"Apa peduliku kalau Ace tidak suka? Dia tidak berhak mengatur sikapku," tutur Louis sembari menggaruk hidung. Cayden tersenyum mengendus kecanggungan itu. "Kau sungguh tidak peduli padanya? Kupikir kau datang kemari karena ingin menanyakan kabarnya." Alis Louis naik mendesak dahi. Sambil mengerucutkan bibir, ia memperbaiki posisi duduk. "Aku kemari karena aku masih menghargai pilihan adikku. Kau datang dari jauh. Tentu saja aku harus menyambutmu. Tapi," Louis mendadak ragu, "bagaimana kabar sepupumu itu? Dia baik-baik saja?" Cayden nyaris melepas tawa. "Kenapa kau tidak menghubunginya langsung? Bukankah kau sudah menyimpan kontaknya?" Tampang Louis berubah cemberut. Selama ini, Grace tidak membalas pesannya. Ia curiga kalau Cayden tahu soal itu. "Apakah kau tidak senang kalau aku mendekati sepupumu?" "Bukan aku, tapi adikmu. Kalau aku boleh memberi saran, coba pikirkan lagi. Apakah Ace sungguh gadis yang tepat untukmu?" Louis memutar bola mata seperti remaja yang tidak
"Kau tahu?" ujar Brandon dengan suara rendah yang serak. "Aku sudah menyukai Emily sejak pertama kali melihatnya di berita. Bahkan, di hari pertama kami masuk sekolah, aku sudah memberinya bunga." Detik berikutnya, Brandon tertawa kecil. Kepalanya agak tertunduk, menggeleng sedikit. "Sayangnya, dia menolak bunga dariku. Mungkin karena masih terlalu kecil, aku tidak patah hati saat itu. Aku terus berusaha mendekatinya, sampai akhirnya, kami menjadi teman." Cayden tidak menimpali. Ia malah menautkan jemari di atas perut. Punggungnya bersandar di sofa. Ia seperti sedang menyaksikan film seru. "Suatu hari pasca liburan, Louis datang membawa kabar buruk. Katanya, Emily bertemu denganmu. Kalian berjanji untuk bertemu dalam 20 tahun. Dia menduga kalian berniat untuk pacaran. Itulah pertama kali aku patah hati." "Kau masih sangat kecil waktu itu. Kau sudah memikirkan cinta?" celetuk Cayden membuat Brandon tersenyum kecut. "Apakah kau tidak pernah menonton TV? Itu salah satu hiburanku
"My Prince ...." Emily kembali ke ruangannya dengan wajah ceria. Ia langsung duduk di samping Cayden. Tangannya tersusun manis di pangkuan. "Apakah kau sudah bosan menunggu? Maaf, tadi aku sekalian mengerjakan tugas lain. Jadi hari ini, aku sudah tidak sibuk lagi. Kita bisa bersantai dan berbincang sekarang. Oh?" Tatapan Emily tertuju pada cangkir kosong di atas meja. "Kau mengopi? Apakah kau sebosan itu sampai menghabiskan dua cangkir?" Cayden menggeleng gemas. "Bukan aku saja. Brandon juga." "Brandon?" Mata Emily membulat. Ia berusaha menyaring Brandon mana yang Cayden maksud. Karyawannya tidak ada yang bernama itu. "Maksudmu, Brandon Young?" tanyanya ragu. Begitu Cayden mengangguk, Emily terkesiap. Tangannya terangkat menutupi mulut yang terbuka lebar. "Untuk apa dia datang ke sini? Dia tidak menghajarmu, kan? Kau baik-baik saja?" Emily memeriksa wajah Cayden dari segala sisi. "Tapi menurutku, Brandon tidak mungkin menghajarmu. Meskipun dia orang dengan obsesi dan sem
Emily duduk dengan kepala tertunduk dan jemari saling meremas. Keringat dingin membutir di tengkuknya. Ia menyesal telah memancing Cayden tadi. Sekarang, ia benar-benar takut citra Cayden buruk di mata orang tuanya. Di samping Emily, Cayden duduk dengan pose yang serupa. Pandangannya turun. Ia tidak berani menatap Frank ataupun Kara. Keningnya panas. Ia bisa membayangkan bagaimana sorot mata dua orang itu menancap di sana. "Emily," suara Frank menggetarkan nyali sang putri, "bisa kau jelaskan apa yang baru saja terjadi?" Emily mengintip dari bawah alis. Wajahnya memelas. "Maaf, Papa. Tolong jangan berburuk sangka terhadap Cayden. Aku yang lebih dulu mencium—" "Maaf, Tuan," sela Cayden, membuat semua orang tersentak. "Tolong maafkan kecerobohan saya. Saya akui saya tidak seharusnya melakukan hal seperti tadi. Saya seharusnya lebih menghargai Emily." "Apakah kalian sudah sering melakukannya?" Emily terbelalak. "Melakukan apa, Papa?" "Saling menempelkan bibir seperti tadi. Sud
"Kolam air mancur itu menarik sekali, Emily. Apakah dia sudah ada sejak rumah kalian dibangun?" tanya Cayden saat mobil mereka memasuki gerbang. Emily yang sedang melamun spontan mengerjap. "Kolam itu? Papa membuatnya setelah menikah dengan Mama. Sebagai simbol keindahan yang baru datang dalam kehidupannya." "Ayahmu romantis," bisik Cayden. Sengaja. Ia ingin menguraikan ketegangan Emily. "Dan kau tahu? Rumah kalian seperti istana," lanjut Cayden, tidak membiarkan Emily kembali merenung. Emily ikut melihat ke luar jendela. Mereka sedikit lagi tiba di depan pintu rumah. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar semakin hebat. Namun, ia enggan mengungkapkannya. "Kau tahu? Itulah yang kukatakan saat pertama kali datang ke sini. Rumah ini adalah istana kami. Papa sebagai raja dan Mama sebagai ratunya." "Lalu kau adalah tuan putri kesayangan semua orang?" Emily tersenyum tipis. "Ya, dan kau tahu Louis sebagai apa?" Mata Cayden memicing. "Pangeran?" "Ksatria terhebat yang memimp
"Papa? Kenapa—" Frank mengangkat telunjuk. Emily spontan menghentikan bicara. Hal itu menimbulkan keresahan yang lebih besar dalam hatinya. "Kenapa Papa menyajikan mahluk mengerikan itu untuk kami? Apakah dia mau menguji Cayden? Mungkinkah ...." Emily terkesiap. Ia teringat bagaimana kakek buyutnya dulu selalu membasmi orang-orang yang mengetahui kelemahan keluarga mereka. Mungkinkah sang ayah juga mau melakukan hal yang sama? Tapi Frank bukanlah orang yang beringas. "Papa—" "Maaf, Tuan. Mengapa Anda menyajikan menu ini? Bukankah Emily alergi udang?" Letupan besar sontak mengguncang hati Emily. Keringat dinginnya mendesak keluar, sama seperti kepanikan yang menyumbat kerongkongannya. Sementara itu, Frank tersenyum miring. "Kau tahu putriku alergi?" Cayden mengangguk tanpa beban. "Saat kami di pesawat, Emily sempat panik karena memakan sesuatu yang mirip udang. Dari situlah saya tahu kalau Emily alergi. Untungnya, itu adalah makanan vegan yang dibuat menyerupai udang." "A
"Kau tidak bisa mengalahkan aku, heh?" bisik Frank, mencoba untuk menggoyahkan lawan. Bukannya terintimidasi, Cayden malah tersenyum kecil. "Tujuan saya bukan untuk mengalahkan Anda, Tuan. Tapi untuk menunjukkan kekuatan saya." Frank tertawa remeh. "Kau tidak akan kurestui kalau kau kalah." Cayden mengangguk. "Aku tahu." Tiba-tiba, Frank mengerahkan seluruh tenaga. Tangan Cayden sontak terdorong mundur. Emily memekik panik di kursinya. "Cayden!" Namun kemudian, tangan mereka kembali ke posisi semula. Emily kini menahan napas. Ia berharap Cayden terus mendorong, tetapi kenyataannya tidak. Kekasihnya itu hanya mengimbangi kekuatan Frank. "Cayden, kubilang jangan mengalah. Cepat selesaikan permainan!" seru Emily lantang. Emosi Frank semakin membara. Ia berusaha menambah kekuatan, tetapi ia sudah mencapai batas maksimal. "Sudah lelah, Tuan?" bisik Cayden, terlihat lebih santai. Frank tidak sanggup menjawab. Ia terlalu fokus mengatur napas. Namun perlahan, Cayden mulai
"Apakah kau setuju? Kau juga berpikir kalau putriku bodoh?" Frank menatap Cayden lekat-lekat. Cayden menggeleng tipis. "Tidak. Menurutku, Emily tidak bodoh. Dia hanya bingung. Beberapa kali kuperhatikan, dia tidak bisa berpikir rasional setiap kali ia menyimpan kekhawatiran terhadap orang-orang yang disayanginya." "Orang itu kamu? Maksudmu, Emily menyayangimu?" Cayden mengangguk sambil tersenyum simpul. "Ya, salah satunya." Frank memiringkan kepalanya sedikit. Matanya agak menyipit. "Emily itu gadis jenius. Dia pandai memecahkan masalah dan menyusun langkah strategis. Akan tetapi, setiap kali dihadapkan pada masalah yang menyangkut keselamatan orang-orang terdekatnya, dia mendadak linglung. Pikirannya seperti tidak bisa bekerja dengan baik. Hasilnya seperti tadi. Dia menjadi terlalu takut dan panik." Sambil kembali menyusun buah catur, Frank tertawa miris. Kepalanya menggeleng tak habis pikir. "Kau tahu apa penyebabnya?" Cayden bergeming. "Apa?" "Dia terlalu sering bergantu