"Emily, kau yakin baik-baik saja?" tanya Cayden di depan pintu yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Emily menaikkan alis. Ia paksakan senyum di wajahnya, mengangguk tipis. "Aku baik-baik saja, Cay. Hanya sedikit tegang." "Kau tahu? Kau tidak perlu menemaniku berhadapan dengan Seth. Sampai di sini saja cukup. Kau boleh menunggu di kursi itu bersama Orion." Emily menggeleng. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu menemui penjahat itu seorang diri. Meskipun dia sudah tidak berdaya, hatinya pasti tetap jahat. Dia bisa melakukan apa saja." "Dua polisi ini akan menemaniku. Kau tidak perlu takut." "Tetap saja, aku mau menemanimu. Perlindungan yang mereka berikan berbeda dengan perlindungan dariku." Sementara Orion mendesah geli, Cayden tersenyum manis. "Kalau begitu, baiklah. Berdirilah di belakangku kalau kau takut." Emily memasang tampang cemberut. "Aku tidak sepenakut itu." Polisi pun membuka pintu. Cayden menggerakkan kursi rodanya masuk terlebih dulu. Emily dan Orion
"Kau tidak malu kepada Inston?" bisik Emily. Cayden menggeleng. "Aku justru ingin memanas-manasinya. Kalau dia juga mau mencium seorang gadis, dia harus cepat bangun." Emily terkekeh lirih. Raut wajahnya malu-malu. Namun, saat Cayden memagut bibirnya, ia menyambut. Sayangnya, baru dua kecupan mereka buat, Orion tiba-tiba masuk dengan raut kusut. "Orion?" Emily tersentak. Cepat-cepat ia turun dari meja yang entah sejak kapan didudukinya. "Tolong jangan salah paham lagi. Cayden hanya—" "Mari kita bahas itu nanti. Sekarang ada hal penting yang harus kau tangani," sela Orion dengan ekspresi serius. Mata Emily seketika menyipit. "Apakah Russell membuat masalah lagi?" "Bukan Russell tapi ...." Orion menyodorkan ponsel. Melihat judul artikel yang tertera, Emily bergeming. Matanya membulat, mulutnya ternganga tak percaya. "Siapa yang menerbitkan artikel semacam ini?" tanyanya dengan lengkung alis tinggi. Ia tidak mau membaca lebih lanjut. Baru beberapa kalimat saja, dadanya suda
Emily tertunduk. Ia lupa kalau dari kursi roda, Cayden bisa melihat ekspresinya lebih jelas. "Itu ...." "Kau masih memikirkan orang-orang itu?" Cayden melirik tangan Emily yang disembunyikan ke balik pinggang. "Mau menceritakan kekesalanmu kepadaku? Aku berjanji tidak akan tersinggung." Ia mengangguk meyakinkan. Akan tetapi, Emily masih tidak menjawab. Sambil tersenyum kecil, Cayden pun mengulurkan tangan. "Kalau kau kesulitan menceritakannya, serahkan saja petunjuknya. Aku bisa mencari alasannya sendiri." Emily tahu dirinya tidak bisa mengelak. Sambil menggigit bibir, ia meletakkan ponsel di tangan Cayden. "Pembela kebenaran?" Cayden tertawa saat membaca nama akun palsu Emily. "Kurasa mereka terlalu berisik. Jadi, aku mau membungkam mereka sedikit." Sambil mengulum senyum, Cayden membaca kolom komentar. Ia mendesah geli setiap menemukan balasan dari Emily. Begitu selesai, ia memandangi gadis itu dengan penuh haru. "Kau betul-betul tidak suka orang lain memb
Sejak kembali dari T City, Emily semakin bersemangat menggarap proyek. Ia pantau semua proses dengan saksama. Ia pastikan produk jadinya sempurna. Meskipun sibuk, ia tetap menyempatkan diri untuk menghubungi Cayden. Sesekali, ia juga menghubungi Summer dan Sky, tanpa sepengetahuan yang lain pastinya. "Lihat ini, Teman-Teman. Bukankah hasilnya sempurna?" Emily membentangkan sebuah kemeja di depan kamera ponselnya. Sky dan Summer kompak mencondongkan kepala ke depan. Wajah mereka berdua jadi memenuhi layar. "Itukah yang nanti akan dipakai oleh Cayden?" "Oh, kurasa Paman Cayden akan terlihat sangat keren." Emily tertawa melihat ekspresi ibu dan anak itu. "Aku juga berpikir begitu. Kalian suka desainnya?" Sky dan Summer mengangguk. "Itu terlihat keren dan sepertinya, bahan yang kau gunakan nyaman." "Dan lembut! Kurasa itu bagus kalau dijadikan selimut." Sky sontak menyenggol lengan putrinya. "Summer, itu kemeja. Kenapa kamu mau menjadikannya selimut?" "Karena ukurannya
"Selamat datang di ruang kerjaku, My Prince." Emily merentangkan tangan seolah memberi persembahan. Cayden masuk sembari tertawa kecil. Ia suka dengan semangat Emily dan senyum cerahnya. "Ruanganmu bagus sekali, Princess. Kau pasti nyaman bekerja di sini." Cayden memperhatikan sekeliling. Semua barang tertata rapi, termasuk manekin yang berjajar di salah satu sisi. "Itu yang akan kukenakan nanti?" tunjuknya. Emily mengangguk. "Apakah bagus? Kau bisa mencobanya nanti." "Bagus. Desainnya keren. Kurasa bahannya juga nyaman." Emily terkekeh mendengar komentar itu. "Kau tahu? Summer juga berpikir begitu. Dia bilang kemeja itu pasti nyaman kalau dijadikan selimut." "Selimut?" Cayden melebarkan mata. "Dia bilang kemejamu akan menjadi sangat lebar ketika dibentang, mirip selimutnya." Sembari menggeleng gemas, Cayden melanjutkan pengamatan. Hal yang paling menarik perhatiannya adalah figura-figura di dinding. Isinya bukan foto manusia, melainkan panduan desain dan hal-hal basi
"Apa peduliku kalau Ace tidak suka? Dia tidak berhak mengatur sikapku," tutur Louis sembari menggaruk hidung. Cayden tersenyum mengendus kecanggungan itu. "Kau sungguh tidak peduli padanya? Kupikir kau datang kemari karena ingin menanyakan kabarnya." Alis Louis naik mendesak dahi. Sambil mengerucutkan bibir, ia memperbaiki posisi duduk. "Aku kemari karena aku masih menghargai pilihan adikku. Kau datang dari jauh. Tentu saja aku harus menyambutmu. Tapi," Louis mendadak ragu, "bagaimana kabar sepupumu itu? Dia baik-baik saja?" Cayden nyaris melepas tawa. "Kenapa kau tidak menghubunginya langsung? Bukankah kau sudah menyimpan kontaknya?" Tampang Louis berubah cemberut. Selama ini, Grace tidak membalas pesannya. Ia curiga kalau Cayden tahu soal itu. "Apakah kau tidak senang kalau aku mendekati sepupumu?" "Bukan aku, tapi adikmu. Kalau aku boleh memberi saran, coba pikirkan lagi. Apakah Ace sungguh gadis yang tepat untukmu?" Louis memutar bola mata seperti remaja yang tidak
"Kau tahu?" ujar Brandon dengan suara rendah yang serak. "Aku sudah menyukai Emily sejak pertama kali melihatnya di berita. Bahkan, di hari pertama kami masuk sekolah, aku sudah memberinya bunga." Detik berikutnya, Brandon tertawa kecil. Kepalanya agak tertunduk, menggeleng sedikit. "Sayangnya, dia menolak bunga dariku. Mungkin karena masih terlalu kecil, aku tidak patah hati saat itu. Aku terus berusaha mendekatinya, sampai akhirnya, kami menjadi teman." Cayden tidak menimpali. Ia malah menautkan jemari di atas perut. Punggungnya bersandar di sofa. Ia seperti sedang menyaksikan film seru. "Suatu hari pasca liburan, Louis datang membawa kabar buruk. Katanya, Emily bertemu denganmu. Kalian berjanji untuk bertemu dalam 20 tahun. Dia menduga kalian berniat untuk pacaran. Itulah pertama kali aku patah hati." "Kau masih sangat kecil waktu itu. Kau sudah memikirkan cinta?" celetuk Cayden membuat Brandon tersenyum kecut. "Apakah kau tidak pernah menonton TV? Itu salah satu hiburanku
"My Prince ...." Emily kembali ke ruangannya dengan wajah ceria. Ia langsung duduk di samping Cayden. Tangannya tersusun manis di pangkuan. "Apakah kau sudah bosan menunggu? Maaf, tadi aku sekalian mengerjakan tugas lain. Jadi hari ini, aku sudah tidak sibuk lagi. Kita bisa bersantai dan berbincang sekarang. Oh?" Tatapan Emily tertuju pada cangkir kosong di atas meja. "Kau mengopi? Apakah kau sebosan itu sampai menghabiskan dua cangkir?" Cayden menggeleng gemas. "Bukan aku saja. Brandon juga." "Brandon?" Mata Emily membulat. Ia berusaha menyaring Brandon mana yang Cayden maksud. Karyawannya tidak ada yang bernama itu. "Maksudmu, Brandon Young?" tanyanya ragu. Begitu Cayden mengangguk, Emily terkesiap. Tangannya terangkat menutupi mulut yang terbuka lebar. "Untuk apa dia datang ke sini? Dia tidak menghajarmu, kan? Kau baik-baik saja?" Emily memeriksa wajah Cayden dari segala sisi. "Tapi menurutku, Brandon tidak mungkin menghajarmu. Meskipun dia orang dengan obsesi dan sem