"Aku turun disini aja," tutur Nadia, sambil mengingatkan suaminya lagi karena dia memang tak mau diantar sampai ke dalam kampus.Seketika Daniel langsung menghentikan laju mobilnya dan beralih melirik sang istri dengan kening berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Kenapa? Bukannya sudah terlanjur juga mereka mengucapkan kamu? Lagi pula kalau mereka melihatnya secara langsung, mana mungkin mereka berani mengatakan sesuatu?"Daniel sudah merasa mual karena dia tahu dengan jelas istrinya itu berjuang sendiri dan melawan berbagai orang yang saat ini sedang mencoba untuk menekannya. Paling tidak dia ingin mengantar istrinya itu sampai ke dalam kamus karena kondisinya saat ini benar-benar lemah. Bahkan dia sudah mencoba untuk mencegah sang istri berangkat, sayangnya nasehatnya itu tak diterima karena dia saat ini tetap mau pergi ke kampusnya."Nggak apa-apa kok kalau aku turun di sini dan lagi pula nggak ada bedanya juga," tolak Nadia dan tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu merasa kha
"Jangan seperti ini, Kak. Kakak hanya akan menyakiti diri sendiri kalau terus menyukaiku."Alvin terdiam karena memang dari awal dia sudah memutuskan dan sakit hati seperti ini bukan apa-apa baginya. "Apa lo nggak mau ngasih gue kesempatan?"Nadia menggelengkan kepalanya perlahan karena percuma saja jika dia memberikan harapan palsu untuk seseorang. Dari awal juga dia sudah mencoba untuk memperingatkannya bahwa hubungan seperti ini tak akan pernah terjadi."Aku permisi dulu, Kak."Nadia segera berbalik pergi. Namun tiba-tiba saja seseorang mendorongnya dan hampir saja membuatnya jatuh. Untung saja Alvin dengan cepat langsung menangkap tubuhnya."Heh? Jalan nggak pake mata apa?! Hati-hati dong!" Alvin berseru marah, jika saja dia tak bisa menangkap Nadia, maka gadis itu pasti sekarang sudah terjatuh. "Lo nggak apa-apa, kan?" tanyanya sambil melirik Nadia.Nadia nggak lengkap kepalanya perlahan dan langsung menarik tubuhnya kembali. "Makasih banyak, Kak." Ada perasaan jagung yang kini
"Jadi apa yang kakak ketahui?" Nadia langsung to the point sambil menatap Clarissa karena dia tak mau membuang waktu lebih lama lagi. Clarissa yang duduk tepat di seberangnya itu juga menatapnya dengan serius dan kini pun berkata, "Gue nggak tahu pastinya tapi dari beberapa informasi yang udah didapetin, orang yang sengaja nyebarin informasi mengenai lo itu ada di kampus ini."Kening Nadia terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Kakak tahu informasi ini dari mana? Apa informasinya bisa dipertanggungjawabkan?"Meski Nadia memang sempat berpikir bahwa orang yang mengancamnya itu berada di kampus ini, tapi dia masih belum memiliki bukti yang cukup kuat dan tentu saja hanya akan membuatnya terlihat buruk karena mencurigai seseorang.Clarissa menghela nafas berat dan menganggukkan kepalanya perlahan. "Gue emang belum berhasil nemuin pelakunya. Tapi lo cukup tau ini aja."Nadia terdiam, sebenarnya apa maksud Clarissa?Bukan hanya merasa bingung tapi juga penasaran karena mem
Nadia masih saja melamun sambil memikirkan semua perkataan Alvin dan juga informasi yang sempat diberikan oleh Clarissa. Untuk saat ini dia memang masih belum menemukan benang merah yang menyambungkan masalah dengan Putri karena rasanya juga tak mungkin sama sekali.'Putri satu-satunya orang yang ada di pihakku saat itu dan percaya meskipun ada banyak berita buruk. Dia tetap bersama denganku dan bahkan mendukungku. Gimana mungkin dia bisa dicurigai seperti ini?' batinnya.Dia tak bisa curiga begitu saja pada Putri. Nadia masih belum yakin dan dia menerima informasi ini juga hanya setengah saja.Nadia buru-buru menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruk itu. Semakin dia memikirkannya maka semakin banyak pula kecurigaan yang muncul dan dia merasa bersalah karena Putri lah yang selama ini selalu ada di pihaknya.Nadia menghela nafas berat saat mobil yang ditumpanginya itu mulai memasuki area rumah. Dia segera turun dan kini terlihat mengerutkan keningnya karena keadaan di rumah
"Nadia, kamu kenapa kemarin nggak ngabarin aku?" Nadia merasakan seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya dan ketika menoleh, Putri sudah ada tepat di sampingnya. Dia hanya bisa tersenyum canggung dan bergeser sedikit supaya gadis itu bisa duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa, kok. Kemarin aku bahkan sambil lupa buat cek HP," kilahnya."Ooh, gitu? Syukur deh kalau emang nggak ada apa-apa."Pandangan Nadia masih saja mengarah tepat pada putri dan entah mengapa tiba-tiba saja sebuah perasaan yang diliputi oleh kecurigaan muncul dari dalam hatinya.Seharusnya dia tak merasa seperti ini hanya karena sempat mendengar dugaan Alvin. Tapi rasanya dia tak bisa diam saja ketika sang suami juga mengiyakannya.Apa Putri benar-benar bisa melakukan itu dan menjebaknya sampai seperti ini?Ketika Nadia sedang memikirkannya, Putri sadar sejak tadi sedang diperhatikan dan dia pun ikut menoleh. "Kenapa, Put? Dari tadi kamu ngeliatin aku serius banget.""Ah, nggak apa-apa. Cuma … menurut kamu gimana sam
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan