Segera kurebut ponsel dari tangan Sandi dan menyimpannya ke atas meja. "Sudah, itu bukan hal penting," ucapku sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku.
Rasanya tenggorokanku sangat kering setelah melihat foto tadi. Dengan cekatan, tanganku segera menuangkan segelas air putih dan menenguknya sampai habis.
Tiba-tiba aku kembali terpikir dengan ucapan satpam komplek, dugaanku Mas Ardi sering sekali pulang ke rumah. Tapi, kenapa aku baru menyadarinya sekarang
Sungguh, kau sangat bodoh, Rena!
Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju kamar utama, di mana aku dan Mas Ardi tidur. Segera kuperiksa berbagai sudut, berharap dapat menemukan sesuatu. Tapi, nihil aku tidak menemukan apapun.
"Sandi, kapan temanmu bisa memang CCTV di rumah Mbak?" tanyaku dari tangga dengan nada dingin dan tangan terlipat di dada.
Sandi tidak menjawab ucapanku, dia malah langsung mengambil ponsel dan menelpon seseorang. Setelah obrolan singkat mereka, Sandi terlihat mematikan sambungan telepon dan menatapku.
"Hari ini bisa katanya."
"Baiklah, katakan pada temanmu untuk segera memasangkannya sekarang."
"Sudah aku katakan." Sandi segera bangkit dan mengambil kunci mobilnya yang tergelatak di atas meja. "Aku pulang dulu, Mbak."
Aku mengangguk pelan, kemudian mengantar Sandi sampai depan rumah. Sebelum pergi, Sandi sempat melambaikan tangannya padaku, lalu mobil yang dia tumpangi menjauh secara perlahan.
Perlahan aku kembali masuk ke rumah dan menatap ruangan besar yang ada di hadapanku kali ini. Kepalaku menunduk dalam, sepi rasanya.
Bagiku rumah sebesar apapun tidak akan terasa indah, bila di dalamnya tidak terdapat sebuah tawa anak kecil dan mungkin itulah yang aku rasakan. Semenjak menikah, aku ingin sekali memiliki seorang anak, berbagai cara telah aku lakukan. Tapi, Tuhan belum memberi kepercayaan itu padaku.
Apa memang suamiku berselingkuh karena aku belum bisa memiliki keturunan. Jika itu benar terjadi, sungguh kejam Mas Ardi. Bukannya berusaha dan berdoa, dia malah melampiaskan semuanya pada wanita lain.
Tanpa sadar, hatiku kembali memanas disertai dengan rasa sakit yang teramat dalam. Pantas saja dia dekat dengan Icha, toh wanita itu sudah memiliki seorang putri yang cantik.
"Permisi!" teriak seseorang dari arah pintu. Dengan malas aku mulai melangkah dan membuka pintu dengan pelan.
"Ada keperluan apa?" tanyaku pada dua orang laki-laki yang berumur dua tahun lebih muda dariku.
"Apa benar ini rumah Mbak Rena? Kami adalah temannya Sandi."
Aku langsung mengangguk sambil ber 'oh' ria ketika mendengar ucapannya. Setelah itu, aku langsung mempersilahkan mereka masuk dan mulai memasang CCTV di berbagai tempat.
Sebenarnya aku begitu takut, jika Mas Ardi tiba-tiba datang dan memergoki aksiku. Sungguh, aku merasa sangat tidak tenang. Tapi, untungnya aku bisa kembali bernapas dengan lega, setelah salah satu teman Sandi berkata, jika semuanya sudah selesai.
"Total semuanya berapa?" tanyaku sambil merogoh dompet dari saku celana dan mengeluarkan beberapa uang berwarna merah.
"Tidak usah. Sandi sudah membayarnya kami tadi. Permisi!"
Aku langsung mengangguk sambil menatap kepergian mereka. Akhir-akhir ini sikapnya membuatku sedikit bingung.
Saat aku hendak berbalik, tiba-tiba bel kembali berbunyi. Kali ini siapa lagi, tidak mungkin itu Mas Ardi, biasanya dia akan langsung masuk begitu saja.
"Ya, ada keperluan apa?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku hampir terlonjak, saat melihat dua orang wanita tengah tersenyum ke arahku sambil menenteng tas.
"Kami Wati dan Ijah, asisten rumah tangga yang akan bekerja di sini."
"Silahkan masuk."
Setelah itu, aku langsung mengantar mereka pergi ke kamar untuk membereskan barang-barang, baru sehabis itu langsung memulai pekerjaan.
Aku baru ingat dengan unggahan Mas Ardi tadi, sepertinya aku harus menyelidikinya. Segera kuambil ponsel yang berada di atas meja dan mulai mencari akun sosial media milik Mas Ardi.
Memang tidak ada yang aneh, semua fotonya sama. Tapi, tiba-tiba aku tergerak untuk melihat siapa saja orang yang menyukai unggahan tersebut, hingga pandanganku tertuju pada sebuah akun.
Dengan cepat, aku segera mengklik akun tersebut, hingga akhirnya terlihat dengan jelas puluhan foto yang sedikit tidak jelas.
Seketika aku langsung menyipitkan mata saat melihat sebuah unggahan baru-baru ini. Kuperhatikan foto tersebut dengan seksama, hingga secara tidak sengaja ekor mataku jatuh pada sebuah watermark yang terdapat diujung foto. Segera kuperbesar foto tersebut, hingga sebuah deretan tanggal terlihat dengan jelas.
Seketika wajahku langsung memerah sambil mengatupkan bibir. Mas Ardi benar-benar brengsek. Jadi, selama ini dia memiliki sebuah akun palsu khusus untuk mengunggah kebersamaannya dengan wanita selingkuhannya.
Bukan tanpa alasan kenapa aku menuduhnya seperti itu. Tetapi, foto diakhir postingannya yang membuatku yakin kalo itu memanglah dia. Di mana foto tersebut memposting sebuah gambar jam tangan berinisial nama Mas Ardi.
"B*doh sekali!" ketusku sambil tersenyum miring.
Aku mulai menggerakkan jari ke bawah layar, hingga deretan foto kembali terlihat. Sungguh menyedihkan diriku ini. Jadi, selama dua bulan itu dia tidak hanya bekerja, melainkan menyempatkan diri untuk berlibur bersama wanita selingkuhannya. Sementara aku dengan sabarnya menunggu kedatangannya di sini.
Kuklik salah satu foto yang menurutku cukup jelas. Di mana seorang wanita sedang memeluk lengan laki-laki yang ada di sebelahnya.
Lagi-lagi aku tersenyum miring saat melihat leher wanita tersebut, di mana sebuah tanda lahir terlihat. Dapat kusimpulkan, itu adalah wanita yang sama dengan yang ada di ponsel Mas Ardi.
"Jahat kamu, Mas!" raungku sambil mencengkram ponsel dengan sangat kuat.
Bagaimanapun itu rasanya memang menyakitkan. Sekuat apapun aku bertahan dan bersabar, hatiku tetap tidak bisa berbohong. Aku adalah seorang istri dan wanita, hatiku tetaplah mudah terluka.
"Mas, kau sungguh seorang penghianat!"
Kulempar ponsel yang ada dalam genggamanku hingga terpental cukup jauh. Aku tidak peduli bagaimana bentuknya. Namun, yang jelas hatiku sangat sakit sekarang, bagaikan ada sebuah pisau yang menunduk dengan sangat dalam, kemudian ditariknya secara perlahan.
Sudah jelas semuanya, bukti yang aku miliki semakin kuat. Hanya tinggal mengungkap satu hal lagi saja. Yaitu, siapa sebenarnya wanita hina yang berani berselingkuh dengan suamiku.
Tidak akan aku maafkan mereka. Sungguh, laki-laki dan wanita kotor seperti itu tidak layak untuk hidup. Awas saja Mas, akan aku balas semuanya.
***
Benar saja, ketika waktu sudah menunjukan pukul 12 malam Mas Ardi baru pulang. Dengan keadaan sedikit gelap, aku melihat Mas Ardi sedikit mengendap-endap ketika memasuki rumah.
"Baru pulang?" tanyaku dengan nada tinggi. Baru ketika aku menekan saklar lampu, raut wajahnya terlihat sangat kaget.
"Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?"
Mas Ardi segera mendekat dan memelukku dengan erat. Kuamati wajahnya yang sedikit berkeringat, hingga tiba-tiba wangi parfum itu kembali tercium.
Kuraih wajahnya dan mulai mengelus rahangnya yang sangat halus. Membayangkan wanita lain melakukan hal ini padanya sungguh sangat menjijikan.
Sambil menatapnya tajam, aku mulai tersenyum nakal dan meraba tubuhnya yang masih berbalut kemeja. Aku yakin, naluri laki-lakinya pasti akan bangun ketika mendapatkan sentuhan dariku.
"Sayang, apa kau menginginkannya hm?"
"Mas," godaku lagi. Tapi, ketika dia hendak memulai aksinya, aku langsung berkata, "kamu pulang sama siapa malam ini?"
Mas Ardi sempat terdiam sejenak, tangannya seakan berhenti di udara. Dia menatapku lekat, sebelum akhirnya berlalu meninggalkanku yang tengah mematung sambil tersenyum miring.
"Hanya bersama Icha, memangnya kenapa?"
"Tidak, hanya ingin tahu saja."
Aku kembali mendekatinya dan memeluk pinggangnya dengan cukup erat.
"Memangnya Icha harus selalu pulang bersamamu, Mas?"
Mas Ardi terlihat sangat kaget, hingga beberapa detik kemudian wajahnya kembali normal. Tetapi, dia masih tidak berani menatap mataku. Mungkin, takut belangnya katauan olehku.
"Harus, Sayang," jawabnya singkat. Lalu, memasuki kamar dan menguncinya dengan cukup kasar. Terlihat jelas kalo dia sedang kesal padaku. "Mas lelah, jangan banyak bertanya."
"Baik, suamiku sayang," ucapku penuh penekanan di setiap kalimat.
***
"Ponsel kamu kenapa?" tanya Mas Ardi dari ujung pintu kamar mandi, saat melihat ponselku yang retak tergelak di atas meja.Kulihat Mas Ardi mendekat, dia meraih ponsel milikku dan menyalakannya. Alisnya sedikit terangkat, sebelum akhirnya menatapku lekat."Kapan kamu berganti lockscreen, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu baru teringat jika aku telah menggantinya kemarin. Lagipula, untuk apa terus memasang fotonya, itu hanya akan menambah rasa sakitku saja."Kemarin, Mas. Aku salah pencet, terus malah keganti gitu."Mas Ardi tidak menjawab ucapanku, dia malah asyik mengotak-atik ponsel milikku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, padahal aku juga jarang sekali membuka ponselnya yang menyimpan banyak rahasia itu.Andai saja aku bersikap seperti itu, mungkin dia akan marah dan merebut ponselnya dengan kasar. Cih! Apaan sekali, bukannya itu sangat tidak a
Tidak ada yang lebih nikmat, selain meminum kopi di pagi hari ditemani rintik hujan yang membasahi bumi. Semesta sepertinya tahu perasaanku saat ini yang sedang dirundung rasa sakit yang tidak berujung.Semenjak kejadian semalam, aku tidak tidak ingin sekali melihat Mas Ardi dan untungnya, dia tidak kembali ke kamar sejak terakhir kali pergi. Aku tidak tahu dia pergi ke mana, entah menemui jalang tersebut atau apa, aku tidak peduli."Sayang, kenapa kamu tidak membangunkan Mas?" tanya Mas Ardi dari belakangku. Dari suaranya aku tahu, kalo dia baru bangun tidur.Kutarik napas kasar dan menghembuskannya secara perlahan saat secara tiba-tiba dia berjalan ke arahku dan duduk tepat didepanku."Mas, perlu banyak istirahat. Sepertinya kemarin malam sangat kelelahan," jawabku tanpa tarikan napas sekalipun. Sengaja aku memandang sembarang arah, cukup malas rasanya menatap mata yang suka sekali meli
Sesampainya di parkiran kantor, aku langsung dikejutkan oleh ponsel yang bergetar hebat. Sesaat kemudian, satu ujung bibirku tertarik ke atas saat melihat siapa penelpon tersebut.Sambil mendengus, segera kumasukkan ponsel ke dalam tas dan kembali melangkah dengan anggun, menimbulkan suara yang cukup keras, saat sepatu heels dan lantai beton saling bertemu.Baru saja hendak memasuki lift, lagi-lagi ponselku kembali berdering. Siapa lagi kalo bukan Mas Ardi, sepertinya dia ingin menanyakan kenapa wanita sialan itu tiba-tiba dipecat dari jabatannya.Ah, bukannya itu pantas dia dapatkan. Biarkan saja wanita itu turun jabatan, kalo bisa aku pecat saja sekalian. Tapi, sepertinya aku tidak akan melakukan hal tersebut secara tiba-tiba, kecuali jika dia melakukan hal gila.Tepat saat lift terbuka, kulihat Sandi sedang berdiri sambil menatapku dengan alis terangkat sebelah, seperti bingung melihat
Tepat di hadapanku, dua orang tengah terduduk lesu sambil meremas jari tangan masing-masing. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Namun, yang pasti aku tidak peduli dengan hal itu.Sudah hampir satu jam setelah kejadian memalukan itu terjadi. Tapi, aku masih saja bungkam, begitu pun dengan mereka. Segera kuhembuskan napas dengan kasar saat melihat leher Icha yang terdapat beberapa bercak merah serta tanda lahir yang selama ini aku cari.Ternyata memang benar, jika wanita j*lang yang ada dalam foto suamiku itu memanglah Icha, tetanggaku yang tidak tahu diri."Ini yang mau kalian lakukan sekarang? Membisu sepanjang hari?" tanyaku dengan nada dingin. Tetapi, kedua orang itu masih saja terdiam, membuat darahku semakin bergejolak."Jawab!" teriakku sambil menggebrak meja dengan cukup keras, membuat Mas Ardi dan Icha tersentak.Dengan dada yang masih naik turun, k
"Aku juga mencintai Icha, Rena."Bak disambar petir di siang bolong, ucapan Mas Ardi berhasil membuat diriku hancur hanya dalam hitungan detik. Jadi, selama ini dia tidak mencintaiku dan hanya berpura-pura saja. Sungguh, br*ngs*k sekali laki-laki itu."Tapi, aku juga mencintaimu," tambahnya yang berhasil membuat aku semakin memanas. Mas Ardi sungguh keterlaluan, dia benar-benar tidak puas hanya dengan satu wanita.Belum sempat aku membalas ucapannya, telepon kembali berdering. Sambil menahan rasa sakit, aku segera meraihnya hingga sebuah suara terdengar."Saya sudah menghubungi Rudi dan dia secepatnya akan segera pulang.""Bagus, segera hubungi saya kembali jika Rudi sudah sampai ke Indonesia."Segera kumatikan sambungan telepon dan menatap dua orang yang ada di hadapanku saat ini. Aku tidak peduli tentang kehidupan mereka selanjutnya, karena yang pasti
Dahiku sedikit mengkerut saat mendengar ucapan Sandi yang sama sekali tidak aku mengerti. Lagipula untuk apa dia meminta maaf, bukannya dia sudah banyak membantuku selama ini.Sambil tersenyum tipis, segera kusingkirkan tangannya yang berada di bahuku dan berkata, "jangan meminta maaf, harusnya Mbak berterima kasih padamu karena sudah ada.""Jadi, Mbak sudah tahu apa yang aku katakan?" tanya Sandi dengan cepat, membuatku langsung berputar dan kembali menatap manik matanya."Ya, mungkin kamu akan meminta maaf karena telah membuat keributan di kantor," jawabku dengan sepenuh hati, karena memang itulah yang aku pikirkan.Sandi tertunduk, hingga beberapa saat kemudian menggeleng pelan. Tentu saja hal itu membuat aku semakin kebingungan."Sebenarnya ... aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Ardi. Hanya saja, aku tidak ingin mengatakan semuanya pada Mbak. Aku--"
Belum sempat aku benar-benar menjauh dari hadapan Mas Ardi, tiba-tiba sebuah teriakan yang cukup mengagetkan menggema di seisi ruangan. Hingga akhirnya, terdengar sebuah suara pukulan yang cukup keras.Saat aku berbalik, terlihat Mas Ardi sudah tergelatak di dekat sopa. Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berada, Sandi terlihat mengepalkan tangan dengan dada naik turun dan rahang mengeras.Dengan gerakan cepat, segera kuhampiri Sandi dan menariknya dengan cukup kasar. Tapi, sayang tubuhnya tidak bergerak sama sekali, tatapannya masih berfokus pada Mas Ardi yang sedang menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.Sandi kembali melangkah dan siap melayangkan pukulannya ke wajah Mas Ardi. Tapi, dengan sigap aku segera berteriak."Stop!"Mas Ardi maupun Sandi sama-sama menoleh ke arahku. Dengan wajah memerah dan melotot sempurna, Sandi
Waktu terus berlalu, hingga tidak terasa sudah dua hari semenjak kejadian itu menimpaku. Bohong jika aku berkata, kalau rasa sakitku sudah berkurang. Karena pada nyatanya hal itu masih tetap sama.Walaupun merasa ada yang sedikit berbeda, aku tetap harus kembali menjalani kehidupan dengan lebih baik.Saat hendak pergi menuju balkon sambil membawa segelas teh hangat. Indra pendengaranku menangkap sebuah suara yang berasal dari kamar Sandi."Rudi sudah sampai? Baguslah. Bilang padanya untuk menemuiku di sebuah cafe yang sering aku datangi hari ini." Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Sandi sedang berbicara melalui sambungan telepon."Ya, benar. Pukul 12 siang saja."Tidak beberapa lama kemudian Sandi mematikan sambungan telepon dan menyimpan benda persegi itu di atas ranjang.Ketika Sandi hendak
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap.Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika."Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya."Ada apa?"Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja."Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan.Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti.Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang.Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya.Kurang ajar!
"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan.Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah."Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya."Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan."Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya."Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand