Sudah hampir sore. Tapi, belum ada tanda-tanda kalo Mas Ardi akan segera pulang ke rumah. Sebisa mungkin aku berusaha mengalihkan perhatian dengan cara menonton televisi atau bahkan membaca buku. Namun, itu sama sekali tidak membantu.
Sebenarnya ke mana Mas Ardi pergi. Apa aku terlalu memikirkannya sampai merasa takut seperti ini. Sambil sesekali menarik napas berat, aku terus mondar-mandir di ruang makan. Hingga, tatapanku jatuh pada piring bekas makan Mas Ardi yang belum sempat aku bereskan.
"Mbak!" panggilnya dengan suara nyaring.
"Ada apa, Sandi dan kapan kamu datang?" jawabku dari arah dapur.
Perlahan, suara langkah terdengar semakin mendekat. Sandi menghampiriku dengan membawa sebuah plastik berwarna hitam.
"Ini ada bakso, buat Mbak Rena. Barusan, apa Mbak tidak mendengarnya?" Sandi segera menyimpan plastik tersebut di atas meja. Seketika aroma bakso langsung memenuhi indra penciuman.
Aku menggeleng pelan, lalu duduk di kursi meja makan. "Tidak dan terima kasih, San. Tapi, lain kali kamu usah repot-repot juga."
Sandi mengangguk, wajahnya terlihat memerah seperti menahan amarah. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Tapi, seingatku Sandi jarang sekali seperti itu, kecuali saat dia benar-benar marah.
Dengan cepat, dia segera mengambil segelas air putih dan meneguknya sampai habis. Lalu, entah apa yang dia pikirkan, hingga gelas yang ada dalam genggamannya jatuh begitu saja hingga pecah berserakan.
"Sandi! Apa yang kau lakukan, minggir!" Aku segera mendorong tubuh adikku itu hingga dia mundur beberapa langkah. Dengan cepat, aku segera membereskan pecahan gelas tersebut. Hingga tiba-tiba jari telunjukku tergores dengan cukup dalam.
Seketika tubuhku langsung menegang saat darah segar menetes membasahi lantai dan kenapa tiba-tiba kepalaku langsung memikirkan Mas Ardi.
"Mbak! Ke-kenapa terluka?"
Kuperhatikan lagi Sandi yang ada di belakangku, wajahnya terlihat panik. Tanpa aba-aba, dia segera berlari dan membawa sebuah kotak obat.
Dia menarik tanganku yang terluka dan mengobatinya dengan telaten. "Lain kali, Mbak harus berhati-hati lagi. Sudah, Mbak istirahat saja. Biar aku yang bereskan," tambahnya lagi, sebelum akhirnya membersikan pecahan kaca dan darah yang ada di sampingku.
Namun, aku masih tidak beranjak dari tempatku saat ini. Sampai suara mobil yang cukup familiar terdengar.
"Rena ... Rena!" panggil Mas Ardi dengan cukup keras dan perlahan memudar. Lalu, beberapa detik kemudian dia sudah berada di ujung pintu dan menghampiriku yang sedang duduk di lantai dengan wajah datar. "Astaga! Sandi, apa yang terjadi?"
"Terkena serpihan kaca."
Dahiku langsung mengkerut saat mendengar jawaban Sandi. Kenapa dia terkesan begitu dingin pada Mas Ardi, padahal biasanya tidak seperti itu.
Mas Ardi berdecak, dia segera menghampiriku. Namun, saat tubuh kami berdekatan, aku mencium sesuatu yang membuat tubuhku menegang.
Bau parfum perempuan dan jelas-jelas itu bukan parfum milikku.
Saat dia hendak menjauh, dengan sengaja kutarik bajunya hingga kami kembali berdekatan. Dengan dalih ingin dipeluknya, hidungku mulai menelusuri wangi parfum tersebut dan benar saja, ini adalah wangi yang berbeda.
Aku mulai terpejam, sambil menggigit bibir bawah kuat-kuat. Pikiran liar langsung terlintas begitu saja. Sebenarnya apa yang telah Mas Ardi lakukan, kenapa rasanya sungguh menyesakkan.
"Ayo ke kamar, kamu harus istirahat."
Aku hanya mengangguk pelan, tanpa menjawab ucapannya. Sebisa mungkin aku berusaha menghilangkan pikiran buruk, walaupun pada nyatanya hatiku tidak bisa berbohong. Aku masih curiga pada Mas Ardi, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku.
Sesampainya di kamar, Mas Ardi segera melepas jaket dan menyimpannya di keranjang cucian. Hingga detik berikutnya, dia mulai menghampiriku dan mengecup puncak kepala dengan lembut.
Lagi-lagi saat kami berdekatan, wangi itu kembali tercium dan itu berasal dari kaos dalamnya, membuatku merasa sangat jijik.
Dulu, aku memang suka saat berdekatan dengannya. Tapi, entah kenapa sekarang rasanya begitu berbeda. Bukannya senang, aku malah merasakan sakit yang begitu menyesakan dada.
"Sayang, aku tidak ingin kau bekerja terlalu lelah. Jadi, aku sengaja menyewa seorang asisten rumah tangga, apa kamu tidak keberatan?"
Segera aku mendorong tubuhnya dan berkata, "tidak usah, Mas. Lagipula aku bisa mengurusnya sendiri."
"Sudahlah! Kau tidak usah menolak, Rena."
Apa aku tidak salah dengar, kenapa nada bicara Mas Ardi begitu kesal sekarang dan kenapa dia begitu ingin memiliki asisten rumah tangga, padahal dulu dia menolaknya dengan keras. Alasannya hanya karena tidak mau ada orang asing di rumah ini. Lalu, sekarang kenapa dia begitu menginginkannya.
Masih dengan raut wajah kesalnya, dia pergi meninggalkanku sendirian. Sepertinya aku harus membuktikan sesuatu.
Setelah memastikan Mas Ardi benar-benar menjauh, aku segera mengambil parfum kami dan menyemprotkannya pada jaket yang baru saja dia pakai.
Aku mulai mengendusnya secara bergantian dan benar saja, wanginya jelas-jelas sangat berbeda. Lalu, parfum siapa yang Mas Ardi pakai? Apa dia benar-benar telah bermain di belakangku.
Seketika aku langsung terdiam, tubuhku langsung lemas ketika membayangkannya, air mata jatuh begitu saja membasahi pipi.
Tidak! Aku tidak boleh lemah, aku harus membuktikan kecurigaanku ini. Jika hal itu benar, aku benar-benar tidak akan memaafkannya seumur hidupku.
Segera kukembalikan jaket itu dan parfum pada tempatnya. Kali ini pandanganku jatuh pada ponsel Mas Ardi yang sepertinya lupa dia bawa.
Tapi, saat aku hendak mengambilnya, pintu terbuka menampilkan Mas Ardi yang tengah menatapku dan untungnya ada sebuah novel yang tergelak di samping ponsel, sehingga aku bisa berpura-pura mengambilnya.
"Ada apa, Mas?" tanyaku sambil tersenyum, padahal sebenarnya aku mulai merasa jijik jika membayangkan laki-laki itu benar berselingkuh dibelakangku.
"Tidak!" jawabnya singkat, kemudian menyambar ponsel dengan cepat, sebelum akhirnya pergi kembali.
Aku yakin, sepertinya Mas Ardi pasti menyembunyikan sesuatu di dalam ponselnya. Buktinya dia begitu terobsesi, hingga tidak bisa lepas begitu saja.
Aku kembali terdiam cukup lama, hingga tiba-tiba perutku berbunyi dengan nyaring, sepertinya sudah saatnya untuk diisi kembali. Namun, saat aku melewati kamar tamu, secara tidak sengaja menangkap suara seseorang yang sedang berbicara.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Mas Ardi sedang berbicara dengan seseorang melalui Vidio call. Tapi, aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa, karena memakai earphone.
Mas Ardi tersenyum lebar, hingga sebuah kecupan diakhir telepon membuat hatiku memanas. Aku tidak habis pikir dengan apa yang dia lakukan.
Lagipula tidak mungkin Mas Ardi berbicara dengan rekan kerjanya sampai seperti itu. Tapi, bisa jadi itu memang rekan kerjanya. Namun, bukan rekan di kantor, melainkan di ranjang.
"Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanyanya dengan raut wajah panik. Tentu saja panik, dia pasti takut aku mengetahui perbuatanya barusan. Tapi, sayangnya aku sudah tahu.
"Baru saja keluar. Mas, aku ijin beli ketoprak dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku segera masuk kamar dan mengambil kunci mobil miliknya. "Aku pergi dulu, Mas."
Tanpa menoleh sedikitpun, aku langsung bergegas masuk ke mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Rasanya hatiku benar-benar hancur jika membayangkan kejadian beberapa menit yang lalu.Aku bahkan seakan-akan tidak mengenal dirinya. Walaupun perselingkuhannya belum terbukti dengan pasti. Tapi, aku yakin, kalo dia benar-benar bermain di belakangku, karena firasat seorang istri tidak pernah salah. Sebisa mungkin, aku harus membuktikan semuanya. Aku tidak ingin, jika harus hidup dalam sebuah kebohongan.Sontak, aku segera menghentikan laju kendaraan saat secara tidak sengaja menyenggol ponsel hingga terjatuh. Dalam keadaan sedikit gelap, kuambil ponsel yang berada tidak jauh dari kakiku berpijak.Namun, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah benda yang tergeletak dekat kursi penumpang. Segera kuambil benda tersebut dan menatapnya dengan lekat.Seketika hatiku kembali memanas, bagaimana bi
Tepat saat aku akan mengirimkan foto itu pada ponselku, Mas Ardi menggeliat. Membuatku secara spontan langsung menyimpan ponsel ke samping tubuhnya.Dengan mata yang sedikit terbuka, dia mengambil ponsel miliknya dan menyimpannya ke atas meja. Aku berharap, semoga perbuatan barusan tidak diketahui olehnya.Setelah memastikan dia kembali tertidur, aku beranjak dari ranjang dan segera bergegas keluar kamar. Hari ini benar-benar berat bagiku.Saat di sini aku merindukan dan menunggunya selama hampir dua bulan lamanya. Dia malah datang dan membalas semuanya dengan rasa sakit yang begitu menyesakan.Mas Ardi, perlahan Tuhan mulai membuka kedokmu yang sebenarnya. Satu demi satu perbuatan busukmu mulai aku ketahui. Tunggulah Sayang, suatu saat kau akan mendapatkan balasan yang setimpal.Sambil menikmati kopi hitam yang ada di hadapanku saat ini, aku mulai memikirkan wa
Hampir sepanjang perjalanan aku memikirkan hal tersebut, sambil sesekali melirik Icha yang sedang sibuk dengan ponselnya. Bahkan, sesekali dia bercanda gurau dengan Mas Ardi, membuatku semakin curiga saja.Apa benar, jika Icha adalah wanita selingkuhan Mas Ardi. Tapi, jika hal itu sampai terjadi, sungguh dia wanita tidak tahu diri.Selama ini, aku sudah cukup baik padanya. Bahkan, sering sekali aku menghiburnya yang sedang sedih karena harus berjauhan dengan suaminya atau membantunya yang sedang kerepotan mengurus anaknya yang masih kecil.Kupijit pelipisan yang rasanya sangat sakit, banyak sekali kemungkinan diantara mereka berdua. Sepertinya aku harus cepat-cepat membuktikan semuanya."Kenapa, Sayang?" tanya Mas Ardi dengan cepat. Tangannya sengaja menyentuh pundakku yang hanya berbalut jas berwarna hitam.Aku menggeleng pelan, kemudian tersenyum ke arah
[Mbak, barusan saya melihat mobil pak Ardi sudah keluar komplek.]Aku langsung tersenyum kecut dan kembali memasukan ponsel ke dalam tas. Mas Ardi sudah benar-benar gila sepertinya.Hatiku sangat panas, rasanya sangat sulit untuk mengendalikan emosi. Jika saja Mas Ardi dan selingkuhannya ada tepat di depan mataku kali ini, habis mereka.Bahkan, karena saking kesalnya, aku sampai tidak sadar jika roti yang ada dalam genggamanku sudah hancur bersamaan dengan bungkusnya yang sudah tidak karuan."Mbak, kenapa?" tanya Sandi tiba-tiba membuatku sedikit terlonjak.Aku yang baru sadar dengan perbuatan barusan, segera memasukan roti ke dalam kantong plastik dan menatapnya dengan sedikit ragu."Ti-tidak!""Baiklah," jawab Sandi singkat, pandangannya tetap berfokus pada jalanan.Setidaknya aku bersyukur, Sandi tidak
Segera kurebut ponsel dari tangan Sandi dan menyimpannya ke atas meja. "Sudah, itu bukan hal penting," ucapku sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku.Rasanya tenggorokanku sangat kering setelah melihat foto tadi. Dengan cekatan, tanganku segera menuangkan segelas air putih dan menenguknya sampai habis.Tiba-tiba aku kembali terpikir dengan ucapan satpam komplek, dugaanku Mas Ardi sering sekali pulang ke rumah. Tapi, kenapa aku baru menyadarinya sekarangSungguh, kau sangat bodoh, Rena!Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju kamar utama, di mana aku dan Mas Ardi tidur. Segera kuperiksa berbagai sudut, berharap dapat menemukan sesuatu. Tapi, nihil aku tidak menemukan apapun."Sandi, kapan temanmu bisa memang CCTV di rumah Mbak?" tanyaku dari tangga dengan nada dingin dan tangan terlipat di dada.Sandi tidak menjawab ucapanku, dia malah langsung me
"Ponsel kamu kenapa?" tanya Mas Ardi dari ujung pintu kamar mandi, saat melihat ponselku yang retak tergelak di atas meja.Kulihat Mas Ardi mendekat, dia meraih ponsel milikku dan menyalakannya. Alisnya sedikit terangkat, sebelum akhirnya menatapku lekat."Kapan kamu berganti lockscreen, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu baru teringat jika aku telah menggantinya kemarin. Lagipula, untuk apa terus memasang fotonya, itu hanya akan menambah rasa sakitku saja."Kemarin, Mas. Aku salah pencet, terus malah keganti gitu."Mas Ardi tidak menjawab ucapanku, dia malah asyik mengotak-atik ponsel milikku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, padahal aku juga jarang sekali membuka ponselnya yang menyimpan banyak rahasia itu.Andai saja aku bersikap seperti itu, mungkin dia akan marah dan merebut ponselnya dengan kasar. Cih! Apaan sekali, bukannya itu sangat tidak a
Tidak ada yang lebih nikmat, selain meminum kopi di pagi hari ditemani rintik hujan yang membasahi bumi. Semesta sepertinya tahu perasaanku saat ini yang sedang dirundung rasa sakit yang tidak berujung.Semenjak kejadian semalam, aku tidak tidak ingin sekali melihat Mas Ardi dan untungnya, dia tidak kembali ke kamar sejak terakhir kali pergi. Aku tidak tahu dia pergi ke mana, entah menemui jalang tersebut atau apa, aku tidak peduli."Sayang, kenapa kamu tidak membangunkan Mas?" tanya Mas Ardi dari belakangku. Dari suaranya aku tahu, kalo dia baru bangun tidur.Kutarik napas kasar dan menghembuskannya secara perlahan saat secara tiba-tiba dia berjalan ke arahku dan duduk tepat didepanku."Mas, perlu banyak istirahat. Sepertinya kemarin malam sangat kelelahan," jawabku tanpa tarikan napas sekalipun. Sengaja aku memandang sembarang arah, cukup malas rasanya menatap mata yang suka sekali meli
Sesampainya di parkiran kantor, aku langsung dikejutkan oleh ponsel yang bergetar hebat. Sesaat kemudian, satu ujung bibirku tertarik ke atas saat melihat siapa penelpon tersebut.Sambil mendengus, segera kumasukkan ponsel ke dalam tas dan kembali melangkah dengan anggun, menimbulkan suara yang cukup keras, saat sepatu heels dan lantai beton saling bertemu.Baru saja hendak memasuki lift, lagi-lagi ponselku kembali berdering. Siapa lagi kalo bukan Mas Ardi, sepertinya dia ingin menanyakan kenapa wanita sialan itu tiba-tiba dipecat dari jabatannya.Ah, bukannya itu pantas dia dapatkan. Biarkan saja wanita itu turun jabatan, kalo bisa aku pecat saja sekalian. Tapi, sepertinya aku tidak akan melakukan hal tersebut secara tiba-tiba, kecuali jika dia melakukan hal gila.Tepat saat lift terbuka, kulihat Sandi sedang berdiri sambil menatapku dengan alis terangkat sebelah, seperti bingung melihat
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap.Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika."Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya."Ada apa?"Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja."Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan.Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti.Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang.Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya.Kurang ajar!
"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan.Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah."Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya."Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan."Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya."Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand