"Kenapa Louis melarangku untuk tahu? Apa yang terjadi pada Cayden? Dia baik-baik saja, kan? Operasinya pasti lancar. Grace bilang dia mengusahakan yang terbaik untuk Cayden." Emily berkedip-kedip menghalau air mata. Ia tidak mau menangis. Ia hanya ingin tertawa menerima kabar baik.
"Operasinya memang berjalan lancar. Kondisi Cayden juga stabil. Tapi, hingga Grace mengabariku sekitar satu jam yang lalu, dia masih belum bangun." Mata Emily membulat tak percaya. Helaan napas berembus cepat dari mulutnya. "Kenapa dia belum bangun? Bukankah semuanya lancar? Tim medis macam apa yang menanganinya? Mereka serius dan profesional, kan?" Orion menggenggam kedua lengan Emily. Sorot matanya penuh simpati. "Emily, tenang. Cayden adalah orang yang kuat. Buktinya, dia sanggup bertahan meskipun tubuhnya menyerap banyak racun dan kehilangan banyak darah. Para dokter bahkan kagum padanya. Kalau Cayden orang biasa, dia pasti sudah lumpuh atau mungkin mati otak."Mendapat pertanyaan semacam itu, Emily mematung. Otaknya berputar cepat memilah jawaban yang pantas diutarakan. Semua wartawan kompak menjaga hening. Beberapa orang bahkan menahan napas. "Apakah sudah ada seseorang yang saya cinta?" Emily mengulang pertanyaan dengan kepala yang dimiringkan sedikit. Sembari mengembalikan senyum, Emily menegakkan kepala lagi. "Maaf. Sepertinya, saya belum bisa menjawab pertanyaan ini." Para wartawan langsung ramai menggumamkan kekecewaan. Hanya segelintir yang masih menaruh harap. "Apakah Anda menolak untuk menjawab karena khawatir menyinggung perasaan Tuan Young?" Semua orang sontak melirik wartawan muda yang memegang pensil. Sebagian dari mereka mencibir. Akan tetapi, Emily tetap menjawab pertanyaan tak berbobot itu dengan wajah ramah. "Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga perasaan orang lain? Saya menolak untuk menjawab agar kalian berhenti berspekulasi. Apakah kalian sadar? Kalian memiliki kuasa untuk menggiring opini publi
"Terima kasih, Brandon. Kau sangat baik. Sangat-sangat baik," suara Emily mendadak tipis dan serak. "Ya, aku tahu. Kalau Cayden sudah sembuh nanti, mari berkumpul. Kita rayakan kemenanganmu." "Kuharap kau sudah bisa mengajak seorang gadis saat itu," ujar Emily, sedikit ragu. Ia takut menyinggung. Sesuai dugaan, Brandon menggeleng. "Kurasa tidak secepat itu. Butuh gadis yang luar biasa untuk menggeser posisimu." Emily tersenyum kecut. "Omong-omong, aku punya satu permintaan untukmu." "Apa?" "Tolong jangan meninju Cayden saat kalian bertemu." Tawa Brandon akhirnya terdengar lepas. Sambil menyembunyikan air mata, ia menatap Emily dengan penuh kerinduan. "Aku tidak mungkin melakukan itu. Aku tidak mau kau membenciku." Tak ingin kesedihannya terendus, Brandon cepat-cepat menghela napas. "Ah, aku jadi tidak sabar menunggu momen itu. Tapi, laki-laki itu tidak akan menghajarku, kan? Siapa tahu, dia kesal k
"Apakah Papa sedang memeriksa hasil pekerjaan aku dan Louis?" Emily basa-basi. Frank menggeleng tipis. "Papa sudah mengevaluasinya kemarin. Bagus. Proyek barumu sudah hampir siap diluncurkan, kan?" Emily mengangguk seperti anak kecil. Frank tertawa gemas. "Baguslah. Setelah peluncuran produk barumu, jangan lupa perhatikan sektor lain. Ingat, kau bukan hanya membawahi bidang fashion. Meskipun sudah ada direktur masing-masing, kau tetap harus mengawasi mereka. Buatlah terobosan baru yang tidak kalah keren." "Siap, Papa." Emily menempelkan empat jari di ujung alis, persis seperti yang sering ia dan Louis lakukan dulu sewaktu masih balita. Tawa Frank kembali mengudara menyaksikannya. "Tapi Papa, apakah kau tahu? Ada sedikit kendala dalam peluncuran produk itu." Alis Frank terangkat tinggi. "Apa?" "Aku sebetulnya berharap Cayden bisa menjadi model untuk produk itu. Tapi sampai sekarang, Grace bilang dia masih belum bangun." Frank bergeming menerka arah pembicaraan itu.
"Karena kau, Louis, dan Russell sudah semakin besar, kita tidak bisa lagi menggunakan lemari itu. Jadi, Papa pergi menemuinya untuk meminta desain baru. Saat itulah, Papa bertemu dengan anak-anaknya. Salah satunya Cayden," terang Frank dengan gestur yang interaktif. Emily spontan memajukan kepala. "Bagaimana dia waktu itu?" "Dia anak yang cerdas dan berwibawa. Dia juga sopan dan pandai bicara. Sedikit mirip dengan Louis. Hanya saja, dia jauh lebih dewasa dan tenang." Emily tanpa sadar meloloskan tawa. Matanya berbinar terang. "Lalu, apa saja yang kalian bicarakan?" "Sewaktu dia mendengar tempat asal dan nama belakangku, dia langsung bertanya apakah aku punya seorang putri. Dia begitu senang saat tahu namamu Emily. Dia langsung menceritakan janji kalian dulu dan apa saja yang sedang dipersiapkannya." Sambil tersenyum simpul, Frank melirik Kara. "Bocah itu serius pada Emily. Ayahnya bilang sejak Cayden bertemu Emily, dia menjadi lebih rajin. Bocah itu jadi lebih bersemangat
"Tanya saja Mama kalau tidak percaya. Mama dan Papa mengizinkan aku pergi asalkan aku membawa kamu, Orion, dan sepuluh pengawal," tutur Emily bangga. "Tunggu dulu. Kenapa harus sepuluh?" Louis menegakkan sebelah tangan. "Karena Papa mau semua pengawal ikut." "Tapi jumlah kita jadi 13 nanti. Itu bukan angka yang baik." Emily memutar bola matanya. "Sejak kapan kau percaya mitos?" "Itu bukan sekadar mitos, Emily. Bahkan gedung-gedung, pesawat, semua bisnis tidak pernah menggunakan nomor itu. Bawa 9 pengawal saja." "Tapi Papa meminta sepuluh dan aku sudah setuju. Bagaimana kalau kita menyebutnya satu orang wanita dan dua belas pria?" "Jumlahnya tetap saja 13." "Aku bersama 12 pengawal?" "Apa yang berubah? Sama saja. Ubahlah susunan itu atau aku tidak mau pergi." Emily mendesah pasrah. "Baiklah. Akan kubicarakan lagi dengan Papa. Jumat malam nanti, kita berangkat." "Kita jadi pergi akhir pekan?" "Bukankah itu yang kau inginkan?" jawab Emily lugu. Louis mendengus geli.
"Cayden," panggil Emily lirih. Kepalanya bergerak sedikit, wajahnya mengernyit. Louis cepat-cepat menghampiri. Ia genggam tangan sang adik, berbisik, "Emily?" Bukannya terbangun, air mata Emily malah menitik. Ia kembali terisak. Alisnya tertaut semakin rapat. "Jangan pergi .... Cayden ...." Louis mengelus pipinya yang terasa dingin. "Emily, bangunlah. Kau bermimpi." "Cayden!" Mata Emily akhirnya terbuka. Guratan merah di sekeliling manik abunya kini tampak jelas. Melihat Louis di sisinya, ia buru-buru beranjak. "Bagaimana kondisi Cayden? Dia selamat, kan? Jantungnya sudah kembali berdetak?" tanya Emily serak. Sinar matanya redup, kekurangan harapan. Louis menarik napas dalam. Ia melihat sekeliling. Hanya ada Orion dan beberapa pengawal dalam ruangan. Situasi aman. "Emily, tenang. Jangan panik. Dengarkan aku baik-baik. Cayden—" Emily terkesiap. Kepalanya menggeleng cepat. "Tidak, tidak mungkin. Cayden tidak mungkin meninggalkan aku secepat ini. Cayden!" Emily
"Oke, kembali ke topik. Jadi perbincangan kalian sudah sampai mana? Dilihat dari kemesraan kalian tadi, sepertinya Emily belum tahu," ujar Louis sembari bersandar di tepi kasur. "Tahu apa?" timpal Emily dengan tampang polos. Mata Louis membulat. "Jadi kau memang belum tahu? Dia belum menceritakannya kepadamu tapi sudah berani menciummu?" Emily jadi semakin bingung. "Apa yang belum kuketahui?" Belum sempat Cayden membuka mulut, Louis sudah menjawab, "Yang mengalami henti jantung tadi bukan Cayden, melainkan Princeton. Cayden baik-baik saja sejak tiba di kota ini." Emily tercengang. Mulutnya membuka tanpa kata selama beberapa saat. "Maksudmu, Princeton masih hidup? Dia belum mati?" Cayden mau tidak mau mengangguk. "Ya, sebetulnya, dia koma selama ini. Kami takut Seth menargetkannya. Dia tentu tidak bisa melawan. Karena itu, kami terpaksa memalsukan kematianku, sedangkan aku memainkan peran sebagai dirinya." Emily mendesah tak percaya. Bola matanya bergetar sementara otaknya
"Aaak ...." Emily mendekatkan sendok ke mulut Cayden. Melihat kelakuan gadis itu, Cayden mendesah geli. "Aku bisa makan sendiri, Emily. Sungguh. Kau seharusnya pergi makan bersama Louis. Kau juga pasti lapar." Emily langsung mencibir. "Kau lupa? Aku ini sedang bertanggung jawab padamu. Karena itu, kau tidak perlu malu aku menyuapimu. Lagi pula, aku bisa makan nanti." Cayden menatap Emily lembut. Ibu jarinya mengelus tangan Emily dengan penuh kasih. "Aku tidak mau membuatmu repot." "Ini sama sekali tidak merepotkan. Kau tahu? Aku sudah terbiasa melakukan ini. Dulu sewaktu dua nenekku masih hidup, akulah yang paling sering menyuap mereka makan." "Benarkah?" Emily mengangguk dengan tampang lucu. Sambil meletakkan sendok kembali ke mangkuk, tatapannya menerawang. Hatinya mendadak diterpa rindu. "Aku masih tidak percaya Nenek Melanie pergi secepat itu. Mungkin kondisi mental dan obat-obatan yang dia konsumsi memperpendek umur. Setiap dia sedang sakit, aku selalu menyempatka