Tepat di hadapanku, dua orang tengah terduduk lesu sambil meremas jari tangan masing-masing. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Namun, yang pasti aku tidak peduli dengan hal itu.
Sudah hampir satu jam setelah kejadian memalukan itu terjadi. Tapi, aku masih saja bungkam, begitu pun dengan mereka. Segera kuhembuskan napas dengan kasar saat melihat leher Icha yang terdapat beberapa bercak merah serta tanda lahir yang selama ini aku cari.
Ternyata memang benar, jika wanita j*lang yang ada dalam foto suamiku itu memanglah Icha, tetanggaku yang tidak tahu diri.
"Ini yang mau kalian lakukan sekarang? Membisu sepanjang hari?" tanyaku dengan nada dingin. Tetapi, kedua orang itu masih saja terdiam, membuat darahku semakin bergejolak.
"Jawab!" teriakku sambil menggebrak meja dengan cukup keras, membuat Mas Ardi dan Icha tersentak.
Dengan dada yang masih naik turun, k
"Aku juga mencintai Icha, Rena."Bak disambar petir di siang bolong, ucapan Mas Ardi berhasil membuat diriku hancur hanya dalam hitungan detik. Jadi, selama ini dia tidak mencintaiku dan hanya berpura-pura saja. Sungguh, br*ngs*k sekali laki-laki itu."Tapi, aku juga mencintaimu," tambahnya yang berhasil membuat aku semakin memanas. Mas Ardi sungguh keterlaluan, dia benar-benar tidak puas hanya dengan satu wanita.Belum sempat aku membalas ucapannya, telepon kembali berdering. Sambil menahan rasa sakit, aku segera meraihnya hingga sebuah suara terdengar."Saya sudah menghubungi Rudi dan dia secepatnya akan segera pulang.""Bagus, segera hubungi saya kembali jika Rudi sudah sampai ke Indonesia."Segera kumatikan sambungan telepon dan menatap dua orang yang ada di hadapanku saat ini. Aku tidak peduli tentang kehidupan mereka selanjutnya, karena yang pasti
Dahiku sedikit mengkerut saat mendengar ucapan Sandi yang sama sekali tidak aku mengerti. Lagipula untuk apa dia meminta maaf, bukannya dia sudah banyak membantuku selama ini.Sambil tersenyum tipis, segera kusingkirkan tangannya yang berada di bahuku dan berkata, "jangan meminta maaf, harusnya Mbak berterima kasih padamu karena sudah ada.""Jadi, Mbak sudah tahu apa yang aku katakan?" tanya Sandi dengan cepat, membuatku langsung berputar dan kembali menatap manik matanya."Ya, mungkin kamu akan meminta maaf karena telah membuat keributan di kantor," jawabku dengan sepenuh hati, karena memang itulah yang aku pikirkan.Sandi tertunduk, hingga beberapa saat kemudian menggeleng pelan. Tentu saja hal itu membuat aku semakin kebingungan."Sebenarnya ... aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Ardi. Hanya saja, aku tidak ingin mengatakan semuanya pada Mbak. Aku--"
Belum sempat aku benar-benar menjauh dari hadapan Mas Ardi, tiba-tiba sebuah teriakan yang cukup mengagetkan menggema di seisi ruangan. Hingga akhirnya, terdengar sebuah suara pukulan yang cukup keras.Saat aku berbalik, terlihat Mas Ardi sudah tergelatak di dekat sopa. Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berada, Sandi terlihat mengepalkan tangan dengan dada naik turun dan rahang mengeras.Dengan gerakan cepat, segera kuhampiri Sandi dan menariknya dengan cukup kasar. Tapi, sayang tubuhnya tidak bergerak sama sekali, tatapannya masih berfokus pada Mas Ardi yang sedang menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.Sandi kembali melangkah dan siap melayangkan pukulannya ke wajah Mas Ardi. Tapi, dengan sigap aku segera berteriak."Stop!"Mas Ardi maupun Sandi sama-sama menoleh ke arahku. Dengan wajah memerah dan melotot sempurna, Sandi
Waktu terus berlalu, hingga tidak terasa sudah dua hari semenjak kejadian itu menimpaku. Bohong jika aku berkata, kalau rasa sakitku sudah berkurang. Karena pada nyatanya hal itu masih tetap sama.Walaupun merasa ada yang sedikit berbeda, aku tetap harus kembali menjalani kehidupan dengan lebih baik.Saat hendak pergi menuju balkon sambil membawa segelas teh hangat. Indra pendengaranku menangkap sebuah suara yang berasal dari kamar Sandi."Rudi sudah sampai? Baguslah. Bilang padanya untuk menemuiku di sebuah cafe yang sering aku datangi hari ini." Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Sandi sedang berbicara melalui sambungan telepon."Ya, benar. Pukul 12 siang saja."Tidak beberapa lama kemudian Sandi mematikan sambungan telepon dan menyimpan benda persegi itu di atas ranjang.Ketika Sandi hendak
"Ma-Mas Rudi, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Icha terbata-bata, sementara di sampingnya terlihat Mas Ardi sedang menunduk dalam sambil berusaha merapikan bajunya yang sedikit berantakan.Beberapa hari yang lalu, aku memang menangis, tetapi tidak untuk sekarang. Aku bahagia, karena dapat terlepas dari seorang laki-laki bejad bernama Ardi.Tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang ada di sekitar. Kuhampiri Icha dan menarik dagunya dengan cukup kasar, hingga wanita itu meringis kesakitan.Plak ...Satu tamparan berhasil mendarat dengan mulus di pipi sebelah kanannya. "Itu untuk pengkhianatan yang telah kamu lakukan padaku, Icha." Hingga tamparan yang kedua kembali terdengar. "Dan itu untuk balasan yang telah kamu lakukan padaku tempo hari," geramku dengan nada tinggi.Dari sudut mataku, terlihat Mas Ardi hendak menghampiri. Tapi, dengan sigap aku segera menghentikan
"A-ayah, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyaku pada seorang pria paruh baya bertubuh tegap dengan kaca mata hitam yang menghiasi wajahnya. Sengaja tubuhnya bersandar pada mobil yang terparkir di depan rumah Sandi.Pria yang kupanggil ayah itu menoleh ke arahku dan Sandi, sebelum akhirnya menurunkan kacamata, hingga akhirnya manik mata kami saling bertemu satu sama lain."Bukannya Ayah sudah bilang, akan menemuimu hari ini," jawabnya dengan nada santai, tapi terkesan dingin."Kalian habis dari mana?" tambahnya."Kami ... dari luar," jawab Sandi dengan entengnya.Tanpa sepatah kata apapun Ayah langsung berbalik dan melangkah menuju sebuah kursi kayu berada di samping rumah. Ditariknya kursi tersebut ke belakang, sebelum akhirnya duduk di atasnya.Setelah menyuruh Sandi untuk menemani Ayah, aku langsung berlari kecil menuju dapur untuk mengambil minuman.
"Rena, tolong jangan ceraikan aku," lirih Ardi, lalu pandangannya beralih pada Ayah ketika aku tidak meresponnya. "Ayah, saya minta maaf, in--""Pergi!" murka Ayah dengan mata melotot, jari tangannya menunjuk Ardi. Terlihat pula urat dahinya yang sedikit menegang.Selama aku hidup, tidak pernah melihat ayah semurka ini. Biasanya dia hanya menegur. Tetapi, permasalah ini memang cukup besar, pantas saja beliau memperlihatkan sisi lainnya."Ayah, maafkan kesalahan saya. Saya menyesal.""Pergi! Kamu tidak ada hubungannya lagi dengan keluarga kami.""Say--"Diluar dugaan, tiba-tiba suara seorang wanita langsung menghentikan ucapan Ardi. Terlihat Ardi sedikit terbelalak saat melihat kedatangan Icha dari dalam mobilnya.Ah, aku bahkan baru menyadari jika mobilnya terparkir di hadapan mobil Ayah. Tapi, tunggu! Itu bukan mobil Ardi, melainka
Dari kejauhan kulihat Icha keluar dari mobil dengan keadaan tidak karuan. Baju dan wajahnya basah, sehingga riasan yang dia kenakan sedikit berantakan, begitupun juga dengan rambutnya.Gundiknya Ardi benar-benar sangat cantik, bahkan mengalahkan kecantikan artis yang sering aku lihat dalam drama."Cepat, pergi! Kenapa masih berdiri di sana?" teriakku tidak sabar menyaksikan keduanya tersiksa.Icha mendelik sambil bertolak pinggang. Sementara di sisi lain Ardi juga keluar dengan menenteng sebuah tas berwarna pink. Laki-laki itu mau saja dijadikan babu oleh Icha. Maklum saja, cinta sudah membutakan segalanya."Mas! Kita pulang naik apa?" keluhnya dengan bibir tertarik kebawah, kakinya terus saja menghentak tanah."Taksi, apa susahnya," jawab Ardi dengan santai."Pake duit kamu!""Duit aku? Gak ada, semuanya udah dikasih ke kamu Icha.
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap.Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika."Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya."Ada apa?"Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja."Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan.Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti.Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang.Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya.Kurang ajar!
"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan.Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah."Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya."Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan."Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya."Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand