Dipercepatnya langkah kaki menuju pos satpam di gerbang. Wanita yang tadinya duduk, seketika berdiri setelah melihat kelebat kedatangan Aresha.TinSebuah mobil dengan nyala lampu yang menyilau mata juga berhenti di depan gerbang. Aresha memicing matanya. Sekilas mengenali jika itu mobil Herdion. Rupanya malam-malam begini lelaki itu pulang. Apa wanita itu teman Herdion?"Ka ... kamu? Bukankah kamu Aresha?!" Wanita itu sudah berdiri mendekati Aresha. Lampu mobil yang silau membuat samar gerakannya. Meski diteliti berulangkali pun, merasa gagal mengingatinya."Benar. Kakak, siapa?" Aresha bertanya heran. Ekspresi wanita itu terlihat kesal dan marah. "Aresha, kuminta dengan penuh mohon padamu. Jauhilah suamiku, jangan lagi menggoda Jack. Jangan ganggu lagi rumah tanggaku. Aku sudah lelah, aku lelah ...!" Wanita yang mulanya berkata pelan, semakin keras bicaranya. Aresha tidak terlalu paham maksudnya. Namun, segera ingat jika wanita itu adalah istrinya Jack."Maksudmu, apa? Aku dan Pa
Ponsel Aresha di letak pelan di meja. Telapak lebar dengan jari-jari tangan yang panjang, meraup wajah lelahnya. Herdion menunduk sejenak sebelum menatap redup Aresha."Maaf, ikut menuduhmu sebagai pelakor. Jadi kamu benar-benar tidak ada hubungan spesial dengan Jack?" Herdion masih juga mencari kepastian. "Aku ... apa Anda tidak dengar ucapan istri Jack padaku? Aku terlalu cantik hanya untuk menjadi simpanan suaminya. Lagipula, aku pun tidak bodoh, Pak Herdion," sahut Aresha terdengar kesal. Wajah memerahnya justru membuat terlihat lebih cantik dan menarik. "Sejak kapan Miana datang?" Herdion bertanya hal lain sambil menyodor ponsel pada Aresha. Rupanya sudah tidak lagi curiga sedikit saja."Pukul delapan malam sudah datang. Dia sakit, muntah dan pusing. Kuberi obat mag. Ternyata, seperti itu sakitnya. Garis dua ...," ucap Aresha menggantung. Herdion mengangguk tanda mengerti."Jika benar sesuai testpack yang kamu rekam, menurutmu, anak siapa yang dikandungnya?" tanya Herdion. Ares
Jack tidak tahu jika Miana berada di rumah Herdion di Pulau Marina. Juga tidak menyangka jika Aresha akan membicarakan hubungannya dengan Miana. Tidak tahu menahu juga akan kedatangan istri sahnya ke rumah Herdion malam itu untuk melabrak, tetapi salah alamat."Aku memang bertengkar dengan Miana malam itu, Aresha. Sebab, bukan aku ayah dari bayi yang di kandungannya," sahut Jack setengah bersungut."Bagaimana Anda bisa seyakin itu mengelak dari masalah?!" Herdion menyela keras dengan sanggahan Jack. Terlihat sangat geram dan kesal di wajah tegasnya."Kukatakan padamu, Saudara Syahfiq, aku mengenal Miana belum ada dua bulan. Kami pun mulai melakukannya baru dua mingguan yang lalu. Bukan aku yang menyentuhnya pertama kali. Bagaimana bisa dia menuntutku telah menghamili. Dia menjebakku?!" Jack pun tampak kesal dan emosi. Merasa dipermainkan oleh Miana."Apa kata-katamu bisa kupegang?" Herdion bertanya sambil meletak Venus yang tadi digendongnya di stroller dengan hati-hati."Jika begitu,
Rumah yang masih sama dengan setahun lalu ditinggal itu tampak sepi. Aresha melangkah cepat menghampiri gerbang pagar yang kini ada security. Setahun lalu tidak ada seorang pun yang berjaga, sang ayah bilang tidak perlu. Aresha menduga jika itu adalah orangnya Julian. Herdion mengikuti Aresha dengan Venus digendongnya. Mengerti bisa jadi akan merepotkan saat melepas rindu dengan keluarga jika Venus terus menggelayuti gadis itu.Sekitar rumah terlihat asri dan rindang, banyak tanaman hias palem dan tanaman pucuk merah yang cukup terawat. Ada kolam kecil berisi beberapa ikan koi merah, hitam-putih dan kuning. Kemungkinan pemilik rumah menyukai suasan alam yang segar."Nona Aresha?!" Security yang Aresha tidak kenal menyerunya. Merasa dugaannya benar, Julian tidak hanya memasang cctv, tetapi juga menempatkan security."Kenapa di rumahku ada penjaga? Aku juga tidak mengenalmu ...," sambut Aresha tanpa basa-basi. Lelaki penjaga itu tampak tersenyum dipaksakan."Maaf, Nona. Aku adalah Angga
Langit yang cerah tanpa mega di atas sana tidak seperti suasana dalam hatinya. Aresha begitu runsing dengan wajah terlipat penuh mendung. Semakin merasa sakit sebab lelaki penuh paksa yang kini memandang sinis di depannya."Tenanglah, Sha. Kamu tidak akan kunikahi hari ini. Hanya orang-orangku akan mengawasimu untuk tidak ke mana-mana. Masuklah ke dalam rumahmu kembali. Hingga aku selesai dengan urusanku. Tidak lama, mungkin hanya satu minggu,""Kamu tidak perlu susah, akan kusiapkan segalanya untuk pernikahan kita. Keluargaku sangat mendukung. Akan kusewakan orang salon dan spa untuk melayani dan memolesmu setiap hari di rumahmu," ucap Julian teesenyum, bermaksud membujuk untuk meluluhkan. Tatap Aresha justru tajam dan menusuk terhadapnya."Ehem ...!" Herdion bersuara dengan deheman. Perhatian Julian beralih pada lelaki gagah yang terlihat mentereng di samping Aresha. "Siapa dia, Sha?" Julian memandang Aresha menyelidik."Namaku Herdion. Aku sangat tidak paham apa urusanmu dengan Are
Gadis yang duduk manis dengan bayi cantik tertidur di pangkuan itu terlihat gusar dan gelisah. Herdion tidak paham kenapa seringkali tidak sengaja melirik. Meski sadar tidak ingin lagi memandang, lagi-lagi wajah dengan hidung indah itu menjadi pelabuhan gerak matanya. Untung sekali Aresha tidak sekali saja menangkap basahnya mencuri pandang. Pria tegap berusia tiga puluhan tahun, datang menyambut di parkiran. Herdion memang sempat menghubungi beberapa menit lalu. Pandang teduh pria itu tampak heran mengamati. Mereka berdua kemudian bersalaman. Aresha tersenyun dan mengangguk saat pria itu menoleh padanya."Haih, Bro! Kapan kau ini kawin, hah?! Punya anak bini saja kau tiba-tiba?!" Pria pegawai imigrasi senior itu berbicara dengan keras. Beberapa pengunjung di parkiran tergerak menoleh sesaat."Siapa yang kau maksud, Dam?" Herdion justru menanggapi santai dan tersenyump cukup lebar. Mengulurkan tangannya pada Dam."Kaulah, Syahfiq! Wanita cantik molek ini bini engkaukah? Ini anak engk
Venus telah kekenyangan dengan satu mangkuk bubur bayi yang diracikkan khusus oleh rumah makan yang Herdion singgahkan. Meski tidak tersedia menu bayi, melihat kelucuan Venus yang cantik menggemaskan, pemilik rumah makan yang kebetulan datang pun meminta kokinya untuk mencipta menu khusus yang terbaik.Kini bayi cantik itu kembali tertidur pulas di pangkuan Aresha yang juga ikut mengantuk. Bahkan tangan yang memeluk Venus hampir terkulai dan lepas. Herdion merasa sangat tidak nyaman melihat pemandangan di sampingnya."Aresha, Sha!" Dibangunkan si pengasuh setelah membelok ke sebuah mall. Aresha merespon dan segera membuka lebar matanya. "Eh, maaf, tertidur. Kita belum sampai, di mana kita ini?" Aresha memandang ke sekeliling di luar kaca pintu."Di Mega Mall Nagoya. Aku ingin membelikan Venus baju baru, kau bisa memilihkan?" Herdion telah membuka pintu di sampingnya."Bajunya sudah sangat banyak, Pak," sahut Aresha mengingatkan."Tapi dia sudah sangat besar badannya, apa tidak sesak?
Kotak besar sudah berisi penuh dengan baju anak-anak, sepatu dan topi. Aresha berdiri tegak meluruskan punggung yang cukup lama dibawa membungkuk dan berjongkok. Berpindah ke sofa dengan membawa serta kotak baju. Lebih dirapikannya lagi dengan duduk di sana."Menurutmu, dengan siapa Miana melakukannya, Sha?" Herdion kembali bertanya. Aresha sedikit berkernyit dahi, merasa bingung dengan tanya pria itu. Meski wajahnya sedang memerah, bibir sensual itu berusaha logis menjawab."Bukankah Pak Jack juga mengakui langsung jika mereka sudah melakukannya? Namun, bukan dia yang menghamili Miana. Aku sangat yakin jika Pak Jack berkata benar," sahut Aresha. Meraba mungkin seperti itulah maksud dari Herdion bertanya. Pria menawan itu tersenyum samar dan mengangguk."Apa Jack tidak pernah menggodamu?" Herdion bertanya lagi dengan pandangan serius. Aresha menolehnya dengan senyuman yang tipis. "Sebab, dia sudah tahu tentang Julian, juga kuyakinkan jika aku sangat tidak suka perselingkuhan dan peng
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw