Sejak tadi Rey sudah merasa ada yang janggal dengan sikap Angela."Aku sudah menemukan lelaki impianku, dan itu adalah dirimu, Kak Charlie.""Apa kamu sudah tidak waras Angela, aku kakakmu!" "Iya kamu memang kakakku. Kakak yang akan menjagaku seumur hidupku, kakak yang bertanggung jawab atas diriku. Bukan begitu Kak Charlie.""Tentu saja aku akan menjagamu, sebagai seorang Kakak." Urat wajah Rey mengendur setelah tadi menegang saat manangkap maksud yang lain dari kata-kata Angela."Kakak sekaligus seorang suami, aku ingin kita menikah secepatnya."Rey ternganga baru saja dia merasa bersalah karena menyangka yang tidak-tidak tentang Angela. Namun kata-kata Angela barusan nyatanya menguatkan perkiraannya, jika Angela memang tidak waras."Ada apa denganmu. Kamu benar-benar tidak waras, kita saudara tidak mungkin menikah.""Tidak mungkin bagaimana, kamu bukan kakak kandungku, kita lahir dari rahim yang berbeda," tukas Angela dengan mimik heran."Ja-jadi kita bukan saudara? Artinya merek
Rey berada di salah satu kamar hotel di Bali. Dengan penampilan yang berbeda, jambang dan kumis tipis menghiasi wajahnya dia sedang menyamar menjadi seorang kolega bisnis Hengky yang akan meeting dengannya. Tidak lagi muncul sebagai Devin.Rey mulai menemukan titik terang. Sengaja muncul sebagai orang lain karena dia menganalisa jika Hengky sedang dalam pengawasan, bila Hengky adalah sahabat ayahnya pasti berada dipihaknya. Rey yakin Hengky sengaja memberikan bukti itu dan Hengky tentunya tahu jika bukti itu sudah tidak berada lagi dalam brangkasnya. Padahal dia sendiri tahu konsekuensinya, dengan adanya bukti itu dia akan mendekam dalam penjara. Sama saja dengan menggali kubur untuk dirinya sendiri. Tentunya ada sesuatu hal yang luar biasa sehingga seseorang berniat memenjarakan dirinya sendiri. Dari hal itu Rey dapat menyimpulkan jika Hengky dalam tekanan dan sedang diawasi. Bel pintunya berbunyi, Rey yakin jika Hengky yang datang, dia segera membuka pintunya.Begitu Hengky masuk
"Mas yakin jika mereka benar telah tiada?" tanya Lara mengharapkan ada kemungkinan yang lain.Rey berdiri menuju meja rias lalu menarik kursi kecil membawa dan mendudukinya di depan istrinya yang masih terduduk di tepi ranjang. Dia tidak langsung duduk di samping istrinya karena dari perjalanan jauh yang tentu tubuhnya masih kotor."Mas udah mengecek dan memastikan jika mereka memang orang tua Mas. Kedua orang yang kamu duga adalah ayah dan ibuku di foto itu, memang mereka orang tua Mas.""Ya Tuhan, jadi mereka telah tiada?" Rey mengangguk."Mereka tewas di hari yang sama," suara Rey pelan hampir tak terdengar.Mata Lara membulat."Mereka kecelakaan?" Rey menggeleng."Kemungkinan mereka di bunuh.""A-apa Mas! Dibunuh?!"Mata indah Lara melotot tak percaya."Iya.""Ya Tuhan." Lara menutup mulut dengan kedua tangannya. Hatinya meringis, ada yang tersayat di dalam sana.Pantas suaminya begitu bersedih. Wajahnya semakin kusut dan kuyu, Lara turut sedih melihat hal itu, Rey yang selalu te
Rey menatap Lara yang masih tertidur lelap, wajahnya begitu damai. Sejak tadi Rey sudah bangun, namun enggan beranjak, masih subuh memang. Dengan menopang kepalanya sambil berbaring miring, menikmati wajah istrinya yang tak terusik sama sekali. Padahal sejak tadi Rey sudah mencium dan mengganggunya namun tak terusik sama sekali."Capek sekali ya, sayang?" Rey memijit bahu hingga punggung istrinya.Senyum tersungging di sudut bibirnya, mengingat tingkah Lara semalam. Berusaha mendominasi permainan mereka, walaupun belum mahir dan agak kaku tapi tetap mengesankan bagi Rey."Makasi sayang, kamu berusaha menghibur Mas, secinta itu kamu sama Mas sampai paksakan dirimu tapi jujur Mas sangat menyukainya. Kamu begitu menggoda dan menggairahkan semalam." Rey menempelkan mulutnya di telinga Lara sambil berbisik, mendaratkan kecupan kecil di sana.Hal itu membuat Lara terbangun namun tetap mempertahankan posisinya, pura-pura tidur.Rey kembali ke posisi semula dengan menopang kepala sambil be
Rey menghentikan motor di depan kantor Lara. Membantu melepas helm yang dikenakannya lalu merapikan rambut Lara menyisir dengan jemarinya."Jangan pulang sebelum Mas jemput," tutur Rey dengan nada lembut.Lara mengangguk. "Iya Mas, hati-hati." Lara masih berdiri menanti suaminya berlalu.Rey bergeming menatap ke arahnya. Alis Lara terangkat, sambil mengoreksi penampilannya dari dada turun ke bawah."Ada yang salah Mas." tanya Lara heran karena tidak menemukan ada yang salah dengan dirinya."Mendekatlah, ada sesuatu di pipimu." Dengan kening tertaut Lara maju ke arah suaminya sambil meraba-raba pipi.Hatinya bertanya-tanya ketika Rey hanya mengelus-elus pipinya, belum sempat melontar kata dia dikejutkan dengan aksi Rey yang mendekapnya lalu mendaratkan ciuman di bibirnya."Mas!" pekik Lara tertahan, kaget dengan tingkah konyol Rey. Celingukan ke sana ke mari, memastikan tidak ada yang melihat mereka, masih sepi."Ini tempat umum Mas, kita bisa digerebek karna berbuat tak senonoh," s
Rey menggerakkan letak spionnya memperhatikan motor di belakang mereka. Dia mulai menyadari jika sejak tadi mereka dibuntuti. Menarik tangan istrinya agar mengetatkan pegangan di pinggangnya."Peluk erat sayang," ujar Rey."Kenapa Mas?" tanya Lara ketika tidak mendengar perkataan suaminya dengan jelas karena terpaan angin yang kencang."Mas bilang peluk Mas lebih erat, Dek," ulang Rey sambil memalingkan muka sebentar ke arah Lara agar terdengar jelas.Lara mengetatkan tangannya melingkar di pinggang Rey sambil menyenderkan kepalanya.Rey memperhatikan kembali ke arah spion lalu mulai tancap gas dengan berzig-zag di antara kendaraan lainnya yang melaju."Mas, jangan ngebut, bahaya lho," teriak Lara seketika semakin mengeratkan pelukannya. Merasa laju motor sudah jauh di atas batas normal.Sebelah tangan Rey mengelus tangan Lara, menenangkan. Dia sengaja melakukan itu untuk memastikan perkiraannya benar atau tidak. Kembali melirik spionnya.Mereka berhenti tepat di depan sebuah cafe."M
Rey mengikuti motor sang penguntit, yang berhenti tak jauh di sebuah taman yang telah disinggahi oleh Alex dan Lara. Mereka sengaja mengecoh penguntit itu dengan menghabiskan senja di taman.Lama orang itu memantau mereka hingga kemudian motornya melaju meninggalkan tempat itu. [Pulanglah, jangan keasyikan pacaran sama istri orang.] Rey menekan tombol kirim ke nomor Alex.Dari kejauhan dapat dilihatnya Alex yang langsung berdiri, berbicara sebentar lalu menggandeng Lara menuju motor.[Woy, tangannya dilepas, orangnya udah nggak ada. Jangan manfaatkan kesempatan, brengsek!] Rey uring-uringan melihat kemesraan yang ditunjukkan Alex.Alex terpingkal membaca pesan Rey, sambil mengedarkan pandangan mencari sosok sahabatnya itu.[Jangan menguntit orang pacaran, kurang kerjaan?] balas Alex membuat Rey geram.[Berani macam-macam dengan istriku nanti lihat aja!][Selagi ada kesempatan kenapa nggak, lagian hanya akting bro, nonton aja nggak usah baper, Iri ya?]Kedongkolan Rey sudah mencapai
Begitu pulang dinas Rey langsung menuju ke apartemen Alex. Sudah dua hari dia tak dapat menemui Istrinya, selain kuatir pengintai itu masih mengawasi juga karena kesibukannya di Markas.Sejak tadi dia telah menunggu kepulangan mereka namun belum juga muncul. Dengan tak sabar Rey menelpon nomor sahabatnya itu, tidak diangkat-angkat kesabarannya telah menipis. Dia berdiri memakai kembali baju lorengnya yang dilepas karena kegerahan, bukan karena suhu dari luar tapi suhu dari dalam tubuhnya yang panas. Panas karena membayangkan istrinya sedang berduaan dengan sahabatnya. Rey telah berusaha untuk menepis rasa cemburunya, namun ternyata hatinya tidak sinkron dengan otaknya. Sehingga walaupun dia berusaha untuk memakai logikanya, hatinya tetap menyimpan rasa cemburu. Dia mengayun langkah hendak meraih tuas tapi terdengar bunyi di balik pintu itu dengan cepat Rey duduk kembali, berpura-pura santai.Lara dan Alex masuk, lalu kembali menutup pintunya. Mereka belum menyadari kehadiran Rey. Al
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru