Gimana nih tanggapan kalian untuk bab ini? Yuk share.
"Aaak ...." Emily mendekatkan sendok ke mulut Cayden. Melihat kelakuan gadis itu, Cayden mendesah geli. "Aku bisa makan sendiri, Emily. Sungguh. Kau seharusnya pergi makan bersama Louis. Kau juga pasti lapar." Emily langsung mencibir. "Kau lupa? Aku ini sedang bertanggung jawab padamu. Karena itu, kau tidak perlu malu aku menyuapimu. Lagi pula, aku bisa makan nanti." Cayden menatap Emily lembut. Ibu jarinya mengelus tangan Emily dengan penuh kasih. "Aku tidak mau membuatmu repot." "Ini sama sekali tidak merepotkan. Kau tahu? Aku sudah terbiasa melakukan ini. Dulu sewaktu dua nenekku masih hidup, akulah yang paling sering menyuap mereka makan." "Benarkah?" Emily mengangguk dengan tampang lucu. Sambil meletakkan sendok kembali ke mangkuk, tatapannya menerawang. Hatinya mendadak diterpa rindu. "Aku masih tidak percaya Nenek Melanie pergi secepat itu. Mungkin kondisi mental dan obat-obatan yang dia konsumsi memperpendek umur. Setiap dia sedang sakit, aku selalu menyempatka
"Louis, tidak bisakah kau bersikap baik kepada Cayden? Kenapa sejak dulu kau sentimen sekali padanya?" celetuk Emily saat mereka masuk ke mobil. Louis melirik dengan raut menyebalkan. Orion sudah siap mendengar perdebatan si Kembar. Namun ternyata, jawaban Louis di luar dugaan. "Dia bermaksud merebutmu dariku. Tentu saja aku tidak suka padanya." Emily seketika tertegun. Perasaan aneh menggelitik dadanya. "Kenapa kau bisa berpikir begitu?" tanyanya lirih. Louis mengedikkan bahu. "Pikiran itu muncul sejak dia bertemu denganmu dulu. Aku merasa kalau kau dekat dengannya, kau tidak mau lagi bermain denganku. Kau akan lebih menyayanginya dan lebih dekat dengannya. Kau bisa saja melupakan aku." Emily tercengang. Ia tidak tahu ekspresi apa yang cocok untuk ditampilkan. Ia merasa gemas terhadap Louis, dan juga iba. "Louis, kita masih sangat kecil saat itu. Sekarang kita sudah dewasa. Kau masih cemburu padanya?" Bibir Louis mengerucut. "Awalnya aku juga berpikir kalau itu hanyalah p
"Selamat pagi, Cayden. Oh? Ternyata ada Grace di sini. Selamat pagi, Nona Evans," sapa Emily sambil sesekali melirik ke arah ranjang rumah sakit. Cayden tahu betul apa makna dari lirikan tersebut. Begitu pula dengan Grace. Akan tetapi, Grace enggan menampakkan hal itu. "Selamat pagi, Nona Harper. Kebetulan sekali, kau sudah tiba di sini. Aku bisa menitipkan Cayden sementara aku mengurus kantor," balasnya, masih cenderung dingin dan kaku. "Kau hanya mampir?" Celetukan Louis membuat Emily mengernyitkan dahi. Sang kakak terdengar seperti sudah akrab dengan Grace. "Ya," Grace mengangguk. "Aku selalu memeriksa kedua sepupuku setiap pagi untuk dilaporkan. Kau tahu? Terlalu bahaya bagi paman dan bibiku untuk menjenguk anak mereka sendiri. Rencana bisa kacau." Emily sadar bahwa Grace menyindirnya. Namun, ia tidak mau ambil pusing. "Serahkan saja Cayden padaku. Aku bisa menjaganya dengan baik. Kau fokus saja dengan urusanmu," Emily tersenyum manis. "Oke. Kupercayakan Cayden padam
Merasa geli, tawa Cayden akhirnya lolos. Tak ingin menimbulkan masalah, ia cepat-cepat menyamarkannya dengan helaan napas. "Sebetulnya, tanpa klarifikasi darimu pun, aku bisa mengerti itu. Kalau aku berada di posisimu, aku juga pasti tidak setuju dengan keputusan Emily. Atau mungkin, aku akan menyekapnya di kamar agar tidak datang kemari. Penjahat yang kita hadapi adalah kelas kakap. Risikonya cukup besar untuk menangkapnya. Karena itu," Cayden mengubah tatapannya menjadi bersahabat. "Aku berterima kasih karena kau dan Orion bersedia mengurangi risiko itu. Aku juga bersyukur kau mengizinkan Emily untuk tetap di sini bersamaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan darimu. Aku akan melindungi Emily melebihi nyawaku." Louis mengamati Cayden dengan tatapan ragu. "Hanya itu? Kau hanya berniat untuk melindunginya dari maut? Tidak ada niat lain?' Cayden bergeming sebelum berkedip. "Tentu saja ada. Aku juga berniat untuk mencintainya dengan cara yang benar, memperl
"Kau berhasil membantu kami menangkap Seth dengan risiko seminim mungkin," tutur Grace seolah menantang. Ketegangan Emily sontak memudar. "Bukankah sekarang aku sedang membantu? Aku adalah umpan di sini." "Kau pikir menjadi umpan saja cukup? Jangan menjadi beban lagi! Jangan menjadi cengeng dan lemah karena aku paling benci gadis yang seperti itu. Bisa kau lakukan?" Dagu Emily naik mendesak mulut. "Aku tidak cengeng. Bukankah menangis itu wajar saat orang yang kita sayangi terluka? Tapi kali ini, Cayden tidak akan terluka lagi, kan? Jadi, aku tidak akan menangis." "Kalau begitu, kau benar-benar tidak boleh lemah." "Aku tidak lemah. Aku bahkan berhasil mengalahkan tiga orang gadis yang berniat merundungku di Perancis." "Lawanmu adalah Seth. Dia pria yang jahat, bukan gadis perundung yang lembek." Emily mengerutkan dahi. Ia kesal bukan hanya karena penilaian Grace, tetapi juga kemiripannya dengan Louis. "Kau lihat ini?" Ia membuka tas, menunjukkan semua senjata yang dia b
Melihat Orion membuka jendela, para pengawal bergegas melucuti jas. Mereka bungkus bola-bola aneh yang masih berdesis itu, lalu secara bergantian melemparnya ke arah tanaman di lantai dasar. Sementara itu, Louis cepat-cepat menutup hidung Emily. Sambil mendekapnya dengan sebelah lengan, ia memandunya keluar. Akan tetapi, Emily menolak berjalan. Ia menoleh ke belakang. Tangannya berusaha menggapai. "Cayden," panggilnya tak jelas. Di atas ranjang, Cayden sudah melengkapi diri dengan tabung oksigen portable dan sebuah pistol. "Jangan khawatirkan aku! Aku baik-baik saja," ia menunjuk peralatannya. "Cepat keluar! Obat biusnya sudah telanjur menyebar!" Melihat Emily masih enggan berjalan, Orion memerintahkan para pengawal untuk memeriksa keadaan di luar. Kemudian, ia pindahkan kursi roda ke sisi ranjang. "Tidak," Cayden menggeleng tegas. "Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalian pergilah. Cepat! Waktu kalian tidak banyak!" Mata Emily berkaca-kaca melihat bagaimana Cay
Setelah mengenakan masker scuba lagi, Seth membuka pintu kamar Cayden. Mendapati ranjang yang kosong, alisnya melengkung tinggi. Pandangannya pun menyapu sekeliling. Sekilas, ruangan itu tampak kosong. Namun, Seth tahu bahwa Cayden dan Emily tidak mungkin pergi. Berdasarkan laporan kesehatan Cayden yang ia curi, kaki musuhnya itu belum pulih. Dan berdasarkan kepribadian Emily yang ia pahami, gadis itu tidak mungkin meninggalkan kekasihnya sendiri. "Mereka pikir bisa lolos dariku?" Seth mendengus remeh. "Mereka bodoh sekali." Penjahat itu mulai mencari. Ia pastikan tidak ada orang di belakang pintu, lalu memeriksa ke balik sofa. Ia pikir Emily dan Cayden sedang meringkuk di situ. Namun ternyata, dugaannya salah. Seth pun beralih ke sebuah meja bundar di dekat jendela. Ukurannya cukup besar untuk dua orang bersembunyi di balik taplaknya. Namun, setelah kain putih itu disingkap, tidak ada apa-apa di sana. "Mereka tidak di sini?" Sambil tertawa lirih, Seth melirik lemari besa
Saat terbangun, Louis langsung memeriksa sekeliling. Ia sedang berada di sebuah kamar yang cukup luas. Orion dan para pengawal masih terlelap di kasur masing-masing. "Emily .... Di mana Emily?" pikirnya sembari bangkit. Kebetulan, Emily baru saja membuka pintu. Melihat saudara kembarnya duduk di atas kasur, matanya berbinar terang. "Louis!" Ia memeluk sang kakak. "Akhirnya, kau bangun. Aku sangat khawatir padamu. Kau baik-baik saja, kan?" Sambil mencengkeram kepala, Louis mengangguk. "Kurasa aku baik-baik saja. Kau bagaimana?" Emily berdiri di hadapan Louis dengan tangan terentang lebar. "Bagaimana menurutmu?" Sudut bibir Louis terangkat tipis. "Tampaknya rencana Cayden berjalan lancar. Kalian berhasil mengalahkan Seth?" Emily mengangguk cepat. "Rencana Cayden sangat brilian, Louis. Dia sangat hebat!" Dengan penuh antusias, Emily menceritakan bagaimana pengalamannya. Ia juga terdengar bangga saat menjelaskan tentang bagaimana ia mengendalikan drone untuk melumpuhk
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa