Pemuda berjaket hitam berdiri di tempat, sambil matanya menelusuri seluruh sisi ruangan di hadapannya. Ruangan berbentuk lingkaran dengan dinding berisikan ukiran-ukiran unik yang indah. Di tengah-tengah lantainya ada altar melingkar, sajak yang terukir di sana tidak kalah indahnya, sekaligus rumit.
"Ada apa?" ucap Zimo yang berhenti di sampingnya. Akara lalu menjawabnya sambil berjalan."Ntahlah, hanya saja nampak familiar." Ia berhenti di tengah-tengah altar, teringat kembali masa kecilnya saat berlatih bersama mama Lia. Ia tersenyum, namun alisnya semakin turun dengan mata yang memerah dan sembab. Setelah kesedihan karena teringat dengan gadis-gadis cantik itu, ia juga sangat merindukan orang tuanya.Zimo menyadari hal itu dan menepuk pundaknya dengan pelan dan berkata. "Aku mengerti, namun malapetaka itu tidak hanya mempengaruhi hidupmu, namun juga seluruh dunia ini.""Apa maksudmu? Kenapa berkata akan malapetaka?" ucap Akara sambil ujung jGlengg! Mendengar suara pintu terbuka dengan kencang, Zimo dan Akara langsung menoleh karena reflek. Namun sesaat kemudian kembali fokus. Posisi Akara yang menghadap ke arah pintu membuatnya dapat melihat kedatangan mereka. Melihat mata remaja itu melirik sekilas, Zimo penasaran dan bertanya kepadanya."Siapa?""Pemuda tadi," jawab Akara singkat sebelum kembali fokus mengendalikan api surgawi."Itu guru! Bocah itu yang kurang ajar memukulku!" teriak pemuda itu sambil menunjuk ke arah Akara."Anak muda, apa benar apa yang dikatakan oleh muridku?" Pak tua itu mendekati Akara dan mengabaikan keberadaan Zimo di sana. Tanpa mengalihkan fokusnya, Akara menjawabnya dengan tenang."Kenapa? Pukulanku masih kurang?" "Bocah kurang ajar!""Beri dia pelajaran guru!" seru pemuda itu saat gurunya mengulurkan tangan dengan api yang menyelimutinya."Hei!" seru Zimo menghentikan pergerakannya. "Apa kau melupakan kebera
Hentakan energi yang mendorong api di punggung Gigis, disusul oleh api merah delima sebagai pengalihannya. Api Surgawi tiga warna itu masih memyala di udara, sedangkan korbannya berguling di lantai. Walau sekejap, pakaian yang menutupi punggungnya sudah terbakar dan nampaklah kulit yang berwarna merah karena melepuh."Guru!" Rey langsung membantu gurunya untuk bangun dan duduk, namun pak tua Gigis itu langsung menoleh ke arah Akara. "Mutasi Api Surgawi!?" serunya, lalu terbelalak melihat Aura Alkemis di bawah pemuda itu. Sedangkan Rey bereaksi lebih parah, ia bahkan sampai gemetaran melihat api yang bahkan mampu melukai gurunya."Jangan banyak bicara Senior, lebih baik bantu aku menggabungkan semua cairan mujarab ini." Zimo sudah kembali santai memintanya, ia fokus mengendalikan ke dua belas cairan mujarab yang masih berpencar dan terus bergerak dengan liar. Sedangkan Gigis, ia masih bengong melihat Akara hingga akhirnya Zimo memanggilnya lagi."
Berputar semakin cepat dan cepat hingga akhirnya Prangg… Bahan terpisah menjadi dua dan terpental layaknya dua gangsing yang tengah terlaga. Api Surgawi langsung membesar, bahkan tungku pemurnian sepenuhnya dilahap olehnya. Cairan mujarab mulai menguap, menciptakan aroma harum yang semerbak memenuhi ruangan. Rey langsung tersenyum bahagia melihat tanda-tanda keberhasilan itu, namun tidak dengan dua Alkemis tua itu. Mereka menyadari bahwa ini fase yang begitu krusial.Cairan mujarab menyusut akibat hilangnya kadar air, namun tetap berputar hingga sari-sari obat yang mengering saling menyatu. Semuanya nampak begitu stabil hingga kepanikan kedua Alkemis tua menjadi kekaguman saat melihat sosok pemuda berjaket hitam. Saat sudah berbentuk menyerupai pil yang bulat sempurna, muncullah aliran energi layaknya aliran air yang begitu deras di udara. Jangkauannya bahkan sangat luas, hingga menyerap energi alam dari dalam bilik-bilik di sekelilingnya. Fokus par
Viona menjawab dengan suara santai namun tegas. "Ingatan apa? Kami lebih tau apa yang harus dilakukan. Di dunia yang penuh misteri ini, jangan dikira apa yang kau lakukan saat ini memiliki akibat di masa depan, bisa saja akibat itu menuju ke masa lalu."Penjelasan Viona yang membingungkan, membuat pria itu terdiam untuk mencerna kata-katanya."Segoro, lihatlah luka di punggung Luce kemarin." Viona melanjutkan penjelasannya. "Pukulan keras yang didapatkannya, padahal ia tidak mengenal siapa lawan yang menyerangnya. Ternyata itu akibat yang disebabkan tingkahnya di masa depan. Pria itu menyadari tidak akan bisa melawan Luce di masa depan, makanya dia menuju masa lalu untuk membalaskan dendamnya,""Lalu tuanku!?" seru Segoro sambil mengerutkan keningnya karena kesal sekaligus bingung."Berikan Komo kepadaku." Viona mengulurkan tangannya, memintanya dengan halus."Tidak nona! Kadal itu harus diberi pelajaran, dia juga yang menyebabkan Nona be
Di sebuah altar teleportasi antar dunia, tepat di tengah-tengah kota yang begitu ramai. Dua orang pria muncul di sana, yaitu Zimo dan Akara. Mereka segera bergegas menuju suatu tempat. Di tengah perjalanan, Zimo menjelaskan kebingungan Akara akan teleportasi yang mereka lakukan. Di kekaisaran Amerta, Altar teleportasi sudah tertutup setelah kehilangan energinya. Akan tetapi, di kekaisaran Naga Sejati ada beberapa yang masih digunakan. Keberadaan Naga Sejati itu sendiri yang membuatnya tetap aktif.Sekarang, mereka berada di dunia Atla yang membuat Akara heran karena begitu mirip dengan dunia asal mereka. Sebab, kedua dunia itu memiliki jalur orbit yang sama terhadap matahari. Ada satu dunia lagi yang memiliki iklim sama, namun tidak berpenghuni yaitu dunia Lestari. Dunia yang dimiliki oleh Kaisar Amerta, dibuka beberapa tahun sekali untuk memberikan kesempatan generasi muda mendapatkan sumberdaya yang bagus. Paviliun Madu Emas, bangunan yang berbentuk he
Mendengar perkataannya, Akara terkekeh dan berkata."Itu lebih baik daripada menjadi seorang pengancam. Dasar sampah!"Blarr!! Hentakan energi yang begitu besar muncul dari Sung Ki, membuat mereka harus melompat menjauh. Saking besarnya, bahkan menggetarkan bangunan dan menjatuhkan barang-barang yang ada di rak. Aura Ranah Gambuh, dengan 6 bola energi yang berputar di belakang pundaknya.Beberapa penjaga langsung melesat mendekati dan berusaha menenangkannya."Tuan muda, ini masih di dalam paviliun, jangan memicu amarah ketua paviliun!"Mendengar perkataannya, energi yang meluap-luap di tubuh Sung Ki berangsur-angsur mengecil. Setelah sepenuhnya padam, ia malah terkekeh."Hmph! Hanya ranah Sinom, besar sekali lagakmu. Sekarang jelas siapa yang sampah di sini!" ucapnya bertepatan dengan kembalinya resepsionis tadi dengan segenap tanaman obat.Akara tidak menanggapi si kembar dan mengambil pesanannya."Apakah ada
Di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh pernak pernik artefak, ada dua buah sofa yang berhadapan dengan sebuah meja di tengah-tengahnya. Akara dan Zimo duduk santai dengan saling berhadapan."Sudah bertemu kenalannya?" "Kalau sudah, aku tidak akan keluar mencarimu," jawabnya sambil tertawa kecil.Brakk… Pintu terbuka dengan paksa, namun tidak mengejutkan dua orang itu seperti mereka sudah tau hal ini akan terjadi. Muncullah seorang pria berumur 40 tahunan dengan si kembar di sampingnya. Hidung mereka masih memerah dengan plester yang menempel. Seperti yang Akara katakan di jauh-jauh hari, tulang hidung tidak bisa langsung sembuh dengan pil. Itulah mengapa ia memilih pukulan penghancur hidung untuk memberi pelajaran."Itu ayah! Bocah itu yang memukul kami!" teriak Sung Ka sambil menunjuk ke arah Akara.Pria itu langsung menyorot Akara dengan tatapan garang dan geram, bahkan bibir dengan kumis tipisnya sampai berkedut. "Kau!?" Ia me
Sebuah kanal air membentang melintasi tengah kota dengan perahu wisata dan jalan di kedua sisinya. Tepat di pinggiran kanal, seorang gadis meniti tembok pembatas. Pakaiannya yang seperti selendang sutra, merumbai tertiup angin saat ia berjalan. Tangannya membentang, menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh. Di sampingnya ada seorang pemuda berjaket hitam yang berjalan sambil terus melihatnya."Mau ke mana?" ucap pemuda itu.Gadis itu lalu menoleh sambil tersenyum sebelum menjawabnya. "Tuan muda Akara terlihat baru pertama kali ke ibukota, jadi saya ingin berterima kasih tentang ramuan tadi dengan mengajak tuan muda berkeliling." Karena tidak memperhatikan jalan, gadis itu limbung hingga akhirnya terpeleset ke arah jalan. Untung saja Akara dengan sigap meraihnya, mendekap tubuhnya hingga wajah mereka berdekatan dan saling pandang. Tanpa sadar gadis itu terus menatapnya, bahkan tidak mengedipkan matanya samasekali."Siapa namamu?" Akara yang masih
Alhamdulillah selesai Season 1! Terima kasih buat yang sudah mendukung Author, semoga terhibur dengan imajinasi saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan author, baik penulisan kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca ataupun yang lainnya. Para pendukung semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya, jadi dapat terus mengikuti perkembangan author dan Akara. Author akan hiatus dulu dan akan mulai kembali bulan depan, semoga diberikan kelancaran untuk semuanya. Oh iya, Author sarankan untuk membaca ulang Arc 1 (bab1-52) percayalah, ada rencana bagus yang Author siapkan untuk Akara. ******* Penguasa Dewa Naga Season 2 Takdir merenggut semua orang terkasihnya, membuat kekuatannya lepas kendali dan menciptakan lubang hitam. Dirinya terhisap ke dalam lubang hitam, lalu muncul kembali di dunia yang dipenuhi oleh api dan kekerasan. Neraka? Seperti itulah gambaran dunia ini. Dengan ingatan yang masih membekas, Akara mencari cara untuk keluar dari dunia itu. Menggunakan nama samaran
Pemuda dengan pakaian compang camping penuh luka bakar dan menenteng sepasang pedang kayu hitam, muncul di atas sebuah sungai, di belakangnya ada gua di bawah air terjun yang sudah hancur. Ia lalu melihat ke arah hilir sungai, pemukiman di pinggir bantaran sungai sudah hancur berantakan, dengan pepohonan raksasa yang ambruk dari hutan di belakangnya. Selain tubuh manusia yang berserakan, juga banyak binatang sihir raksasa yang kondisinya tidak jauh berbeda. "Tuan Agera!" teriak seseorang yang wajah dan tubuhnya penuh bekas luka, namun kali ini banyak sekali tambahan luka di tubuhnya. Ia tertatih-tatih mendekat, lalu melesat terbang mendekati pemuda itu. "Marbun Bidara! Kekaisaran Gletser Abadi!"Akara langsung menoleh ke samping, kesadarannya langsung mendeteksi ribuan mil di depan sana. Wush!... Dalam sekejap, ia sudah berada di atas gletser kutub, meninggalkan robekan ruang yang gelap di udara, seakan menggaris langit sejauh ribuan mil. Gleng!... Ia melompat turun, membuat cekung
447Walau tubuhnya masih penuh luka bakar yang mulai mengering, ia mengangkat satu tangannya ke atas. Wush!... Ketiga Auranya menyala, membuat hembusan energi dan seketika energi meluap keluar dari tubuhnya, membentuk aliran energi yang bergerak ke atas. Enegi itu membentuk lingkaran energi besar yang memiliki pola rumit layaknya di atas altar teleportasi. "Kau ingin kabur!?" Sonic Boom terbentuk di belakang Rose, sambil mengulurkan satu tangan ke depan dan segera diselimuti oleh energi merah berbentuk cakar. Akan tetapi, lingkaran teleportasi sudah sepenuhnya menyala dan Whup!... Para master Alkemis menghilang, namun ternyata Akara masih berada di sana. Cring!... Ia menangkis cakar rubah menggunakan pedang kayunya sambil tersenyum menyeringai."Sudah aku bilang, aku akan membunuhmu!"Wush!... Rose melesat menjauh bagaikan bayangan, namun Akara langsung berada di depannya. Mereka melesat hingga luka bakar di tubuh keduanya terlepas sendiri-sendiri. Akara terus mengincar lehernya, mem
Laser menembus energi pelindung dan langsung menerpa tubuhnya, cukup lama laser bersinar hingga akhirnya padam. Gelombang radiasi panas masih memenuhi angkasa lepas, lalu ada bongkahan batu yang menyala merah. Krek!... Batu itu retak dan tidak lama kemudian hancur, muncullah pemuda berjaket hitam di dalamnya. Walau tubuhnya diselimuti oleh Esensi Surgawi, namun pakaian dan tubuhnya penuh luka bakar. "Apa aku bilang!" seru Komo, namun tuannya masih terlihat santai dan meraih kedua pedangnya kembali. Akan tetapi.."Agkh!" Ia langsung memegangi dadanya dan tatapannya begitu tajam melihat ke arah gadis rubah di depannya. "Ada apa Akara!?"Ia menjawabnya sambil menahan emosi dan giginya mengatup karena sangat geram. "Kubah pelindung di kota Bhinneka telah hancur, bahkan yang menyelimuti Gua Pelindung Harapan juga hancur!"Rose lalu tertawa puas, seolah-olah dia dapat mendengar apa yang Akara katakan. "Apa kau merasakannya!? Pasukanku telah menemukan keberadaan kekasih fanamu! Para gadism
335Di angkasa lepas yang gelap dan dihiasi cahaya bintang. Bruak!... Rose kembali tertahan oleh dinding transparan dan Akara langsung berada di depannya, memukul hidungnya dengan sekuat tenaga. Dinding transparan langsung hancur dan gadis itu terlempar ke belakang. Akara ingin membuat dinding transparan lagi, namun segera ada energi kematian yang menyelimuti tubuh Rose. Gadis itu tidak lagi menabrak dinding transparan dan menembusnya. Akan tetapi, Akara tetap muncul di depannya dengan mengayunkan pedangnya. Tring tring!... Benturan pedang dan cakar rubah menciptakan percikan api, lalu mereka saling menyerang sambil terus melesat. Bugh!... Rose menendang perut Akara hingga terlempar mundur, namun pemuda itu langsung berteleport di belakangnya. Crang!... Ia mengayunkan pedangnya, ditahan oleh selendang, namun tetap membuat meluncur jauh. Ia kembali berteleport dan menendang punggungnya, hingga melenting sebelum terlempar. Gadis itu terlempar menuju planet di dekatnya, terbakar saat mem
Kubah pelindung arena bergetar hebat, membuat semua orang menoleh, termasuk para penyandera dan yang di sandera. Pria bertopeng kucing oranye sempat melirik leher penyandera, namun getaran itu tidak berlangsung lama. ...Di dalam arena, bongkahan batu tadi sudah menyala merah layaknya bara api. Sedangkan Rose diselimuti oleh selendangnya yang perlahan-lahan membuka. Ia terkekeh saat melihat sekitarnya dipenuhi asap bekas terbakar. "Kau bodoh! Membakar seluruh tempat hanya akan membunuh dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi oksigen untukmu ber..." Ia terdiam saat bongkahan batu yang melayang-layang tersibak, nampaklah pemuda berjaket hitam yang melebarkan kedua tangannya ke samping. Di ujung telapak tangannya, ada sebuah benda seperti kelereng yang bercahaya sangat terang, dengan ketiga auranya yang menyala. Aliran energi sangat lebar layaknya selendang sutra merahnya, bergerak masuk ke dalam kedua titik bercahaya. "Sudah kubilang, aku akan membunuhmu!" Akara menyeringai, namun se
333Mengetahui kekasihnya disandera, puluhan bor spiral terbentuk dan langsung melesat, meliuk-liuk menghindari selendang merah yang hendak menangkisnya. Akan tetapi, ada energi kematian yang langsung membuat bor spiral melebur. Benar-benar lenyap di udara tanpa menyisakan sebutir debupun. Ia langsung berhenti, melihat Lina yang pergi bersama pasukan yang mengepungnya, memasuki portal dan menghilang. "Lihatlah! Apalagi yang bisa kau miliki!? Sang Peri Salju telah pergi, putri Kaisar Atla telah dikepung, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi!?" Wush tring tring tring tring!... Akara melesat dengan tatapan tajam ke arahnya. Walau banyak selendang yang menghadang, namun ia tebas begitu mudahnya. Karena terus mendekat, energi kematian seperti asap hitam kehijauan keluar dari tubuh Rose. Persis seperti seekor gurita yang menyemprotkan tintanya. Akan tetapi, ada angin yang berputar, menembus kepulan energi kematian. Ia melesat dan sudah siap posisi Cakaran Naga Hitam, membuat gadis itu terb
Kedua peserta sudah berada di atas arena, mereka masih terlihat begitu tenang, walau gong tanda mulainya pertandingan sudah berbunyi. "Apa yang kau lakukan? Cepat menyerah!" Komo yang tidak sabar langsung melompat dan bertengger di pundaknya."Iya iya!" Akara ingin mengangkat tangannya, namun gadis yang menjadi lawannya berbicara. "Kau mirip dengan ayahmu!"Akara langsung menarik kembali tangannya dan menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Kau kenal ayahku?"Rose langsung tertawa lepas, lalu berjalan mendekat sambil berkata. "Tidak hanya kenal!" Ia mengangkat satu tangannya. "Dengan tangan ini aku membunuhnya!" Akara langsung terbelalak dan mengepal erat, namun masih berusaha menahan emosinya. "Apa maksudmu!?"Gadis itu kembali tertawa puas dan terdengar menakutkan, lalu berkata dengan ritme cepat. "Kau tau bagaimana ekspresi ibumu si Rani yang marah meluap-luap? Kau tau bagaimana ekspresi Violet yang dingin dan menak
Akara berjalan di sebuah lorong sambil menggandeng tangan kekasihnya. Di lorong yang sepi, namun terdengar suara riuh dari penonton dari sebuah tribun di atas mereka. Saat itulah mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah dan bercadar. Langkahnya begitu tenang dan mantap saat melewati lorong, ditemani oleh seorang pemuda berpakaian rapi. Akara langsung mengenali pemuda itu, sang wakil komandan pasukan Bintang, Baester. Ia langsung mempercepat langkahnya dan mendekat, lalu melebarkan tangan kanannya ke samping, menyentuh dinding lorong dan menghalangi jalan mereka.Melihat nonanya dihadang, Baester langsung menghardiknya. "Akara, apa yang kau lakukan!?"Akara lalu menatapnya dan berkata dengan tenang. "Pergilah!" Ia langsung membuat pemuda itu tehentak, lalu gadis bercadar berkata tanpa menoleh. "Pergilah terlebih dahulu!""Baik nona!" Ia langsung melesat pergi, sedangkan Akara langsung tersenyum lebar dan berkata."Kenapa memak