"Saat ini kamu sebenarnya sedang merasa cemburu.""Cemburu?" tanya gadis itu dengan tatapan tak percaya. "Nggak mungkin!" elaknya seraya menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nadia cuma ngerasa kesal, bukan cemburu."Melihat putrinya itu tampak kekeh dan menepi semua kenyataan, Ratna tak bisa menyembunyikan senyumannya. Dilihat dari segi manapun gadis itu memang terlihat sangat cemburu. "Mungkin saat ini kamu memang nggak menyadarinya." Wanita itu menjeda ucapannya sesaat dan kembali menatap lekat putrinya sambil memasang tatapan mengejek, "Tapi orang lain jelas-jelas menyadarinya, Nadia."Wajah Nadia seketika langsung berubah karena ketidaksenangan yang muncul di dalam hatinya. 'Mana mungkin aku merasa cemburu?' batinnya. Mau sampai kapanpun dia tak mungkin jatuh hati pada pria dingin seperti Daniel, begitulah anggapannya.Namun entah mengapa sekarang dia justru merasakan detak jantungnya semakin kencang. Nadia pun menyentuh dadanya dan menundukkan kepala perlahan, sebelum akhirnya
'Apa Ibu benar?' batin seorang gadis yang kini duduk tepat di samping kursi pengemudi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah luar kaca mobil, terus berpikir sampai tak sadar kini telah sampai di rumah.Daniel yang bersiap untuk keluar itu tampak melirik Nadia, mengerutkan keningnya karena heran. Apalagi gadis itu tak bereaksi sama sekali."Kita sudah sampai," tuturnya.Meski Daniel telah berusaha untuk memanggilnya, Nadia benar-benar tak mengalihkan pandangannya sama sekali. Melihat itu, dia pun mendekat sembari memanggilnya lagi, "Nadia, kita sampai." Barulah gadis itu u tampak menoleh dengan raut wajah yang kikuk, "Ah, sudah sampai. Iya, aku akan segera keluar." Melihat itu, Daniel hanya bisa terdiam. Sebab sejak tadi sikap lawan bicaranya itu membuatnya bingung. Namun saat melihat gadis Itu tampak kesulitan untuk melepaskan sabuk pengaman, dia dengan cepat langsung mengulurkan tangannya agar bisa membantu. Seketika Nadia langsung terdiam membatu, jantungnya terasa pada tak semaki
"Sialan!" pekik seorang wanita sembari melemparkan tasnya dengan asal. "Gara-gara gadis sialan itu, mereka sekarang membenciku!" desisnya seraya duduk di sofa sambil mengacak-acak rambutnya perlahan. Monica merasakan keningnya berdenyut nyeri ketika memikirkan tentang berbagai cara yang harus dilakukannya agar bisa memisahkan Daniel dan Nadia. Bukan satu atau dua kali saja dia mencoba untuk melancarkan rencananya dan berharap itu semua akan berhasil. Meskipun memang pada akhirnya dia hanya mendapatkan hasil yang nihil mengingat mantan suaminya bahkan kini terlihat sangat membencinya.Hanya dengan mengingat hal itu saja telah berhasil membuat sesuatu yang ada di dalam dirinya mendidih karena marah. Dia pun mengepalkan tangannya dengan erat seraya mendesis pelan, "Kamu nggak boleh memperlakukanku seperti ini, Daniel. Kamu seharusnya mencintaiku dan tunduk dengan semua perintahku." Dengan sorot pandangan matanya yang tampak semakin tajam karena kebencian, dia kembali menambahkan, "Kamu s
"Apapun akan kulakukan demi bisa bersama denganmu, Daniel."Dengan senyum liciknya wanita itu segera meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang."Jalankan rencananya dan jangan sampai gagal."Tak perlu waktu lama sambungan telepon itu pun segera terputus. Monica tersenyum tipis sembari merebahkan punggungnya ke kursi dan menatap langit-langit sambil terkekeh pelan seraya berkata, "Mari kita lihat sekarang siapa yang akan memimpin dan akan kupastikan kamu menyesal, Daniel."*"Nadia, gaun pernikahannya sudah sampai, Nak." Martha melirik ke arah seorang gadis yang baru saja menuruni tangga dan tersenyum tipis. "Sini, kamu harus cobain dulu sebelum menggunakannya besok."Nadia yang mendengar itu segera mendekat, namun gadis itu diam-diam mengajarkan pandangannya karena belum melihat sosok Daniel. Dia pun membatin dengan kebingungan, 'Dimana dia? Tumben banget nggak kelihatan.'Meski dia mencoba untuk mencari sosok pria tampan yang sifatnya sedingin gunung es itu di seluruh
"Nah, bajunya kelihatan cantik dan pantas banget dipakai sama kamu," puji Martha, seraya tersenyum tipis dan menambahkan, "Kayaknya nggak ada yang perlu direvisi lagi." Wanita itu lantas mengalihkan pandangannya pada desainer yang sejak tadi menunggu dan berbincang.Sedangkan Nadia kini memilih untuk duduk karena pagi hari membuatnya seringkali merasa mual. Gadis Itu tampak mengedarkan pandangannya dan kini menangkap sosok seorang bocah kecil turun dari kamarnya.Sean tampak sumringah dan segera mendekatinya sambil berkata, "Kak Nadia, ayo main!" Dengan suara rengas hanya yang terdengar manja, bocah lelaki itu tampak menarik pelan tangan Nadia. Namun sebelum gadis itu bisa bereaksi, Marta lebih dulu menyelak dan langsung mengingatkan sang cucu, "Sean, mainnya sama yang lain dulu, ya? Kak Nadia masih sibuk," tuturnya.Mendengar itu, Sean seketika langsung berhenti merengek. Bocah lelaki itu justru mengalihkan pandangannya pada Nadia dan mengerutkan keningnya seraya berkata, "Kalau Kaka
"Tuan Muda?" Pelayan yang baru saja selesai membeli minuman Itu tampak mengerutkan keningnya dan mencoba untuk mencari bocah lelaki yang tadi ditinggalkannya. Dia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan hanya melihat bola milik Sean.Dengan cepat dia langsung mendekat dan meraih bola itu sambil mencoba untuk memanggil nama Sean."Tuan Muda, Anda ada dimana?"Meskipun beberapa kali dia mencoba untuk memanggil nama Sean, bocah lelaki itu tak merespon sama sekali.Kekhawatiran kini tampak menyelimuti wajahnya dengan jelas ketika sadar bahwa dia telah lalai dalam tanggung jawabnya dan membuat seorang bocah lelaki kini tak bisa ditemukan sama sekali.Minuman yang sejak tadi berada di tangannya itu seketika langsung terjatuh. Dengan panik dia langsung pergi tergesa-gesa untuk kembali ke mansion. Berharap tuan mudanya itu ada di sana. 'Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku bisa mati di tangan Tuan Daniel!'Di waktu yang sama, seorang wanita yang baru saja membawa Sea
"Aku tak akan segan untuk menyeret keluargamu jika sampai namaku itu kau sebut ketika ada masalah."Seketika wanita itu langsung merasa merinding ketika mendapatkan ancaman lagi dari Monica. Dia dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya patuh karena tak mungkin baginya untuk bersikap kurang ajar sebab nyawa serta masa depannya saat ini berada tepat di tangan Monica.Meski wanita itu memang cukup royal soal uang dan tak segan memberikan banyak uang ketika pekerjaan selesai dengan baik, Ada banyak hal yang perlu ditaati mengingat bahwa wanita itu memiliki sikap yang buruk. Monica bisa melakukan apapun jika dia merasa tersinggung.Setelah mengobrol cukup lama, wanita itu lantas memutuskan sambungan teleponnya dan menghela nafas perlahan sambil mengusap kulitnya yang masih merasa merinding sembari berkata lirih, "Gila ... dia bahkan nggak segan untuk mengancamku secara langsung seperti ini."Di tengah-tengah perasaannya yang saat ini tengah bimbang karena mendapatkan ancaman dari Monic
"Nadia, saat ini bukan waktunya bagimu untuk ikut campur dan mencari Sean. Biar Tante saja, kamu tunggu lah di sini."Nadia yang mendengar itu seketika langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat dan berkata, "Tante, Sean dalam tanggung jawab Nadia. Gimanapun juga, Nadia harus ikut mencarinya."Martha menghela napas perlahan sambil mengelus pelan pundak gadis itu dan mencoba untuk memperingatinya secara halus, "Nadia, Tante tahu kalau kamu pasti mengkhawatirkan Sean." Dia menatap lekat gadis itu sembari menambahkan, "Tapi, kamu juga harus mengingat tentang keadaanmu sendiri yang saat ini sedang hamil muda. Kamu nggak boleh kecapean apa lagi mengkhawatirkan sesuatu seperti ini secara berlebihan." Ada kekhawatiran yang jelas tampak di raut wajah wanita paruh baya itu dan Martha kembali menambahkan, "Semua orang di sini akan membantu untuk mencari Sean dan hal yang perlu kamu lakukan saat ini adalah menunggu."Meski Nadia sebenarnya ingin menolak dan mengatakan tidak karena bagaimanapun