Clarissa melemparkan ponselnya dengan asal ke atas meja karena kini dia menerima pesan dari Luna. Isi pesan tersebut seolah-olah membuatnya terpojok dan merasa marah."Padahal gue udah bilang kemarin, tapi mereka tetap aja ngotot buat nyalahin gue."Marah, itulah yang kini sedang dirasakan oleh Clarissa. Pandangannya kembali fokus ke depan karena saat ini ada dosen yang mengajar.Setelah memutuskan untuk menjauh sejenak dari kedua sahabatnya, Clarissa mencoba supaya tidak terlibat dengan siapapun lagi karena dia ingin menyudahi kecurigaan dari banyak orang.Walaupun memang tentu saja sulit karena selama ini dia sudah dianggap sebagai seorang tukang bully.Ketika Clarissa sedang merasa kesal seperti itu, tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik kursi tepat di sampingnya. Lalu duduk dengan santainya dan kini menatapnya."Lo beneran bukan pelakunya kan?"Clarissa memandang Alvin dengan tajam. "Gimana lagi caranya gue buat jelasin ke elo? Gue nggak mau bahas ini terus-menerus, Al."Jengah
"Apa kamu yakin dengan hasilnya?" Daniel kini mengangkat pandangannya dan menatap sang asisten yang baru saja memberikan informasi padanya mengenai sosok peneror misterius. "Jadi penerornya itu memang ada di sekitaran kampus?" tanyanya lagi.Dion menganggukkan kepalanya tanpa merasa ragu sama sekali karena memang sebelumnya dia sudah memastikannya berkali-kali sebelum memberikan informasi ini pada sang atasan.Setelah dia dan para bawahannya mencoba untuk mencari tahu mengenai sosok penerus misterius yang selama ini sudah mencoba untuk mengganggu Nadia, Dion menemukan beberapa hal dan ternyata sosok misterius itu berhasil dilacak keberadaannya setelah melakukan pesan terakhir pada Nadia. Alamat IP yang terlihat menunjukkan bahwa peneror misterius mengirimkan pesan dari lokasi kampus."Benar, Bos. Pihak kita sudah melacaknya berkali-kali dan memang lokasinya samar-samar berada di daerah kampus tempat Nyonya Nadia berkuliah."Daniel menghembuskan nafas berat karena memang sadari awal di
"Aku turun disini aja," tutur Nadia, sambil mengingatkan suaminya lagi karena dia memang tak mau diantar sampai ke dalam kampus.Seketika Daniel langsung menghentikan laju mobilnya dan beralih melirik sang istri dengan kening berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Kenapa? Bukannya sudah terlanjur juga mereka mengucapkan kamu? Lagi pula kalau mereka melihatnya secara langsung, mana mungkin mereka berani mengatakan sesuatu?"Daniel sudah merasa mual karena dia tahu dengan jelas istrinya itu berjuang sendiri dan melawan berbagai orang yang saat ini sedang mencoba untuk menekannya. Paling tidak dia ingin mengantar istrinya itu sampai ke dalam kamus karena kondisinya saat ini benar-benar lemah. Bahkan dia sudah mencoba untuk mencegah sang istri berangkat, sayangnya nasehatnya itu tak diterima karena dia saat ini tetap mau pergi ke kampusnya."Nggak apa-apa kok kalau aku turun di sini dan lagi pula nggak ada bedanya juga," tolak Nadia dan tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu merasa kha
"Jangan seperti ini, Kak. Kakak hanya akan menyakiti diri sendiri kalau terus menyukaiku."Alvin terdiam karena memang dari awal dia sudah memutuskan dan sakit hati seperti ini bukan apa-apa baginya. "Apa lo nggak mau ngasih gue kesempatan?"Nadia menggelengkan kepalanya perlahan karena percuma saja jika dia memberikan harapan palsu untuk seseorang. Dari awal juga dia sudah mencoba untuk memperingatkannya bahwa hubungan seperti ini tak akan pernah terjadi."Aku permisi dulu, Kak."Nadia segera berbalik pergi. Namun tiba-tiba saja seseorang mendorongnya dan hampir saja membuatnya jatuh. Untung saja Alvin dengan cepat langsung menangkap tubuhnya."Heh? Jalan nggak pake mata apa?! Hati-hati dong!" Alvin berseru marah, jika saja dia tak bisa menangkap Nadia, maka gadis itu pasti sekarang sudah terjatuh. "Lo nggak apa-apa, kan?" tanyanya sambil melirik Nadia.Nadia nggak lengkap kepalanya perlahan dan langsung menarik tubuhnya kembali. "Makasih banyak, Kak." Ada perasaan jagung yang kini
"Jadi apa yang kakak ketahui?" Nadia langsung to the point sambil menatap Clarissa karena dia tak mau membuang waktu lebih lama lagi. Clarissa yang duduk tepat di seberangnya itu juga menatapnya dengan serius dan kini pun berkata, "Gue nggak tahu pastinya tapi dari beberapa informasi yang udah didapetin, orang yang sengaja nyebarin informasi mengenai lo itu ada di kampus ini."Kening Nadia terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Kakak tahu informasi ini dari mana? Apa informasinya bisa dipertanggungjawabkan?"Meski Nadia memang sempat berpikir bahwa orang yang mengancamnya itu berada di kampus ini, tapi dia masih belum memiliki bukti yang cukup kuat dan tentu saja hanya akan membuatnya terlihat buruk karena mencurigai seseorang.Clarissa menghela nafas berat dan menganggukkan kepalanya perlahan. "Gue emang belum berhasil nemuin pelakunya. Tapi lo cukup tau ini aja."Nadia terdiam, sebenarnya apa maksud Clarissa?Bukan hanya merasa bingung tapi juga penasaran karena mem
Nadia masih saja melamun sambil memikirkan semua perkataan Alvin dan juga informasi yang sempat diberikan oleh Clarissa. Untuk saat ini dia memang masih belum menemukan benang merah yang menyambungkan masalah dengan Putri karena rasanya juga tak mungkin sama sekali.'Putri satu-satunya orang yang ada di pihakku saat itu dan percaya meskipun ada banyak berita buruk. Dia tetap bersama denganku dan bahkan mendukungku. Gimana mungkin dia bisa dicurigai seperti ini?' batinnya.Dia tak bisa curiga begitu saja pada Putri. Nadia masih belum yakin dan dia menerima informasi ini juga hanya setengah saja.Nadia buru-buru menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruk itu. Semakin dia memikirkannya maka semakin banyak pula kecurigaan yang muncul dan dia merasa bersalah karena Putri lah yang selama ini selalu ada di pihaknya.Nadia menghela nafas berat saat mobil yang ditumpanginya itu mulai memasuki area rumah. Dia segera turun dan kini terlihat mengerutkan keningnya karena keadaan di rumah
"Nadia, kamu kenapa kemarin nggak ngabarin aku?" Nadia merasakan seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya dan ketika menoleh, Putri sudah ada tepat di sampingnya. Dia hanya bisa tersenyum canggung dan bergeser sedikit supaya gadis itu bisa duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa, kok. Kemarin aku bahkan sambil lupa buat cek HP," kilahnya."Ooh, gitu? Syukur deh kalau emang nggak ada apa-apa."Pandangan Nadia masih saja mengarah tepat pada putri dan entah mengapa tiba-tiba saja sebuah perasaan yang diliputi oleh kecurigaan muncul dari dalam hatinya.Seharusnya dia tak merasa seperti ini hanya karena sempat mendengar dugaan Alvin. Tapi rasanya dia tak bisa diam saja ketika sang suami juga mengiyakannya.Apa Putri benar-benar bisa melakukan itu dan menjebaknya sampai seperti ini?Ketika Nadia sedang memikirkannya, Putri sadar sejak tadi sedang diperhatikan dan dia pun ikut menoleh. "Kenapa, Put? Dari tadi kamu ngeliatin aku serius banget.""Ah, nggak apa-apa. Cuma … menurut kamu gimana sam
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h