana kecuali sejenis lumut. Di bawah panas teriknya matahari, di kaki selatan gunung kelihatan melesat satu bayangan merah, berkelebat cepat dari satu gundukan batu ke gundukan lainnya. Mengingat batu-batu di tempat itu diselimuti lumut licin dan orang tersebut dapat bergerak begitu cepat tanpa kakinya terpeleset, jelas dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Di satu lamping batu orang ini tendangkan kaki kirinya. "Bukkl" Satu gerakan hebat melanda lamping batu. Batu yang ditendang sama sekali tidak cacat atau rusak sedikitpun, apa lagi hancur. Tapi justru sebuah batu besar yang terletak di belakang batu yang ditendang keluarkan suara berderak. Lalu seolah menjadi rapuh secara tiba-tiba batu itu hancur menjadi bubuk dan bertebaran hampir sama rata dengan batu rendah di sekitarnya! Dan jelas orang berpakaian merah itu tengah melatih diri, mulai