"Selamat pagi, Cayden. Oh? Ternyata ada Grace di sini. Selamat pagi, Nona Evans," sapa Emily sambil sesekali melirik ke arah ranjang rumah sakit. Cayden tahu betul apa makna dari lirikan tersebut. Begitu pula dengan Grace. Akan tetapi, Grace enggan menampakkan hal itu. "Selamat pagi, Nona Harper. Kebetulan sekali, kau sudah tiba di sini. Aku bisa menitipkan Cayden sementara aku mengurus kantor," balasnya, masih cenderung dingin dan kaku. "Kau hanya mampir?" Celetukan Louis membuat Emily mengernyitkan dahi. Sang kakak terdengar seperti sudah akrab dengan Grace. "Ya," Grace mengangguk. "Aku selalu memeriksa kedua sepupuku setiap pagi untuk dilaporkan. Kau tahu? Terlalu bahaya bagi paman dan bibiku untuk menjenguk anak mereka sendiri. Rencana bisa kacau." Emily sadar bahwa Grace menyindirnya. Namun, ia tidak mau ambil pusing. "Serahkan saja Cayden padaku. Aku bisa menjaganya dengan baik. Kau fokus saja dengan urusanmu," Emily tersenyum manis. "Oke. Kupercayakan Cayden padam
Merasa geli, tawa Cayden akhirnya lolos. Tak ingin menimbulkan masalah, ia cepat-cepat menyamarkannya dengan helaan napas. "Sebetulnya, tanpa klarifikasi darimu pun, aku bisa mengerti itu. Kalau aku berada di posisimu, aku juga pasti tidak setuju dengan keputusan Emily. Atau mungkin, aku akan menyekapnya di kamar agar tidak datang kemari. Penjahat yang kita hadapi adalah kelas kakap. Risikonya cukup besar untuk menangkapnya. Karena itu," Cayden mengubah tatapannya menjadi bersahabat. "Aku berterima kasih karena kau dan Orion bersedia mengurangi risiko itu. Aku juga bersyukur kau mengizinkan Emily untuk tetap di sini bersamaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan darimu. Aku akan melindungi Emily melebihi nyawaku." Louis mengamati Cayden dengan tatapan ragu. "Hanya itu? Kau hanya berniat untuk melindunginya dari maut? Tidak ada niat lain?' Cayden bergeming sebelum berkedip. "Tentu saja ada. Aku juga berniat untuk mencintainya dengan cara yang benar, memperl
"Kau berhasil membantu kami menangkap Seth dengan risiko seminim mungkin," tutur Grace seolah menantang. Ketegangan Emily sontak memudar. "Bukankah sekarang aku sedang membantu? Aku adalah umpan di sini." "Kau pikir menjadi umpan saja cukup? Jangan menjadi beban lagi! Jangan menjadi cengeng dan lemah karena aku paling benci gadis yang seperti itu. Bisa kau lakukan?" Dagu Emily naik mendesak mulut. "Aku tidak cengeng. Bukankah menangis itu wajar saat orang yang kita sayangi terluka? Tapi kali ini, Cayden tidak akan terluka lagi, kan? Jadi, aku tidak akan menangis." "Kalau begitu, kau benar-benar tidak boleh lemah." "Aku tidak lemah. Aku bahkan berhasil mengalahkan tiga orang gadis yang berniat merundungku di Perancis." "Lawanmu adalah Seth. Dia pria yang jahat, bukan gadis perundung yang lembek." Emily mengerutkan dahi. Ia kesal bukan hanya karena penilaian Grace, tetapi juga kemiripannya dengan Louis. "Kau lihat ini?" Ia membuka tas, menunjukkan semua senjata yang dia b
Melihat Orion membuka jendela, para pengawal bergegas melucuti jas. Mereka bungkus bola-bola aneh yang masih berdesis itu, lalu secara bergantian melemparnya ke arah tanaman di lantai dasar. Sementara itu, Louis cepat-cepat menutup hidung Emily. Sambil mendekapnya dengan sebelah lengan, ia memandunya keluar. Akan tetapi, Emily menolak berjalan. Ia menoleh ke belakang. Tangannya berusaha menggapai. "Cayden," panggilnya tak jelas. Di atas ranjang, Cayden sudah melengkapi diri dengan tabung oksigen portable dan sebuah pistol. "Jangan khawatirkan aku! Aku baik-baik saja," ia menunjuk peralatannya. "Cepat keluar! Obat biusnya sudah telanjur menyebar!" Melihat Emily masih enggan berjalan, Orion memerintahkan para pengawal untuk memeriksa keadaan di luar. Kemudian, ia pindahkan kursi roda ke sisi ranjang. "Tidak," Cayden menggeleng tegas. "Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalian pergilah. Cepat! Waktu kalian tidak banyak!" Mata Emily berkaca-kaca melihat bagaimana Cayden men
Setelah mengenakan masker scuba lagi, Seth membuka pintu kamar Cayden. Mendapati ranjang yang kosong, alisnya melengkung tinggi. Pandangannya pun menyapu sekeliling. Sekilas, ruangan itu tampak kosong. Namun, Seth tahu bahwa Cayden dan Emily tidak mungkin pergi. Berdasarkan laporan kesehatan Cayden yang ia curi, kaki musuhnya itu belum pulih. Dan berdasarkan kepribadian Emily yang ia pahami, gadis itu tidak mungkin meninggalkan kekasihnya sendiri. "Mereka pikir bisa lolos dariku?" Seth mendengus remeh. "Mereka bodoh sekali." Penjahat itu mulai mencari. Ia pastikan tidak ada orang di belakang pintu, lalu memeriksa ke balik sofa. Ia pikir Emily dan Cayden sedang meringkuk di situ. Namun ternyata, dugaannya salah. Seth pun beralih ke sebuah meja bundar di dekat jendela. Ukurannya cukup besar untuk dua orang bersembunyi di balik taplaknya. Namun, setelah kain putih itu disingkap, tidak ada apa-apa di sana. "Mereka tidak di sini?" Sambil tertawa lirih, Seth melirik lemari besar di
"Jadi kau rela mempertaruhkan nyawa? Demi cinta pertamamu?" Sosok itu tertawa mengerikan. "Emily Harper, ternyata kau hanya gadis bodoh biasa!" Kerongkongan Emily tersekat. Matanya gemetar melihat pria yang memain-mainkan pisau di hadapannya. “K-kamu bukan Cay—” Ucapan Emily tertahan oleh kilatan mata pisau yang meluncur menuju perutnya. Ia berusaha menghindar, tetapi tubuhnya terlalu tegang. Ia malah terdiam. Detik berikutnya, darah mulai menetes mengotori lantai. Emily hanya bisa terkesiap, ternganga dengan tatapan nanar. Kilasan memori bergulir cepat dalam benaknya. Ketika terhenti, sebuah pertanyaan bergema. Tepatkah keputusannya untuk mempertahankan cinta yang mendatangkan petaka? Beberapa saat yang lalu .... Breaking news! “Emily Harper, nona pewaris dari Savior Group, dikabarkan telah menghilang. Sejak menolak lamaran Brandon Young pada Sabtu malam lalu, ia tidak lagi terlihat.” “Banyak pihak berspekulasi bahwa ia kabur untuk menghindar dari publik. Ada j
Dengan santai, Emily kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Louis sedang menghujaninya dengan beragam pertanyaan dari seberang sana. “Emily, apa yang terjadi? Apakah seseorang menyerangmu? Kau baik-baik saja? Emily? Jangan membuatku semakin khawatir.” Bukannya merasa bersalah, Emily malah mendesah lelah. “Aku baik-baik saja, Louis.” Louis mendengus. “Jangan membohongiku! Aku jelas-jelas mendengar keributan tadi.” “Itu hanya seorang wanita tua yang mendadak hilang keseimbangan. Mungkin dia tidak begitu sehat. Yang jelas, tidak terjadi apa-apa padaku. Orang-orang di sini bahkan tidak mengenalku. Kau tidak perlu khawatir, Louis. Apakah kau lupa? Aku bisa bela diri. Aku bisa mengalahkan musuh." "Kalau hanya satu," sambung Louis. "Bagaimana kalau dua atau lebih? Kau pikir dirimu Supergirl yang bisa mengalahkan mereka? Belum lagi kalau lawanmu kuat dan lebih besar. Kau tidak aman di sana seorang diri." Emily mendengus. "Kau meremehkan aku. Kau ingat bagaimana aku mengalahkan Russel sa
Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya. "Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...." Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat. "Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?" Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria! "Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?" Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan. "Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa." Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah teras