Pixie kasih yang manis-manis niiih.
Saat jam makan malam tiba, Emily berusaha untuk bersikap biasa. Akan tetapi, kepalanya susah diangkat. Pandangannya pun terus menghindar dari Gabriella. Gabriella tahu bahwa gadis itu malu. Ia juga berusaha untuk menjaga sikap. Akan tetapi, perhatiannya terus melekat pada "calon menantunya" itu. Menurutnya, sikap Emily sangat manis. "Emily, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanyanya ketika kesempatan datang. Emily mendadak jadi lebih tegak. Matanya membulat, apalagi saat ia sadar bahwa Gabriella tersenyum misterius kepadanya. "Boleh, Nyonya." Wanita yang duduk berseberangan dengan Emily pun mencondongkan tubuh ke arah meja. "Apakah kau punya target umur untuk menikah?" Emily sontak mematung. Matanya berkedip-kedip mencari jawaban yang tepat. Yang lain diam-diam merasa lucu melihat ekspresinya. "S-saya ... tidak punya target semacam itu." Bibir Gabriella mengerucut. "Bagaimana kalau kamu mulai memikirkannya
"Kalau aku bisa memiliki anak perempuan, aku mau satu yang seperti dirimu. Yang baik, cantik, dan cerdas. Yang sopan dan juga berani." Emily terbelalak mendengar pujian tersebut. Ia merasa tersanjung, sekaligus malu. "Terima kasih, Nyonya Evans. Aku tidak tahu Anda menganggapku sehebat itu," tuturnya dengan kepala yang agak tertunduk. "Kau memang sehebat itu, Sweetheart. Kenapa kau terdengar ragu?" Emily mengintip dari sudut matanya. Senyumnya berubah kecut. "Akhir-akhir ini, aku banyak melakukan hal bodoh. Aku beberapa kali menempatkan Cayden dalam bahaya. Aku masih menyesalinya sampai sekarang. Aku juga merasa kalau aku belum berhasil menebusnya. Kebaikanku terhadap Cayden masih kurang." Tiba-tiba, Gabriella tertawa. Suaranya membuat Emily keheranan. "Kau lihat? Betapa manis dan baik hatinya dirimu. Kalau kau bukan gadis pilihan, kau pasti sudah meninggalkan Cayden. Apalagi, melihatnya duduk di kursi roda begitu. Kurasa gadis lain pasti akan kabur, tapi kamu," Gabriella
"C-Cayden? Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati? Untung kau jatuh menimpaku begini. Kalau tidak? Itu bisa bahaya," omel Emily, masih dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdebar terlalu hebat. "Perutmu tidak apa-apa, kan?" Tanpa terduga, Cayden malah tertawa. Ia elus rambut gadis di bawah kungkungannya itu, berbisik, "Aku tahu kau tidak akan membiarkan aku jatuh. Kau menangkapku dengan sigap. Apakah kau terluka?" Emily menggeleng terbatas. "Kau sebaiknya lebih berhati-hati kalau takut melukaiku. Untung saja di belakang kita ada kasur. Kalau tidak, kita sudah mendarat di lantai. Sekarang ayo bangun. Tidak baik kalau kita terlalu lama di sini. Orang lain bisa salah paham." Emily mendorong pundak Cayden. Akan tetapi, sang pria enggan bergeser. "Memangnya apa yang orang-orang pikirkan kalau melihat kita begini? Kita tidak melakukan apa-apa. Kau justru baru saja menyelamatkanku dari benturan." Cayden tersenyum usil. Telunjuknya bergerak lembut seolah ingin menghapus kerut
"C-Cayden?" bisik Emily setelah beberapa saat. Cayden masih memeluknya. Pria itu bergeming, enggan melepas. Sesekali, ia mengusap kepala Emily dengan pipinya. "Tolong jangan bergerak dulu, Emily. Tetaplah seperti ini. Satu menit saja. Satu menit," Cayden mendekapnya lebih erat. Merasakan ketulusan sang pria, Emily tersenyum kecil. Ia lingkarkan lengannya di pinggang Cayden. Matanya terpejam meresapi kedamaian. "Baiklah. Satu menit." Cayden pun mengajak Emily bersandar pada bantal. Emily spontan mengatur posisi agar lebih nyaman. Mereka berdua setengah berbaring sekarang. "Kau tahu? Aku sangat menyayangimu, Emily. Sangat-sangat menyayangimu," bisik Cayden sembari mengelus lengan sang gadis. "Ya, aku tahu." Cayden melirik tipis. "Dari mana kau tahu?" Emily mendongak sedikit. "Kau menjagaku dengan sangat baik." "Kau juga menjagaku dengan sangat baik. Apakah itu berarti kau juga menyayangiku?" Emily tersenyum simpul. "Aku memang menyayangimu, Cayden Evans." Lengkung bi
"Emily, kau yakin baik-baik saja?" tanya Cayden di depan pintu yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Emily menaikkan alis. Ia paksakan senyum di wajahnya, mengangguk tipis. "Aku baik-baik saja, Cay. Hanya sedikit tegang." "Kau tahu? Kau tidak perlu menemaniku berhadapan dengan Seth. Sampai di sini saja cukup. Kau boleh menunggu di kursi itu bersama Orion." Emily menggeleng. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu menemui penjahat itu seorang diri. Meskipun dia sudah tidak berdaya, hatinya pasti tetap jahat. Dia bisa melakukan apa saja." "Dua polisi ini akan menemaniku. Kau tidak perlu takut." "Tetap saja, aku mau menemanimu. Perlindungan yang mereka berikan berbeda dengan perlindungan dariku." Sementara Orion mendesah geli, Cayden tersenyum manis. "Kalau begitu, baiklah. Berdirilah di belakangku kalau kau takut." Emily memasang tampang cemberut. "Aku tidak sepenakut itu." Polisi pun membuka pintu. Cayden menggerakkan kursi rodanya masuk terlebih dulu. Emily dan Orion
"Kau tidak malu kepada Inston?" bisik Emily. Cayden menggeleng. "Aku justru ingin memanas-manasinya. Kalau dia juga mau mencium seorang gadis, dia harus cepat bangun." Emily terkekeh lirih. Raut wajahnya malu-malu. Namun, saat Cayden memagut bibirnya, ia menyambut. Sayangnya, baru dua kecupan mereka buat, Orion tiba-tiba masuk dengan raut kusut. "Orion?" Emily tersentak. Cepat-cepat ia turun dari meja yang entah sejak kapan didudukinya. "Tolong jangan salah paham lagi. Cayden hanya—" "Mari kita bahas itu nanti. Sekarang ada hal penting yang harus kau tangani," sela Orion dengan ekspresi serius. Mata Emily seketika menyipit. "Apakah Russell membuat masalah lagi?" "Bukan Russell tapi ...." Orion menyodorkan ponsel. Melihat judul artikel yang tertera, Emily bergeming. Matanya membulat, mulutnya ternganga tak percaya. "Siapa yang menerbitkan artikel semacam ini?" tanyanya dengan lengkung alis tinggi. Ia tidak mau membaca lebih lanjut. Baru beberapa kalimat saja, dadanya suda
Emily tertunduk. Ia lupa kalau dari kursi roda, Cayden bisa melihat ekspresinya lebih jelas. "Itu ...." "Kau masih memikirkan orang-orang itu?" Cayden melirik tangan Emily yang disembunyikan ke balik pinggang. "Mau menceritakan kekesalanmu kepadaku? Aku berjanji tidak akan tersinggung." Ia mengangguk meyakinkan. Akan tetapi, Emily masih tidak menjawab. Sambil tersenyum kecil, Cayden pun mengulurkan tangan. "Kalau kau kesulitan menceritakannya, serahkan saja petunjuknya. Aku bisa mencari alasannya sendiri." Emily tahu dirinya tidak bisa mengelak. Sambil menggigit bibir, ia meletakkan ponsel di tangan Cayden. "Pembela kebenaran?" Cayden tertawa saat membaca nama akun palsu Emily. "Kurasa mereka terlalu berisik. Jadi, aku mau membungkam mereka sedikit." Sambil mengulum senyum, Cayden membaca kolom komentar. Ia mendesah geli setiap menemukan balasan dari Emily. Begitu selesai, ia memandangi gadis itu dengan penuh haru. "Kau betul-betul tidak suka orang lain memb
Sejak kembali dari T City, Emily semakin bersemangat menggarap proyek. Ia pantau semua proses dengan saksama. Ia pastikan produk jadinya sempurna. Meskipun sibuk, ia tetap menyempatkan diri untuk menghubungi Cayden. Sesekali, ia juga menghubungi Summer dan Sky, tanpa sepengetahuan yang lain pastinya. "Lihat ini, Teman-Teman. Bukankah hasilnya sempurna?" Emily membentangkan sebuah kemeja di depan kamera ponselnya. Sky dan Summer kompak mencondongkan kepala ke depan. Wajah mereka berdua jadi memenuhi layar. "Itukah yang nanti akan dipakai oleh Cayden?" "Oh, kurasa Paman Cayden akan terlihat sangat keren." Emily tertawa melihat ekspresi ibu dan anak itu. "Aku juga berpikir begitu. Kalian suka desainnya?" Sky dan Summer mengangguk. "Itu terlihat keren dan sepertinya, bahan yang kau gunakan nyaman." "Dan lembut! Kurasa itu bagus kalau dijadikan selimut." Sky sontak menyenggol lengan putrinya. "Summer, itu kemeja. Kenapa kamu mau menjadikannya selimut?" "Karena ukurannya
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa