"Terima kasih, Brandon. Kau sangat baik. Sangat-sangat baik," suara Emily mendadak tipis dan serak. "Ya, aku tahu. Kalau Cayden sudah sembuh nanti, mari berkumpul. Kita rayakan kemenanganmu." "Kuharap kau sudah bisa mengajak seorang gadis saat itu," ujar Emily, sedikit ragu. Ia takut menyinggung. Sesuai dugaan, Brandon menggeleng. "Kurasa tidak secepat itu. Butuh gadis yang luar biasa untuk menggeser posisimu." Emily tersenyum kecut. "Omong-omong, aku punya satu permintaan untukmu." "Apa?" "Tolong jangan meninju Cayden saat kalian bertemu." Tawa Brandon akhirnya terdengar lepas. Sambil menyembunyikan air mata, ia menatap Emily dengan penuh kerinduan. "Aku tidak mungkin melakukan itu. Aku tidak mau kau membenciku." Tak ingin kesedihannya terendus, Brandon cepat-cepat menghela napas. "Ah, aku jadi tidak sabar menunggu momen itu. Tapi, laki-laki itu tidak akan menghajarku, kan? Siapa tahu, dia kesal k
"Apakah Papa sedang memeriksa hasil pekerjaan aku dan Louis?" Emily basa-basi. Frank menggeleng tipis. "Papa sudah mengevaluasinya kemarin. Bagus. Proyek barumu sudah hampir siap diluncurkan, kan?" Emily mengangguk seperti anak kecil. Frank tertawa gemas. "Baguslah. Setelah peluncuran produk barumu, jangan lupa perhatikan sektor lain. Ingat, kau bukan hanya membawahi bidang fashion. Meskipun sudah ada direktur masing-masing, kau tetap harus mengawasi mereka. Buatlah terobosan baru yang tidak kalah keren." "Siap, Papa." Emily menempelkan empat jari di ujung alis, persis seperti yang sering ia dan Louis lakukan dulu sewaktu masih balita. Tawa Frank kembali mengudara menyaksikannya. "Tapi Papa, apakah kau tahu? Ada sedikit kendala dalam peluncuran produk itu." Alis Frank terangkat tinggi. "Apa?" "Aku sebetulnya berharap Cayden bisa menjadi model untuk produk itu. Tapi sampai sekarang, Grace bilang dia masih belum bangun." Frank bergeming menerka arah pembicaraan itu.
"Karena kau, Louis, dan Russell sudah semakin besar, kita tidak bisa lagi menggunakan lemari itu. Jadi, Papa pergi menemuinya untuk meminta desain baru. Saat itulah, Papa bertemu dengan anak-anaknya. Salah satunya Cayden," terang Frank dengan gestur yang interaktif. Emily spontan memajukan kepala. "Bagaimana dia waktu itu?" "Dia anak yang cerdas dan berwibawa. Dia juga sopan dan pandai bicara. Sedikit mirip dengan Louis. Hanya saja, dia jauh lebih dewasa dan tenang." Emily tanpa sadar meloloskan tawa. Matanya berbinar terang. "Lalu, apa saja yang kalian bicarakan?" "Sewaktu dia mendengar tempat asal dan nama belakangku, dia langsung bertanya apakah aku punya seorang putri. Dia begitu senang saat tahu namamu Emily. Dia langsung menceritakan janji kalian dulu dan apa saja yang sedang dipersiapkannya." Sambil tersenyum simpul, Frank melirik Kara. "Bocah itu serius pada Emily. Ayahnya bilang sejak Cayden bertemu Emily, dia menjadi lebih rajin. Bocah itu jadi lebih bersemangat
"Tanya saja Mama kalau tidak percaya. Mama dan Papa mengizinkan aku pergi asalkan aku membawa kamu, Orion, dan sepuluh pengawal," tutur Emily bangga. "Tunggu dulu. Kenapa harus sepuluh?" Louis menegakkan sebelah tangan. "Karena Papa mau semua pengawal ikut." "Tapi jumlah kita jadi 13 nanti. Itu bukan angka yang baik." Emily memutar bola matanya. "Sejak kapan kau percaya mitos?" "Itu bukan sekadar mitos, Emily. Bahkan gedung-gedung, pesawat, semua bisnis tidak pernah menggunakan nomor itu. Bawa 9 pengawal saja." "Tapi Papa meminta sepuluh dan aku sudah setuju. Bagaimana kalau kita menyebutnya satu orang wanita dan dua belas pria?" "Jumlahnya tetap saja 13." "Aku bersama 12 pengawal?" "Apa yang berubah? Sama saja. Ubahlah susunan itu atau aku tidak mau pergi." Emily mendesah pasrah. "Baiklah. Akan kubicarakan lagi dengan Papa. Jumat malam nanti, kita berangkat." "Kita jadi pergi akhir pekan?" "Bukankah itu yang kau inginkan?" jawab Emily lugu. Louis mendengus geli.
"Jadi kau rela mempertaruhkan nyawa? Demi cinta pertamamu?" Sosok itu tertawa mengerikan. "Emily Harper, ternyata kau hanya gadis bodoh biasa!" Kerongkongan Emily tersekat. Matanya gemetar melihat pria yang memain-mainkan pisau di hadapannya. “K-kamu bukan Cay—” Ucapan Emily tertahan oleh kilatan mata pisau yang meluncur menuju perutnya. Ia berusaha menghindar, tetapi tubuhnya terlalu tegang. Ia malah terdiam. Detik berikutnya, darah mulai menetes mengotori lantai. Emily hanya bisa terkesiap, ternganga dengan tatapan nanar. Kilasan memori bergulir cepat dalam benaknya. Ketika terhenti, sebuah pertanyaan bergema. Tepatkah keputusannya untuk mempertahankan cinta yang mendatangkan petaka? Beberapa saat yang lalu .... Breaking news! “Emily Harper, nona pewaris dari Savior Group, dikabarkan telah menghilang. Sejak menolak lamaran Brandon Young pada Sabtu malam lalu, ia tidak lagi terlihat.” “Banyak pihak berspekulasi bahwa ia kabur untuk menghindar dari publik. Ada j
Dengan santai, Emily kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Louis sedang menghujaninya dengan beragam pertanyaan dari seberang sana. “Emily, apa yang terjadi? Apakah seseorang menyerangmu? Kau baik-baik saja? Emily? Jangan membuatku semakin khawatir.” Bukannya merasa bersalah, Emily malah mendesah lelah. “Aku baik-baik saja, Louis.” Louis mendengus. “Jangan membohongiku! Aku jelas-jelas mendengar keributan tadi.” “Itu hanya seorang wanita tua yang mendadak hilang keseimbangan. Mungkin dia tidak begitu sehat. Yang jelas, tidak terjadi apa-apa padaku. Orang-orang di sini bahkan tidak mengenalku. Kau tidak perlu khawatir, Louis. Apakah kau lupa? Aku bisa bela diri. Aku bisa mengalahkan musuh." "Kalau hanya satu," sambung Louis. "Bagaimana kalau dua atau lebih? Kau pikir dirimu Supergirl yang bisa mengalahkan mereka? Belum lagi kalau lawanmu kuat dan lebih besar. Kau tidak aman di sana seorang diri." Emily mendengus. "Kau meremehkan aku. Kau ingat bagaimana aku mengalahkan Russel sa
Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya. "Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...." Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat. "Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?" Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria! "Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?" Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan. "Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa." Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah teras
Sang pria tercengang. Harga dirinya terluka. Ia tidak pernah menduga seseorang akan menuduhnya gay. "Pertanyaan macam apa itu?"Emily memasang raut angkuh. "Kau menggantikan pakaianku semalam. Kau pasti telah melihatku. Rasanya mustahil ada pria yang sanggup menahan godaan sebesar itu.""Tidak semua laki-laki kurang ajar, Nona. Beberapa pria sepertiku memiliki pengendalian diri yang baik. Kami tahu caranya menghormati wanita," tegasnya diiringi anggukan.Emily memiringkan kepala sedikit. Matanya menyipit. "Itu sulit dipercaya. Mana ada pria normal yang tahan melihat tubuh wanita tanpa menyentuhnya? Kecuali, kau adalah pengawal yang dikirim Louis. Kau takut dia memecatmu kalau ketahuan menyentuhku." Sang pria menghela napas panjang. "Kau memiliki krisis kepercayaan, rupanya. Kau tetap akan berpikir kalau aku pengawal meskipun aku menyangkal, kan?"Belum sempat Emily menimpali, pria itu masuk ke kamar mandi. Emily hanya bisa mengerucutkan bibir. "Kalau dia bukan pengawal Louis, lalu