Kembali ke rumah yang selama dua bulan menjadi tempat tinggalnya, Claudia tidak tahu kalau akan ada perasaan rindu dan nyaman yang mendekapnya, apalagi saat Dera menyambut, bahkan para pekerja yang sudah akrab dengannya pun langsung mengerumuni Claudia di kamarnya. Claudia membagikan oleh-oleh yang dibelinya untuk seluruh pelayan di kediaman Pranaja, termasuk untuk Dera dan Ali, juga pengurus taman dan penjaga keamanan. Saat mereka bertanya dari mana Cludia memiliki uang untuk membeli semua itu, dengan mudah wanita itu menjawab bahwa Malven memberikan black card miliknya dan memerintahkannya untuk membeli apa pun sebagai oleh-olh untuk seluruh pekerja. Tentu saja itu bohong! Claudia membeli semua oleh-oleh menggunakan uang pribadinya. Shoping, jalan-jalan, menghabiskan uang, adalah cara terbaik melupakan kesedihan dan kekhawatiran. "Kenapa belum tidur?" Claudia bertanya saat memasuki kamar Raga, melihat anak itu masih bergulingan di ranjang padahal sudah pukul sembilan malam. Mer
Melihat Raga menanyakan kabar ayahnya, bahkan tentang pekerjaan pria itu membuat tidak hanya Claudia yang terharu, melainkan Dera dan para pelayan yang sedang menghidangkan makanan. Rasanya seperti melihat seseorang tumbuh dewasa dengan cepat, padahal baru beberapa bulan lalu Raga menangis dan tidak mau makan saat Malven meninggalkannya untuk pekerjaan. Ruang makan malam ini ramai dengan celoteh Raga yang menceritakan banyak hal pada sang ayah, tentang aktivitas yang ia lakukan selama seminggu terakhir dan rencananya di malam tahun baru nanti. Claudia mendengarkan dalam diam, menikmati makanannya meski wajahnya mulai terasa berlubang karena Malven terus saja melirik padanya. “Bagaimana denganmu, Claudi? Ada kabar terbaru dari Deon?” Pertanyaan yang tiba-tiba diajukan Malven membuat Claudia tersedak dan hamper saja makanannya dikeluarkan lagi dengan tidak elit. Kenapa Malven bisa mengetahui nama itu? Bagaimana dia bisa tahu? ‘Apa aku menceritakan sesuatu tentang hidupku?’ Claudia
Satu kalimat yang Malven lontarkan sukses membuat Claudia menahan napas. Teman tidur? Itu artinya hubungan yang hanya terbatas pada kepuasan fisik saja, kan? “Seperti yang kamu tahu, aku membutuhkan seseorang untuk melampiaskan gairahku, tapi aku tidak mau memilih orang sembarangan untuk menjadi teman tidurku, bahkan meski itu hanya one nigt stand.” Kata-kata Malven seolah berdengung di telinga Claudia. Tidak pernah sekali pun seumur hidupnya Claudia membayangkan dirinya digunakan sebagai alat pemuas bagi seseorang, bahkan saat ia berada dalam hubungan yang romantis dengan Deon dulu, tidak pernah sekali pun Claudia menyerahkan dirinya. Lalu, apa ini? Kenapa mudah sekali bagi Malven meminta seseorang untuk menjadi ‘teman tidur’? “Saya minta maaf, Pak, sepertinya saya tidak bisa.” Claudia akhirnya menjawab setelah berhasil menahan air matanya agar tidak merembes. “Malam itu saya mendapat kabar kalau kekasih saya akan menikah dengan wanita yang dihamilinya, jadi malam itu saya sedang
Mata itu perlahan terbuka saat mendengar sebuah suara asing, jelas itu bukan alarm-nya yang biasa. Claudia mengerjap ketika kesadarannya terkumpul sempurna, keningnya mengernyit ketika melihat suasana yang tidak dikenal. Jam weker di atas nakas samping ranjang masih berbunyi, jelas itu juga bukan miliknya. Belum sempat Claudia mengulurkan tangan untuk mematikan alarm, sebuah tangan lain sudah lebih dulu melakukannya.Claudia tertegun saat mengingat jika semalam ia menyetujui tawaran yang Malven berikan dan kembali menghabiskan malam bersama. Kapan dia tertidur? Claudia tidak ingat kapan dia kelelahan dan hilang kesadaran."Masih terlalu pagi, tidurlah lagi."Suara serak dan berat itu menyapa telinga Claudia, mengantarkan getaran ke seluruh tubuhnya. Suara Malven yang baru bangun tidur dan terdengar malas itu sungguh tidak baik untuk didengarkan. Kenapa ayah dan anak sama saja, selalu memesona setiap kali bangun di pagi hari?"Sa-saya harus ...." Claudia yang ingin berpamitan karena h
"Kakak lagi flu?" Pertanyaan yang Raga lontarkan membuat Claudia langsung memegang syal-nya. "Agak dingin tadi, jadi Kakak pakai syal, kayanya memang mau flu." Claudia menjawab sembari membantu mengancingkan kemeja Raga. Saat Claudia ke kamar Raga, anak itu sudah bangun dan sedang bergulingan di ranjangnya, bahkan ketika Claudia membawanya ke kamar mandi, Raga tidak benar-benar membuka matanya. Mungkin setelah selesai mandi rasa kantuknya akhirnya hilang dan Raga baru memperhatikan syal yang Claudia gunakan. "Mama juga selalu pake syal kaya gitu." Ucapan Raga membuat pergerakan Claudia yang sedang menyisir rambut Raga sempat terhenti, helaan napasnya terdengar ketika rasa bersalah kembali mencubit hatinya. Tentu saja mungkin syal yang Claudia kenakan sekarang juga milik Elodia. Tapi, jalan yang sudah Claudia pilih tidak bisa dibatalkan. Hubungan fisik yang ia dan Malven lakukan tidak hanya terjadi sekali dan masih bisa dibilang kesalahan, sekarang sudah benar-benar terlambat un
“Halo, Ma, hari ini aku dateng sama Kakak.” Claudia tersenyum simpul mendengar sapaan Raga di depan pusara ibunya. Untungnya Malven memberikan izin untuk Raga mengunjungi Elodia tanpanya, karena Claudia sudah terlanjur berjanji pada Raga kalau akan membawanya ke sini meski harus diam-diam.“Aku kemarin habis dari Jepang lho, Ma! Bareng Papa dan Kak Cla jugaa.”Claudia yang awalnya berada di tepat belakang Raga, perlahan mundur dan menjaga jarak saat mendengar cerita anak itu tentang kepergiannya ke Jepang. Rasa bersalah memenuhi hati Claudia yang telah melakukan sesuatu yang tidak pantas bersama Malven ketika di Jepang, bahkan semalam dan pagi ini.Saat Claudia menjanjikan akan membawa Raga menemui Elodia, ia belum melakukan kesalahan itu, juga belum menerima tawaran yang Malven ajukan. Sekarang ketika berada di depan pusara Elodia setelah tadi pagi merasakan sentuhan dan kehangatan bersama Malven, rasa bersalah yang sangat besar memenuhi benaknya.‘Maaf, Elodia, maafkan aku. Tapi ka
"Padahal waktu itu Kakak juga nyela kata-kataku." Ucapan lirih Raga membuat mengerjap. "Kapan?" tanyanya, tidak ingat pernah memotong perkataan Raga. Kalau Malven sih, jangan ditanya! "Semalem? Waktu aku tanya Deon itu siapa, Kakak langsung bilang 'Bukan!' padahal aku belum selesai ngomong." Claudia hampir tertawa saat meliht Raga memperagakan bagaimana cara Claudia memotong perkataannya semalam. Keningnya yang berkerut dengan alis sedikit naik saat mengatakan 'bukan' sungguh sangat menggemaskan. "Iya, Kakak salah, maaf. Lain kali ingatkan Kakak kalau melakukan sesuatu yang Raga pikir itu salah, ya?" Claudia kembali mencubit pelan pipi bulat Raga. "Oke, Kakak siap-siap aja!" Tawa Clauida berderai saat Raga menjawab dengan serius. Wajah anak itu selalu menyenangkan untuk dilihat seperti apa pun ekspresi yang sedang dibuat. "Maaf terlambat, apa aku membuat kalian menunggu terlalu lama?" Claudia dan Raga menoleh bersamaan saat seorang wanita memasuki ruangan. Claudia la
"Jadi, menurut Raga tidak apa-apa memakainya kapan pun, kan? Misal saat Kakak memakai perhiasan yang Raga belikan, ada orang jahat yang melihat, lalu mencelakai Kakak untuk mengambil perhiasannya, tidak apa-apa?" Claudia tersenyum saat melihat Rag tersentak, sepertinya apa yang Claudia sampaikan tidak pernah terpikirkan olehnya. "Lalu, bagaimana dengan kakak-kakak pelayan di rumah? Melihat Kakak yang baru bekerja tidak sampai tiga bulan memakai baju mahal dan perhiasan mewah, mereka akan berpikir apa ya tentang Kakak? Pencuri? Tukang korupsi? Mengambil uang Tuan Muda? Penggo--ekhm!" Claudia langsung berdeham saat kata 'penggoda' hampir saja keluar dari mulutnya. "Raga pernah lihat berita di televisi tidak? Banyaknya kejahatan dan pembunuhan yang terjadi biasanya disebabkan oleh apa yang korbannya kenakan. Perhiasan mahal dan pakaian mewah hanya akan mengundang orang jahat jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, berbeda ceritanya jika Kakak pergi ke pesta atau acara forma
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t