"Ayah nggak akan pernah membiarkanmu bisa menjalani hidup dengan tenang meskipun nanti sudah keluar dari penjara. Kamu akan terus diliputi oleh ketakutan serta rasa bersalah, Monica." Bagaskoro mengepalkan tangannya dengan erat. Tak segampang itu dia bisa memaafkan Monica. Uang, kekuasaan dan juga nama baiknya telah hancur. "Kamu tidak akan pernah bisa merasa bahagia. Tak akan pernah!"Setelah Bagaskoro menyelesaikan ucapannya dia langsung berbalik pergi, meninggalkan putrinya yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk.Tangan Monica terasa bergetar. Ternyata dia terlalu berhalusinasi sampai-sampai membayangkan ayahnya itu telah berubah.Seharusnya dia sadar bahwa ayahnya itu bukanlah orang yang mudah memaafkan dan tentu saja ambisinya sampai saat ini masih kuat. Jika saja ayahnya itu merupakan orang yang mudah memaafkan maka sudah bisa dipastikan kesalahan-kesalahan yang di masa lalu pasti sudah dimaafkan. Tapi nyatanya ayahnya itu bukanlah sosok pria yang hangat dan sekali dia me
Bab 290. Perhatian Alvin sesekali melirik ke arah Nadia. Pria itu tentu saja ingin menanyakan berbagai hal pada Nadia. Apalagi selama beberapa hari belakangan, Alvin mencoba untuk menjauhinya sesuai dengan keinginannya."Hei," akhirnya dia memberanikan diri untuk menyapa dan mendekati sosok gadis yang saat ini tengah menyantap makan siangnya.Kening Nadia terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling. Namun Putri justru membalas sapaan Alvin dan menawarkan, "Duduk dulu, Kak."Alvin yang merasa itu adalah kesempatan emas seketika langsung duduk dan sengaja berada tepat di samping Nadia. "Kalian ini kelihatannya makin klop ya? Biasanya kalau temen baru tuh susah nyari sesuatu yang sama. Kayak gue contohnya. Gue nggak suka sama orang yang cerewet dan–""Katanya nggak suka sama orang, tapi sendirinya malah banyak." Nadia dengan lugasnya mengatakan itu tanpa merasa bersalah sama sekali. Dia berharap perkataannya barusan berhasil menyadarkan Alvin dan membuat pria itu menjauh.Tapi Alvin j
Hujan mengguyur kota Jakarta dan cukup deras. Nadia terlihat melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya dan dia ingat dengan jelas kalau hujan seharusnya telah berhenti karena bulan ini telah memasuki masa-masa kemarau.Dia menghela nafas berat karena tak bisa langsung pulang ke rumah meskipun kelas-kelas selesai. Nadia memang mencoba untuk membiasakan dirinya untuk pulang pergi menggunakan taksi selama suaminya itu pergi.Walau Daniel telah memberinya fasilitas supaya menjadi jauh lebih mudah, Nadia menolaknya secara perlahan dan tentu saja karena alasan mengenai niatnya supaya tidak terlihat kaya di hadapan teman-teman satu kampusnya."Hm, gimana nih? Masa aku harus nunggu sampai hujannya?""Harus ditunggu dong. Paling nggak kita berdua jadi bisa ngobrol." Suara seorang pria terdengar tempat di telinga kanan Nadia.Ketika Nadia menoleh, dia mendapati sosok Alvin dan seketika langsung memasang tatapan tak suka. "Ngapain Kakak ada di sini?"Pertanyaan yang ber
Nadia menatap pantulan dirinya di cermin sambil mencoba untuk mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Dia kembali teringat kejadian beberapa jam yang lalu dan mendengus perlahan."CK! Bisa-bisanya aku percaya sama cowok mesum kayak gitu," lirihnya dengan perasaan kesal yang masih menyelimuti hatinya.Perempuan cantik itu merasa kesal karena dia hampir saja mengalami sesuatu yang mengerikan. Nadia awalnya tak berpikir kalau Alvin adalah pria yang mesum. Tapi ternyata dia salah kaprah dan perkataan ibunya memang benar, seharusnya dia tak percaya dengan pria manapun. Apalagi ketika sedang berduaan saja.Nadia mengenal nafas perlahan dan meletakkan hari terakhir yang telah selesai digunakan. Kini dia mulai menyemprotkan parfum ke beberapa titik tubuhnya.Meski Daniel tak ada disini dan pria itu masih sibuk meeting di luar kota, Nadia tetap ingin tampil cantik meskipun hanya untuk tidur. Sikapnya itu berubah banyak setelah hamil dan Nadia tak bisa menyangkalnya sama sekali kalau dia
"Argh!" Clarissa berteriak ketika kulit kepalanya itu terasa sangat sakit karena seseorang yang sedang menjambaknya itu terlalu kuat. "Pa … sakit! Lepasin Clarissa, Pa!" Dia mencoba untuk memohon dan memukul-mukul tangan ayahnya itu supaya melepaskan rambutnya. Tapi sang ayah tak mengindahkannya sama sekali dan semakin menyiksanya."Dasar anak sialan! Gara-gara kamu, hidupku hancur berantakan! Anak pembawa sial!"Pria paruh baya itu terus saja melampiaskan amarahnya tanpa pandang bulu dan saat ini matanya itu terlihat merah. Suasana semakin mencekam karena di luar sana memang masih hujan petir."Pa! Lepasin Clarissa," lagi, Clarissa mencoba untuk memohon dan berharap ayahnya bisa memberikan sedikit belas kasih.Tapi sayangnya itu semua percuma saja. Pria bernama Anton itu kembali menjambak rambut putrinya dengan kasar lalu menghempaskan tubuhnya hingga menabrak ujung meja.Clarissa meringis kesakitan. Punggungnya itu terasa remuk dan bisa dibilang dia dalam keadaan yang menyedihkan. K
Brak!"Bos, gawat!" Dion yang baru saja menerobos masuk ke dalam kamar Daniel, terlihat sedikit panik saat itu.Daniel yang sedang menyesap kopinya itu sambil membaca buku tampak menoleh dengan keningnya yang berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu. "Ada apa?" tanyanya. "Ini sudah malam tapi kamu masih berniat untuk menggangguku?"Dion menggelengkan kepalanya dengan cepat karena jika saja bisa dia juga tak mau mengganggu Daniel yang saat ini sudah ingin beristirahat. Tapi ini adalah masalah yang cukup penting."Ada Nona Chloe!"*Malam ini kota diguyur oleh hujan yang deras. Membuat semua orang memilih untuk menggulung tubuhnya ke dalam selimut supaya menjadi lebih hangat karena hawa dingin terasa menusuk-nusuk ke dalam tulang.Seorang perempuan cantik duduk dengan santai dan meletakkan cangkir teh ke atas meja. Dari caranya duduk saja dia terlihat sangat anggun dan berkharisma.Daniel, memicingkan matanya dengan tajam. "Ada masalah apa sampai datang kemari?"Daniel ingat dengan j
Martha datang pagi-pagi sekali karena dia memang ingin menengok keadaan cucu serta menantunya. Kemarin malam dia mencoba untuk menelepon Daniel dan baru tahu kalau ternyata putranya itu sedang dinas di luar kota selama 2 hari. Kemungkinan besar akan pulang nanti malam atau bahkan besok pagi."Nadia … Sean … kalian dimana?" Wanita paruh baya itu tampak celingukan dan segera meletakkan barang bawaannya. Sean yang mendengar suara sang nenek seketika langsung turun dari lantai atas. "Oma!" Sean dengan cepat langsung menubruk tubuh Martha dan memeluknya erat. "Oma kenapa baru datang ke sini sekarang?" Tanyanya karena dia memang merindukan anaknya itu."Duh, maaf ya. Oma akhir-akhir ini sibuk di butik. Jadi belum bisa nengokin cucu kesayangan ini," tutur Martha. Martha melirik ke arah sosok perempuan yang juga turun dari lantai atas. Nadia tersenyum tipis ketika melihat mertuanya itu dan langsung memeluknya erat."Mama apa kabar?""Baik! Baik! Kamu sendiri gimana, Nadia? Kok kelihatannya
Nadia lantas berbalik dan berniat untuk pergi. Tapi …Duk!Tanpa sengaja dia menabrak seseorang."Duh! Emangnya nggak bisa ya jalan pakai mata?!" Seseorang yang baru saja ditabraknya itu segera berucap dengan sinis.Nadia mengerutkan keningnya dan berniat untuk meminta maaf. Tapi saat pandangan mereka berdua saling bertemu, Nadia langsung terdiam."Kak Clarissa?" Entah karena kebetulan atau apapun itu, Nadia kembali bertemu dengan sosok perempuan yang merupakan rivalnya dan entah mengapa keadaan saat ini menjadi canggung."Elo? CK! Kenapa pas lagi liburan kayak gini aja harus ketemu sama elo sih?" Sungguh, ini adalah hari yang sial bagi Clarissa. Dia menatap penampilan Nadia dari bawah hingga atas dan tersenyum sinis. "Kok bisa sih ada pengemis yang masuk ke dalam mall? Kayaknya sekarang keamanannya udah nggak ketat lagi, ya?"Pertanyaan bernada mencemooh itu telah berhasil membakar sesuatu di dalam hati Nadia. Awalnya dia berniat untuk meminta maaf. Tapi ketika Clarissa menghardiknya
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h