Raditya baru bangun dari tidurnya. Belum mandi, tapi dia keluar dari kamar mencari seseorang yang membuatnya tertidur sepanjang malam, ‘Dimana dia?’ tapi, dia tidak melihat Vanesha di bawah.“Selamat pagi Tuan, anda sudah bangun?” barulah Vanesha datang, membawa belanjaan ditangannya, bahan-bahan yang ingin dia masak.“Darimana kau?”“Saya pulang dulu untuk ganti baju, juga belanja untuk dimasak pagi ini. Maafkan saya karena tidak sempat memberitahu anda. Anda tidurnya nyenyak sekali, jadi saya tidak tega membangunkannya.”“Buatkan aku kopi.” Pintanya.“Baik Tuan. Mau saya antarkan ke kamar anda, atau-“Aku yang akan turun.”“Oke, Tuan.”Hanya melihat wajah Vanesha saja, sudah membuat Raditya senang. Padahal tadinya dia begitu ingin marah, tapi tiba-tiba kemarahannya menghilang.Ketika Raditya masuk ke kamarnya lagi, disitulah Vanesha melirik keatas, tempat dimana tadi majikannya mengamatinya, “Hhuuff…. Untung dia gak tahu aku ke mana saja tadi pagi.”Subuh-subuh, Vanesha menerima pes
“Nak, ada apa? Kenapa kau hanya diam saja?” ayahnya khawatir karena sejak tadi, Vanesha hanya diam tapi wajahnya tidak tenang. Rupanya, Vanesha teringat dengan pembicaraannya dengan Hendrik, mengenai asal-usul Raditya.“Ya Ayah? Ah.. gak apa-apa. Aku hanya duduk begini saja.” Barulah dia tersenyum agar ada ekspresi diwajahnya.“Apa pekerjaanmu semakin banyak? Apa kau jenuh?” ayah duduk juga di sofa bersama puterinya, Desi sudah berangkat sekolah.“Enggak kok Yah. Semuanya lancar. Hanya… ada yang membuatku tak habis pikir. Kenapa itu terjadi? Pantas saja kenapa dia memiliki sifat pemarah seperti itu.”Bayu bingung, siapa yang puterinya bicarakan, “Apakah… ini tentang tuan Raditya?” hingga dia memberanikan menduga siapa orangnya.“Tidak, lupakan saja, Yah. Aku hanya asal bicara saja. Ayah, aku pergi sebentar ya. Ada yang ingin aku cari.” Vanesha berdiri.“Baiklah, padahal Ayah mau kamu fokus istirahat di rumah dulu, tapi… ya sudah, kalau kau masih tetap sibuk.”“Maaf ya Yah. Mungkin kar
Dengan bantuan Ivan, akhirnya Vanesha tiba disalah satu ruangan yang tidak terlalu luas, memiliki jendela dengan jeruji besi agar tidak bisa kabur atau melompat keluar, dan satu ranjang lengkap dengan alat tidur.“Apa anda mau masuk ke dalam?”“Mm… sebenarnya, saya takut Pak.”“sepertinya hari ini, Ibu sulastri sedang dalam mood yang baik.”“Biasanya, seperti apa?”“Hm… biasanya dia akan mengamuk, marah-marah, kadang menyakiti pasien lain.”“Aduh…” baru mendengarnya saja, sudah membuat rasa keberaniannya berkurang.“Kalau… kalau saya masuk, apakah pak Ivan bisa menemani saja ke dalam?”“Ya, tentu. Sepertinya ada sangat pensaran sekali ya.” dokter Ivan membuka pintu yang juga diberi pembatas besi agar tidak bisa diterobos.Mendengar suara pintu, wanita tua yang namanya Sulastri, menengok kebelakang.“Ehh…. Ada Ivan.” Wanita yang sudah memiliki banyak uban itu, berdiri dari kursinya, padahal tadinya dia melihat pemandangan diluar dari jendelanya. Wanita itu berjalan mendekatinya, “Ivan…
Gantian. Selang satu minggu, giliran Surya yang datang mengunjungi mantan isterinya, Sulastri.“Seorang wanita datang ke sini, katamu?” tanya Surya, berdiri didepan jendela kaca tempat dimana Sulastri dirawat.“Benar, Pak. Tadinya, saya tidak ingin memberitahukannya, tapi karena anda curiga dan terus bertanya pada saya, jadi saya pun memberitahukannya pada anda, sekarang.”“Siapa wanita itu? Mungkin, aku mengenalnya.”“Dia… mmm… nona Vanesha.”“Vanesha?” Surya mengamati punggung isterinya.“Iya. Mungkin karena anda yang memberitahukan perihal nyonya Sulastri, sehingga dia sendiri datang untuk bertemu langsung.”“Tidak, aku tidak pernah membahasnya. Apa mungkin… Raditya?”“Sudah pasti tidak. Karena, dia bilang, ‘Jangan kasih tahu saya pada tuan Raditya dan pak Surya mengenai kedatangan saya ke sini.’ Begitulah yang nona itu katakan.”“Jadi… siapa yang membertitahukannya ya? Sudahlah. Apa semuanya baik-baik saja? Mengenai mantan isteriku, apa ada tanda-tanda dia akan sembuh?”Dokter Iva
“Hhooaamm…” Vanesha baru bangun dan keluar dari kamarnya.“Pagi Kak,” Desi menyapanya, sudah berpakaian seragam sekolah.“Pagi juga Desi.”“Kak, sarapan bareng yuk, kita kan sudah lama gak sarapan bersama. Kebetulan, aku sudah masak semuanya.”“Oke, sebentar Kakak cuci muka dan gosok gigi. Gak enak kalau jigongnya menempel.” Ketika dia ingin ke kamar mandi, kebetulan berpapasan dengan ayahnya, “Kamu sudah bangun, Vanesh?”“Pagi Yah. Iya.”Ayah sudah duduk dengan tenang menunggu Vanesha, dan sambil menunggu, Desi merapikan rambutnya dulu.“Kak, Yah, nanti siang, habis pulang sekolah, aku ada tambahan pelajaran, karena sebentar lagi mau ujian kelulusan sekolah.” Kata Desi.“Pulang jam berapa nantinya, Des?” tanya Ayah.“Mm, mungkin jam lima sore?”“Ya, gak apa-apa. Selama memang benar-benar buat sekolah. Tapi, kamu harus bawa bekal atau jangan lupa makan.” Ucap Vanesha memberi nasihat.“Iya Kak. Aku bawa bekal kok untuk nanti siang.”“Jangan sampai pulang malam. Kabari Ayah atau Kakak.”
Plak!Vanesha yang tersinggung, menampar Raditya dipinggir jalan.“Kau?! Berani sekali kau menamparku?” Radity memegang pipinya yang terasa pedas karena tamparan tersebut.“Itu karena anda bicaranya keterlaluan!”“Memangnya aku keterlaluan? Aku hanya tanya, apa kau juga melakukan-“Kalau anda mengulanginya lagi, maka saya akan menampar anda lagi!” ancam Vanesha.“Berani kau-“Cukup! Raditya, kau salah paham. Ayah memang kenal dengan Vanesha karena pernah bertemu beberapa kali.”“Apa? Pernah bertemu?” semakin marah, Raditya melihat sinis pada Vanesha, “Dan… apa kau menyebut dirimu, ‘Ayah’? Apa aku tidak salah dengar?”“Sebaiknya, mari kita bicara sebentar agar kau tidak menyalahkan Vanesha lagi.”“Persetan! Aku tidak perduli! Cepat ayo pergi!” Raditya menarik tangan Vanesha.“Tu-tunggu sebentar!” Vanesha menarik tangannya karena masih ingin berusaha membantu Surya. Juga, menurutnya, itu adalah kesempatannya agar ayah dan anak ini bisa bertemu dan berbicara.“Vanesh? Apa sekarang kau se
Selama Vanesha diperiksa dokter, Raditya dan Surya hanya menunggu dan menyimak pemeriksaan. Surya ingin bicara pada Radit, tapi Radity seolah tidak ingin diajak bicara oleh Surya saking bencinya dia pada ayahnya sendiri.‘Kenapa mereka berdua hanya diam saja dan malah memelototiku?’‘Ada apa dengan mereka berdua? Apa mereka saling kenal dengan pasienku ini?’“Kalian… kenapa tidak menunggu diluar saja?” tanya Vanesha, ‘Supaya kalian bisa mengobrol berdua tanpa membuat kau dan pak dokter kebingungan.’“Tidak perlu! Sebentar lagi kau juga sudah selesai diobati kan?” Raditya menolak.‘Dasar, orang ini memang sulit untuk diajak bicara baik-baik.’ Pikir Vanesha.“Raditya, Ayah memang ingin bicara denganmu-“Aku bilang kau bukan ‘Ayahku’! Berapa kali aku harus katakan itu padamu?!” teriakan Raditya membuat dua orang didalam ruangan dokter itu terkejut.“Raditya! Pelankan suaramu! Apa kau tidak tahu sedang berada di mana kita sekarang?” Surya juga sama, sama-sama keras.‘Kalian berdualah yang
“Baiklah.”Sedikit, Raditya memiringkan kepalanya ketika mendengar satu kata keluar dari mulut Surya. Tapi, dia masih belum paham sepenuhnya dengan makna kalimat itu.“Aku akan menyerahkan semuanya padamu.”“Apa?” barulah sepenuhnya Raditya membalikan badan, dengan ekspresi wajah yang tidak percaya dengan yang dia dengar.Surya mendekati puteranya, “Aku akan menyerahkan semuanya padamu, termasuk rumah yang aku tempati sekarang. Lagipula, untuk apa aku memiliki itu semua kalau aku tidak punya anak selain dirimu?”Kening Radit mengernyit memikirkan ucapan ayahnya.“Sejujurnya, sejak kau pergi, aku sengaja belum mencarimu karena aku pikir kau pasti akan kembali lagi. Tapi ternyata… selama bertahun-tahun, kau tidak pernah datang menemui ayahmu yang sudah tua ini.”“Dan Ayah… tidak memiliki anak darimana pun, termasuk ibu tirimu. Yah, Ayah tahu kau pasti masih sangat membencinya dan diriku. Jadi, apakah kau bisa memaafkanku dan memanggilku… ‘Ayah’?” pintanya berharap.‘Ayolah Tuan. Lembeka
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da