Ehemmm .... Emily bakal ketemu ortu Cayden nih. Kira-kira bagaimana dia nanti?
Sepanjang jalan, Emily sibuk menyusun skenario untuk menyapa orang tua Cayden. Ia berusaha untuk tetap tenang. Tanpa ia sadari, lututnya tidak mau berhenti bergetar. "Tuan Putri, apakah kau baik-baik saja?" bisik Cayden. Emily terbelalak. "Hmm? Aku baik-baik saja." "Lalu, kenapa ...." Cayden memberi kode lewat gerak mata. Emily menelusuri arah pandangnya. Mendapati lututnya yang gemetar, ia cepat-cepat menekannya. "Oh, ini ...." "Dia pasti tegang," celetuk Orion dari jok depan. Bibit Emily seketika mengerucut. "Tidak. Aku tidak tegang. Aku sudah terbiasa bicara di depan banyak orang. Kenapa aku harus tegang?" Gadis itu mengibas rambut, tetapi geraknya terlalu kaku. Hati Orion jadi semakin tergelitik. "Di antara banyak orang itu, tidak ada calon mertuamu. Vibe-nya berbeda." Emily meringis kesal. Kalau saja Orion duduk di sebelah, ia pasti sudah mencubit lengannya. Sementara itu, Cayden menahan senyum. Ia gemas melihat pipi Emily yang memerah. "Kau tid
"Jadi, apakah Bibi sudah makan siang? Aku dan Mama baru saja selesai sarapan," tanya Summer dengan suara dan senyum manisnya. "Sudah. Waktu di sini lebih cepat dari L City, Summer." "Apakah Bibi sedang di hotel? Tapi itu tidak terlihat seperti hotel. Apakah Bibi menginap di rumah teman? Atau jangan-jangan, itu rumah Bibi sendiri? Bibi baru membelinya. Semuanya tampak baru di situ." Sky menyikut lengan sang putri lembut. "Sayang, jangan membuat Emily bingung. Tanyakan satu per satu. Nanti kepalanya jadi berat." Emily sontak tertawa lebih kencang. Namun, teringat akan satu hal, keceriaannya memudar. Sky memperhatikan itu. "Ada apa, Emily? Apakah kami salah bicara?" Emily menggeleng. Wajahnya tampak sendu sekarang. "Kau tahu? Aku sedang menginap di rumah Cayden." "Paman Cayden?" Mata Summer berbinar. "Di mana dia? Sudah lama aku tidak melihatnya. Apakah dia masih ingat padaku? Dia masih menyimpan kamera canggihnya, kan
Setibanya di depan pintu lift, Emily mematung. Mengapa Cayden mengajaknya ke lantai atas? Bukankah hanya ada kamar tuan rumah dan ruang kerja di sana? "Emily? Kenapa melamun? Ayo masuk," ujar Cayden. Ia ternyata sudah berada di dalam lift. Emily mengerjap. Sambil memalsukan tawa, ia berdiri di sisi Cayden. "Maaf. Aku terlalu takjub. Lift di kantorku bahkan tidak sebesar ini," ujarnya spontan. "Lift ini sebetulnya kami siapkan untuk Inston. Siapa sangka, malah aku yang menggunakannya sekarang." Wajah Emily seketika meredup. Ia tidak tahu omongan asalnya malah menebar sendu. "Kurasa, Inston akan senang saat dia melihat lift ini. Dia tahu betapa keluarganya sayang dan perhatian kepadanya." Cayden menaikkan alis. Ia tidak menduga Emily lebih memilih untuk membicarakan masa depan dibandingkan yang telah lewat. "Ya, kurasa juga begitu. Apalagi kalau tahu anggota keluarganya sudah bertambah. Dia pasti sangat senang bisa bangun dan kembali melihat dunia." Emily seketika memat
"Kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?" bisik Cayden lagi. "Kenapa?" "Karena aku ingin kau mengenalku. Selama ini, aku selalu melihatmu dari jauh. Begitu kita bertemu, aku malah bersembunyi di balik nama Prince. Sekarang ...." Cayden meraih jemari Emily. "Inilah diriku. Aku ingin kau tahu. Aku tidak mau kau bingung dan ragu. Aku adalah bocah yang berjuang untuk menjadi keren supaya bisa bertemu lagi denganmu tanpa penyesalan atau rasa malu." Emily menggigit bibir. Air matanya bisa tumpah kalau ia tidak melakukan itu. "Kuakui aku memang sempat bingung. Tapi aku tidak pernah ragu, Cay," timpal Emily dengan suara yang agak serak. "Aku tahu, kau adalah bocah laki-laki yang selalu kutunggu. Seseorang yang kuyakini akan datang. Seseorang yang pasti menepati janjinya." Sambil menghirup napas dalam-dalam, Emily memperhatikan foto dirinya yang terselip di antara foto orang-orang terdekat Cayden, satu dari deretan bingkai yang merunutkan perkembangan hidup pria itu. "Sama sepertimu
"Duduklah, Tuan Putri. Nikmati karya instrumental paling romantis ini tanpa letih berdiri," tutur Cayden lembut. Sekarang Emily mengerti mengapa ia tidak duduk di tengah. Pria itu menyisakan ruang untuknya. Setelah Emily duduk di sampingnya, Cayden mulai terpejam. Ia mainkan setiap melodi dengan penuh rasa. Emily pun terhanyut dengan mata berkaca-kaca. "Kau tahu?" bisik Cayden menyatu dengan musik. "Liebestraume sebetulnya adalah lagu original. Dia punya lirik, tiga buah puisi yang menggambarkan tiga wujud dari cinta." Suara Cayden begitu lembut. Emily terpancing untuk menatap wajahnya. Meski matanya masih terpejam, ketampanannya tetap membius. Emily semakin serius meresapi kata-katanya. "Yang pertama adalah tentang mengagungkan cinta, sedangkan yang kedua tentang mendatangkan cinta." Cayden memberi jeda, menyesuaikan dengan ritme lagu. "Yang paling terkenal adalah yang sedang kumainkan ini. Liebestraume nomor tiga. Lagu ini tentang mendewasakan cinta, level cinta ter
Saat jam makan malam tiba, Emily berusaha untuk bersikap biasa. Akan tetapi, kepalanya susah diangkat. Pandangannya pun terus menghindar dari Gabriella. Gabriella tahu bahwa gadis itu malu. Ia juga berusaha untuk menjaga sikap. Akan tetapi, perhatiannya terus melekat pada "calon menantunya" itu. Menurutnya, sikap Emily sangat manis. "Emily, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanyanya ketika kesempatan datang. Emily mendadak jadi lebih tegak. Matanya membulat, apalagi saat ia sadar bahwa Gabriella tersenyum misterius kepadanya. "Boleh, Nyonya." Wanita yang duduk berseberangan dengan Emily pun mencondongkan tubuh ke arah meja. "Apakah kau punya target umur untuk menikah?" Emily sontak mematung. Matanya berkedip-kedip mencari jawaban yang tepat. Yang lain diam-diam merasa lucu melihat ekspresinya. "S-saya ... tidak punya target semacam itu." Bibir Gabriella mengerucut. "Bagaimana kalau kamu mulai memikirkannya
"Kalau aku bisa memiliki anak perempuan, aku mau satu yang seperti dirimu. Yang baik, cantik, dan cerdas. Yang sopan dan juga berani." Emily terbelalak mendengar pujian tersebut. Ia merasa tersanjung, sekaligus malu. "Terima kasih, Nyonya Evans. Aku tidak tahu Anda menganggapku sehebat itu," tuturnya dengan kepala yang agak tertunduk. "Kau memang sehebat itu, Sweetheart. Kenapa kau terdengar ragu?" Emily mengintip dari sudut matanya. Senyumnya berubah kecut. "Akhir-akhir ini, aku banyak melakukan hal bodoh. Aku beberapa kali menempatkan Cayden dalam bahaya. Aku masih menyesalinya sampai sekarang. Aku juga merasa kalau aku belum berhasil menebusnya. Kebaikanku terhadap Cayden masih kurang." Tiba-tiba, Gabriella tertawa. Suaranya membuat Emily keheranan. "Kau lihat? Betapa manis dan baik hatinya dirimu. Kalau kau bukan gadis pilihan, kau pasti sudah meninggalkan Cayden. Apalagi, melihatnya duduk di kursi roda begitu. Kurasa gadis lain pasti akan kabur, tapi kamu," Gabriella
"C-Cayden? Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati? Untung kau jatuh menimpaku begini. Kalau tidak? Itu bisa bahaya," omel Emily, masih dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdebar terlalu hebat. "Perutmu tidak apa-apa, kan?" Tanpa terduga, Cayden malah tertawa. Ia elus rambut gadis di bawah kungkungannya itu, berbisik, "Aku tahu kau tidak akan membiarkan aku jatuh. Kau menangkapku dengan sigap. Apakah kau terluka?" Emily menggeleng terbatas. "Kau sebaiknya lebih berhati-hati kalau takut melukaiku. Untung saja di belakang kita ada kasur. Kalau tidak, kita sudah mendarat di lantai. Sekarang ayo bangun. Tidak baik kalau kita terlalu lama di sini. Orang lain bisa salah paham." Emily mendorong pundak Cayden. Akan tetapi, sang pria enggan bergeser. "Memangnya apa yang orang-orang pikirkan kalau melihat kita begini? Kita tidak melakukan apa-apa. Kau justru baru saja menyelamatkanku dari benturan." Cayden tersenyum usil. Telunjuknya bergerak lembut seolah ingin menghapus kerut