Gimana ini, guys? Akankah Emily dan Cayden selamat?
Setelah mengenakan masker scuba lagi, Seth membuka pintu kamar Cayden. Mendapati ranjang yang kosong, alisnya melengkung tinggi. Pandangannya pun menyapu sekeliling. Sekilas, ruangan itu tampak kosong. Namun, Seth tahu bahwa Cayden dan Emily tidak mungkin pergi. Berdasarkan laporan kesehatan Cayden yang ia curi, kaki musuhnya itu belum pulih. Dan berdasarkan kepribadian Emily yang ia pahami, gadis itu tidak mungkin meninggalkan kekasihnya sendiri. "Mereka pikir bisa lolos dariku?" Seth mendengus remeh. "Mereka bodoh sekali." Penjahat itu mulai mencari. Ia pastikan tidak ada orang di belakang pintu, lalu memeriksa ke balik sofa. Ia pikir Emily dan Cayden sedang meringkuk di situ. Namun ternyata, dugaannya salah. Seth pun beralih ke sebuah meja bundar di dekat jendela. Ukurannya cukup besar untuk dua orang bersembunyi di balik taplaknya. Namun, setelah kain putih itu disingkap, tidak ada apa-apa di sana. "Mereka tidak di sini?" Sambil tertawa lirih, Seth melirik lemari besa
Saat terbangun, Louis langsung memeriksa sekeliling. Ia sedang berada di sebuah kamar yang cukup luas. Orion dan para pengawal masih terlelap di kasur masing-masing. "Emily .... Di mana Emily?" pikirnya sembari bangkit. Kebetulan, Emily baru saja membuka pintu. Melihat saudara kembarnya duduk di atas kasur, matanya berbinar terang. "Louis!" Ia memeluk sang kakak. "Akhirnya, kau bangun. Aku sangat khawatir padamu. Kau baik-baik saja, kan?" Sambil mencengkeram kepala, Louis mengangguk. "Kurasa aku baik-baik saja. Kau bagaimana?" Emily berdiri di hadapan Louis dengan tangan terentang lebar. "Bagaimana menurutmu?" Sudut bibir Louis terangkat tipis. "Tampaknya rencana Cayden berjalan lancar. Kalian berhasil mengalahkan Seth?" Emily mengangguk cepat. "Rencana Cayden sangat brilian, Louis. Dia sangat hebat!" Dengan penuh antusias, Emily menceritakan bagaimana pengalamannya. Ia juga terdengar bangga saat menjelaskan tentang bagaimana ia mengendalikan drone untuk melumpuhk
Sejak mengantar Louis ke bandara, Emily tidak bisa berhenti tersenyum. Ia terus membayangkan betapa damai hidupnya tanpa pengawasan Louis. Ia tidak perlu takut untuk dekat dengan Cayden. Ia bisa menyuapinya makan dengan tenang. Ia juga bisa memijat kakinya tanpa ada yang melarang. "Emily, mau aku saja yang membawakan kopermu?" tanya Orion sembari memperhatikan apa yang diseret Emily. Ia selalu penasaran apa saja yang dibawa gadis itu. Padahal, ia dan para pengawal hanya butuh satu ransel untuk bepergian selama beberapa hari. Bahkan Louis hanya butuh tambahan satu tas jinjing. Untuk apa koper yang lebih besar dari karung beras 50 kg itu? "Orion, aku ini perempuan mandiri. Aku bisa membawa koperku sendiri. Lagi pula, ini tidak berat dan ada rodanya. Sama sekali tidak merepotkan." "Lalu, kau yakin mau menginap di rumah sakit? Kenapa tidak tinggal di hotel saja? Jaraknya dekat dari sini." "Orion, aku sudah berjanji untuk menemani dan merawat Cayden selama aku di sini. Sekar
Sepanjang jalan, Emily sibuk menyusun skenario untuk menyapa orang tua Cayden. Ia berusaha untuk tetap tenang. Tanpa ia sadari, lututnya tidak mau berhenti bergetar. "Tuan Putri, apakah kau baik-baik saja?" bisik Cayden. Emily terbelalak. "Hmm? Aku baik-baik saja." "Lalu, kenapa ...." Cayden memberi kode lewat gerak mata. Emily menelusuri arah pandangnya. Mendapati lututnya yang gemetar, ia cepat-cepat menekannya. "Oh, ini ...." "Dia pasti tegang," celetuk Orion dari jok depan. Bibit Emily seketika mengerucut. "Tidak. Aku tidak tegang. Aku sudah terbiasa bicara di depan banyak orang. Kenapa aku harus tegang?" Gadis itu mengibas rambut, tetapi geraknya terlalu kaku. Hati Orion jadi semakin tergelitik. "Di antara banyak orang itu, tidak ada calon mertuamu. Vibe-nya berbeda." Emily meringis kesal. Kalau saja Orion duduk di sebelah, ia pasti sudah mencubit lengannya. Sementara itu, Cayden menahan senyum. Ia gemas melihat pipi Emily yang memerah. "Kau tid
"Jadi, apakah Bibi sudah makan siang? Aku dan Mama baru saja selesai sarapan," tanya Summer dengan suara dan senyum manisnya. "Sudah. Waktu di sini lebih cepat dari L City, Summer." "Apakah Bibi sedang di hotel? Tapi itu tidak terlihat seperti hotel. Apakah Bibi menginap di rumah teman? Atau jangan-jangan, itu rumah Bibi sendiri? Bibi baru membelinya. Semuanya tampak baru di situ." Sky menyikut lengan sang putri lembut. "Sayang, jangan membuat Emily bingung. Tanyakan satu per satu. Nanti kepalanya jadi berat." Emily sontak tertawa lebih kencang. Namun, teringat akan satu hal, keceriaannya memudar. Sky memperhatikan itu. "Ada apa, Emily? Apakah kami salah bicara?" Emily menggeleng. Wajahnya tampak sendu sekarang. "Kau tahu? Aku sedang menginap di rumah Cayden." "Paman Cayden?" Mata Summer berbinar. "Di mana dia? Sudah lama aku tidak melihatnya. Apakah dia masih ingat padaku? Dia masih menyimpan kamera canggihnya, kan
Setibanya di depan pintu lift, Emily mematung. Mengapa Cayden mengajaknya ke lantai atas? Bukankah hanya ada kamar tuan rumah dan ruang kerja di sana? "Emily? Kenapa melamun? Ayo masuk," ujar Cayden. Ia ternyata sudah berada di dalam lift. Emily mengerjap. Sambil memalsukan tawa, ia berdiri di sisi Cayden. "Maaf. Aku terlalu takjub. Lift di kantorku bahkan tidak sebesar ini," ujarnya spontan. "Lift ini sebetulnya kami siapkan untuk Inston. Siapa sangka, malah aku yang menggunakannya sekarang." Wajah Emily seketika meredup. Ia tidak tahu omongan asalnya malah menebar sendu. "Kurasa, Inston akan senang saat dia melihat lift ini. Dia tahu betapa keluarganya sayang dan perhatian kepadanya." Cayden menaikkan alis. Ia tidak menduga Emily lebih memilih untuk membicarakan masa depan dibandingkan yang telah lewat. "Ya, kurasa juga begitu. Apalagi kalau tahu anggota keluarganya sudah bertambah. Dia pasti sangat senang bisa bangun dan kembali melihat dunia." Emily seketika memat
"Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?" bisik Cayden lagi. "Kenapa?" "Karena aku ingin kau mengenalku. Selama ini, aku selalu melihatmu dari jauh. Begitu kita bertemu, aku malah bersembunyi di balik nama Prince. Sekarang ...." Cayden meraih jemari Emily. "Inilah diriku. Aku ingin kau tahu. Aku tidak mau kau bingung dan ragu. Aku adalah bocah yang berjuang untuk menjadi keren supaya bisa bertemu lagi denganmu tanpa penyesalan atau rasa malu." Emily menggigit bibir. Air matanya bisa tumpah kalau ia tidak melakukan itu. "Kuakui aku memang sempat bingung. Tapi aku tidak pernah ragu, Cay," timpal Emily dengan suara yang agak serak. "Aku tahu, kau adalah bocah laki-laki yang selalu kutunggu. Seseorang yang kuyakini akan datang. Seseorang yang pasti menepati janjinya." Sambil menghirup napas dalam-dalam, Emily memperhatikan foto dirinya yang terselip di antara foto orang-orang terdekat Cayden, satu dari deretan bingkai yang merunutkan perkembangan hidup pria itu. "Sama sepertimu
"Duduklah, Tuan Putri. Nikmati karya instrumental paling romantis ini tanpa letih berdiri," tutur Cayden lembut. Sekarang Emily mengerti mengapa ia tidak duduk di tengah. Pria itu menyisakan ruang untuknya. Setelah Emily duduk di sampingnya, Cayden mulai terpejam. Ia mainkan setiap melodi dengan penuh rasa. Emily pun terhanyut dengan mata berkaca-kaca. "Kau tahu?" bisik Cayden menyatu dengan musik. "Liebestraume sebetulnya adalah lagu original. Dia punya lirik, tiga buah puisi yang menggambarkan tiga wujud dari cinta." Suara Cayden begitu lembut. Emily terpancing untuk menatap wajahnya. Meski matanya masih terpejam, ketampanannya tetap membius. Emily semakin serius meresapi kata-katanya. "Yang pertama adalah tentang mengagungkan cinta, sedangkan yang kedua tentang mendatangkan cinta." Cayden memberi jeda, menyesuaikan dengan ritme lagu. "Yang paling terkenal adalah yang sedang kumainkan ini. Liebestraume nomor tiga. Lagu ini tentang mendewasakan cinta, level cinta ter