"Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?" bisik Cayden lagi. "Kenapa?" "Karena aku ingin kau mengenalku. Selama ini, aku selalu melihatmu dari jauh. Begitu kita bertemu, aku malah bersembunyi di balik nama Prince. Sekarang ...." Cayden meraih jemari Emily. "Inilah diriku. Aku ingin kau tahu. Aku tidak mau kau bingung dan ragu. Aku adalah bocah yang berjuang untuk menjadi keren supaya bisa bertemu lagi denganmu tanpa penyesalan atau rasa malu." Emily menggigit bibir. Air matanya bisa tumpah kalau ia tidak melakukan itu. "Kuakui aku memang sempat bingung. Tapi aku tidak pernah ragu, Cay," timpal Emily dengan suara yang agak serak. "Aku tahu, kau adalah bocah laki-laki yang selalu kutunggu. Seseorang yang kuyakini akan datang. Seseorang yang pasti menepati janjinya." Sambil menghirup napas dalam-dalam, Emily memperhatikan foto dirinya yang terselip di antara foto orang-orang terdekat Cayden, satu dari deretan bingkai yang merunutkan perkembangan hidup pria itu. "Sama sepertimu
"Duduklah, Tuan Putri. Nikmati karya instrumental paling romantis ini tanpa letih berdiri," tutur Cayden lembut. Sekarang Emily mengerti mengapa ia tidak duduk di tengah. Pria itu menyisakan ruang untuknya. Setelah Emily duduk di sampingnya, Cayden mulai terpejam. Ia mainkan setiap melodi dengan penuh rasa. Emily pun terhanyut dengan mata berkaca-kaca. "Kau tahu?" bisik Cayden menyatu dengan musik. "Liebestraume sebetulnya adalah lagu original. Dia punya lirik, tiga buah puisi yang menggambarkan tiga wujud dari cinta." Suara Cayden begitu lembut. Emily terpancing untuk menatap wajahnya. Meski matanya masih terpejam, ketampanannya tetap membius. Emily semakin serius meresapi kata-katanya. "Yang pertama adalah tentang mengagungkan cinta, sedangkan yang kedua tentang mendatangkan cinta." Cayden memberi jeda, menyesuaikan dengan ritme lagu. "Yang paling terkenal adalah yang sedang kumainkan ini. Liebestraume nomor tiga. Lagu ini tentang mendewasakan cinta, level cinta ter
Saat jam makan malam tiba, Emily berusaha untuk bersikap biasa. Akan tetapi, kepalanya susah diangkat. Pandangannya pun terus menghindar dari Gabriella. Gabriella tahu bahwa gadis itu malu. Ia juga berusaha untuk menjaga sikap. Akan tetapi, perhatiannya terus melekat pada "calon menantunya" itu. Menurutnya, sikap Emily sangat manis. "Emily, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanyanya ketika kesempatan datang. Emily mendadak jadi lebih tegak. Matanya membulat, apalagi saat ia sadar bahwa Gabriella tersenyum misterius kepadanya. "Boleh, Nyonya." Wanita yang duduk berseberangan dengan Emily pun mencondongkan tubuh ke arah meja. "Apakah kau punya target umur untuk menikah?" Emily sontak mematung. Matanya berkedip-kedip mencari jawaban yang tepat. Yang lain diam-diam merasa lucu melihat ekspresinya. "S-saya ... tidak punya target semacam itu." Bibir Gabriella mengerucut. "Bagaimana kalau kamu mulai memikirkannya
"Kalau aku bisa memiliki anak perempuan, aku mau satu yang seperti dirimu. Yang baik, cantik, dan cerdas. Yang sopan dan juga berani." Emily terbelalak mendengar pujian tersebut. Ia merasa tersanjung, sekaligus malu. "Terima kasih, Nyonya Evans. Aku tidak tahu Anda menganggapku sehebat itu," tuturnya dengan kepala yang agak tertunduk. "Kau memang sehebat itu, Sweetheart. Kenapa kau terdengar ragu?" Emily mengintip dari sudut matanya. Senyumnya berubah kecut. "Akhir-akhir ini, aku banyak melakukan hal bodoh. Aku beberapa kali menempatkan Cayden dalam bahaya. Aku masih menyesalinya sampai sekarang. Aku juga merasa kalau aku belum berhasil menebusnya. Kebaikanku terhadap Cayden masih kurang." Tiba-tiba, Gabriella tertawa. Suaranya membuat Emily keheranan. "Kau lihat? Betapa manis dan baik hatinya dirimu. Kalau kau bukan gadis pilihan, kau pasti sudah meninggalkan Cayden. Apalagi, melihatnya duduk di kursi roda begitu. Kurasa gadis lain pasti akan kabur, tapi kamu," Gabriella
"C-Cayden? Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati? Untung kau jatuh menimpaku begini. Kalau tidak? Itu bisa bahaya," omel Emily, masih dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdebar terlalu hebat. "Perutmu tidak apa-apa, kan?" Tanpa terduga, Cayden malah tertawa. Ia elus rambut gadis di bawah kungkungannya itu, berbisik, "Aku tahu kau tidak akan membiarkan aku jatuh. Kau menangkapku dengan sigap. Apakah kau terluka?" Emily menggeleng terbatas. "Kau sebaiknya lebih berhati-hati kalau takut melukaiku. Untung saja di belakang kita ada kasur. Kalau tidak, kita sudah mendarat di lantai. Sekarang ayo bangun. Tidak baik kalau kita terlalu lama di sini. Orang lain bisa salah paham." Emily mendorong pundak Cayden. Akan tetapi, sang pria enggan bergeser. "Memangnya apa yang orang-orang pikirkan kalau melihat kita begini? Kita tidak melakukan apa-apa. Kau justru baru saja menyelamatkanku dari benturan." Cayden tersenyum usil. Telunjuknya bergerak lembut seolah ingin menghapus kerut
"C-Cayden?" bisik Emily setelah beberapa saat. Cayden masih memeluknya. Pria itu bergeming, enggan melepas. Sesekali, ia mengusap kepala Emily dengan pipinya. "Tolong jangan bergerak dulu, Emily. Tetaplah seperti ini. Satu menit saja. Satu menit," Cayden mendekapnya lebih erat. Merasakan ketulusan sang pria, Emily tersenyum kecil. Ia lingkarkan lengannya di pinggang Cayden. Matanya terpejam meresapi kedamaian. "Baiklah. Satu menit." Cayden pun mengajak Emily bersandar pada bantal. Emily spontan mengatur posisi agar lebih nyaman. Mereka berdua setengah berbaring sekarang. "Kau tahu? Aku sangat menyayangimu, Emily. Sangat-sangat menyayangimu," bisik Cayden sembari mengelus lengan sang gadis. "Ya, aku tahu." Cayden melirik tipis. "Dari mana kau tahu?" Emily mendongak sedikit. "Kau menjagaku dengan sangat baik." "Kau juga menjagaku dengan sangat baik. Apakah itu berarti kau juga menyayangiku?" Emily tersenyum simpul. "Aku memang menyayangimu, Cayden Evans." Lengkung bi
"Emily, kau yakin baik-baik saja?" tanya Cayden di depan pintu yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Emily menaikkan alis. Ia paksakan senyum di wajahnya, mengangguk tipis. "Aku baik-baik saja, Cay. Hanya sedikit tegang." "Kau tahu? Kau tidak perlu menemaniku berhadapan dengan Seth. Sampai di sini saja cukup. Kau boleh menunggu di kursi itu bersama Orion." Emily menggeleng. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu menemui penjahat itu seorang diri. Meskipun dia sudah tidak berdaya, hatinya pasti tetap jahat. Dia bisa melakukan apa saja." "Dua polisi ini akan menemaniku. Kau tidak perlu takut." "Tetap saja, aku mau menemanimu. Perlindungan yang mereka berikan berbeda dengan perlindungan dariku." Sementara Orion mendesah geli, Cayden tersenyum manis. "Kalau begitu, baiklah. Berdirilah di belakangku kalau kau takut." Emily memasang tampang cemberut. "Aku tidak sepenakut itu." Polisi pun membuka pintu. Cayden menggerakkan kursi rodanya masuk terlebih dulu. Emily dan Orion
"Kau tidak malu kepada Inston?" bisik Emily. Cayden menggeleng. "Aku justru ingin memanas-manasinya. Kalau dia juga mau mencium seorang gadis, dia harus cepat bangun." Emily terkekeh lirih. Raut wajahnya malu-malu. Namun, saat Cayden memagut bibirnya, ia menyambut. Sayangnya, baru dua kecupan mereka buat, Orion tiba-tiba masuk dengan raut kusut. "Orion?" Emily tersentak. Cepat-cepat ia turun dari meja yang entah sejak kapan didudukinya. "Tolong jangan salah paham lagi. Cayden hanya—" "Mari kita bahas itu nanti. Sekarang ada hal penting yang harus kau tangani," sela Orion dengan ekspresi serius. Mata Emily seketika menyipit. "Apakah Russell membuat masalah lagi?" "Bukan Russell tapi ...." Orion menyodorkan ponsel. Melihat judul artikel yang tertera, Emily bergeming. Matanya membulat, mulutnya ternganga tak percaya. "Siapa yang menerbitkan artikel semacam ini?" tanyanya dengan lengkung alis tinggi. Ia tidak mau membaca lebih lanjut. Baru beberapa kalimat saja, dadanya suda