selamat pagi, sudah update ya. selamat membaca
"Dasar cewek gila!" Clarissa memaki sosok perempuan yang baru saja berlalu pergi. "Padahal gue nggak ngelakuin apa-apa, tapi dia malah nuduh kayak gini. Sialan!" desisnya.Dia memang sempat berencana untuk menghancurkan Nadia dan bagaimanapun caranya akan membuatnya keluar dari kampus ini. Tapi Clarissa benar-benar bukanlah seseorang yang mencoba untuk menyebarkan gosip murahan ini. Ketika Clarissa sedang memikirkan itu tiba-tiba saja dia merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Sontak dia langsung menoleh dan kini mendapati sosok Luna, sahabatnya.Luna memandangnya dengan tajam dan tanpa basa-basi sedikitpun langsung bertanya, "Apa lo yang nyebarin berita soal Nadia?""Apa? Heh, kenapa lo tiba-tiba nuduh gue kayak gini?"Freya yang juga ikut datang bersama dengan Luna, kini ikut berbicara karena sedari awal mereka semua sudah menduga bahwa masalah ini diciptakan oleh Clarissa. "Kan lo sendiri yang bilang bakalan pake segala cara buat bikin Nadia keluar dari kampus. Wajar dong kita
"Lo keterlaluan, Clarissa!" Bukan Freya yang berteriak, melainkan Luna. Dia merasa sangat kecewa karena perkataan Clarissa yang seolah merendahkannya. Napasnya kini memburu naik turun bersamaan dengan kekecewaannya yang semakin menggebu-gebu. "Apa lo sekarang lagi mencoba untuk meremehkan persahabatan kita bertiga dan juga ngerendahin gue sama Freya? Gila lo ya?!"Clarissa merasakan tubuhnya bergetar tapi dia tak berniat untuk meminta maaf sama sekali karena memang sudah terlanjur kecewa dengan Luna dan Freya.Dari awal dia sudah mencoba untuk tidak emosi, tapi kedua sahabatnya itu terus saja membuat emosinya jadi naik turun. Rasanya dia tak bisa bersabar lagi."Kenapa sekarang lo marah? Harusnya gue yang ngerasa kecewa karena nggak dipercaya."Luna mengepalkan tangannya erat. Namun ketika dia ingin mengatakan sesuatu lagi, Freya langsung mencegahnya dan menjadi penengah. Freya menggeleng pelan, lalu mengarahkan pandangannya ke Clarissa. Dari surat pandangannya itu memperlihatkan keke
"Apa? Jadi ada yang menyebarkan gosip soal kamu?" Daniel bertanya dengan nada khawatir. Dia menatap raut wajah sang istri yang terlihat sedih. Jelas Nadia pasti merasa tertekan karena masalah ini. Nadia menghela napas berat. Dia sebenarnya tak mau membebani suaminya karena masalah ini. Tapi dia harus menceritakannya karena ini bukanlah hal yang bisa ditanganinya sendiri dan dia membutuhkan bantuan dari Daniel.Nadia perlahan mengangkat kepalanya itu dan memandang suaminya sambil berkata, "Aku harus gimana? Aku takut kalau gosip ini terus menyebar dan sampai ke telinga dewan kampus."Bagaimanapun juga masalah ini harus segera diselesaikan.Daniel mencoba untuk menenangkan istrinya itu dan mengelus bahunya perlahan. "Aku akan cari solusinya. Gimana kalau kamu ambil cuti dulu sampai masalah ini melar?""Kayak ya itu bakalan bikin keadaan jadi makin buruk." Nadia segera menolak karena dia sudah bisa menebaknya. Gosip akan semakin membesar jika dia ambil cuti secara mendadak saat rumor te
"Eh, ssst! Itu dia, kan?" Ketika Nadia melewati beberapa mahasiswa yang saat ini sedang berkumpul, dia bisa mendengar mereka membicarakannya secara terang-terangan dan bahkan ada beberapa yang menunjuknya.Nadia mengepalkan tangannya dengan erat yang saat ini sedang memegang buku dan menundukkan kepalanya sedikit supaya bisa mengurangi rasa tertekannya itu.Putri yang ada tepat di sampingnya langsung berbisik sambil mencoba untuk mengurangi bebannya, "Nadia, mendingan kita langsung pulang aja.""Iya," jawab Nadia. Dia juga sudah merasa terlalu lelah untuk bertemu dengan para mahasiswa yang secara terang-terangan menekannya seperti sekarang.Namun sayangnya tak semudah harapannya karena Nadia kini menghentikan langkahnya sebab dihadang oleh seseorang."Lo mau pulang?" Alvin yang menghadangnya itu segera bertanya sambil memasang raut wajah khawatir karena bagaimanapun juga dia ingin melindungi Nadia. "Biar gue anterin sekalian," ungkapnya.Ada sebuah gejolak yang kini muncul di dalam ha
Nadia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan kini hujan mengguyur kota seolah-olah ikut merasa sedih akan hal buruk yang telah dialaminya sedari pagi. Dia menggigit bibir bawahnya perlahan supaya bisa menekan perasaannya dan tak lagi merasa terlalu sedih.Semenjak pulang dari kampus, Nadia langsung mengurung dirinya di kamar dan setelah membersihkan diri, dia langsung naik ke atas kasur. Kepalanya terus saja terasa berdenyut nyeri. Rasa sakit itu tentu saja berasal karena pikirannya yang semakin kalut. "Gimana caranya aku bisa menemukan pelakunya?" Nadia mulai bertanya pada dirinya sendiri, dia tak mau berada dalam keadaan seperti ini.Ada banyak impian yang ingin diraihnya dan salah satunya adalah berkuliah. Nadia sudah mendapatkan kesempatan dan dia hanya perlu menjalaninya selama beberapa tahun ke depan hingga lulus. Tapi apa ini?Bahkan sejak awal dia masuk ke kampus, sudah ada beberapa masalah yang menimpanya secara bersamaan.Ketika Nadia sedang memikirkan itu tiba-tiba saja pin
Clarissa melemparkan ponselnya dengan asal ke atas meja karena kini dia menerima pesan dari Luna. Isi pesan tersebut seolah-olah membuatnya terpojok dan merasa marah."Padahal gue udah bilang kemarin, tapi mereka tetap aja ngotot buat nyalahin gue."Marah, itulah yang kini sedang dirasakan oleh Clarissa. Pandangannya kembali fokus ke depan karena saat ini ada dosen yang mengajar.Setelah memutuskan untuk menjauh sejenak dari kedua sahabatnya, Clarissa mencoba supaya tidak terlibat dengan siapapun lagi karena dia ingin menyudahi kecurigaan dari banyak orang.Walaupun memang tentu saja sulit karena selama ini dia sudah dianggap sebagai seorang tukang bully.Ketika Clarissa sedang merasa kesal seperti itu, tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik kursi tepat di sampingnya. Lalu duduk dengan santainya dan kini menatapnya."Lo beneran bukan pelakunya kan?"Clarissa memandang Alvin dengan tajam. "Gimana lagi caranya gue buat jelasin ke elo? Gue nggak mau bahas ini terus-menerus, Al."Jengah
"Apa kamu yakin dengan hasilnya?" Daniel kini mengangkat pandangannya dan menatap sang asisten yang baru saja memberikan informasi padanya mengenai sosok peneror misterius. "Jadi penerornya itu memang ada di sekitaran kampus?" tanyanya lagi.Dion menganggukkan kepalanya tanpa merasa ragu sama sekali karena memang sebelumnya dia sudah memastikannya berkali-kali sebelum memberikan informasi ini pada sang atasan.Setelah dia dan para bawahannya mencoba untuk mencari tahu mengenai sosok penerus misterius yang selama ini sudah mencoba untuk mengganggu Nadia, Dion menemukan beberapa hal dan ternyata sosok misterius itu berhasil dilacak keberadaannya setelah melakukan pesan terakhir pada Nadia. Alamat IP yang terlihat menunjukkan bahwa peneror misterius mengirimkan pesan dari lokasi kampus."Benar, Bos. Pihak kita sudah melacaknya berkali-kali dan memang lokasinya samar-samar berada di daerah kampus tempat Nyonya Nadia berkuliah."Daniel menghembuskan nafas berat karena memang sadari awal di
"Aku turun disini aja," tutur Nadia, sambil mengingatkan suaminya lagi karena dia memang tak mau diantar sampai ke dalam kampus.Seketika Daniel langsung menghentikan laju mobilnya dan beralih melirik sang istri dengan kening berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Kenapa? Bukannya sudah terlanjur juga mereka mengucapkan kamu? Lagi pula kalau mereka melihatnya secara langsung, mana mungkin mereka berani mengatakan sesuatu?"Daniel sudah merasa mual karena dia tahu dengan jelas istrinya itu berjuang sendiri dan melawan berbagai orang yang saat ini sedang mencoba untuk menekannya. Paling tidak dia ingin mengantar istrinya itu sampai ke dalam kamus karena kondisinya saat ini benar-benar lemah. Bahkan dia sudah mencoba untuk mencegah sang istri berangkat, sayangnya nasehatnya itu tak diterima karena dia saat ini tetap mau pergi ke kampusnya."Nggak apa-apa kok kalau aku turun di sini dan lagi pula nggak ada bedanya juga," tolak Nadia dan tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu merasa kha