Nadia lantas berbalik dan berniat untuk pergi. Tapi …Duk!Tanpa sengaja dia menabrak seseorang."Duh! Emangnya nggak bisa ya jalan pakai mata?!" Seseorang yang baru saja ditabraknya itu segera berucap dengan sinis.Nadia mengerutkan keningnya dan berniat untuk meminta maaf. Tapi saat pandangan mereka berdua saling bertemu, Nadia langsung terdiam."Kak Clarissa?" Entah karena kebetulan atau apapun itu, Nadia kembali bertemu dengan sosok perempuan yang merupakan rivalnya dan entah mengapa keadaan saat ini menjadi canggung."Elo? CK! Kenapa pas lagi liburan kayak gini aja harus ketemu sama elo sih?" Sungguh, ini adalah hari yang sial bagi Clarissa. Dia menatap penampilan Nadia dari bawah hingga atas dan tersenyum sinis. "Kok bisa sih ada pengemis yang masuk ke dalam mall? Kayaknya sekarang keamanannya udah nggak ketat lagi, ya?"Pertanyaan bernada mencemooh itu telah berhasil membakar sesuatu di dalam hati Nadia. Awalnya dia berniat untuk meminta maaf. Tapi ketika Clarissa menghardiknya
"Cih! Nyebelin banget," desis sosok wanita yang baru saja duduk sambil meletakkan barang-barang belanjaannya.Luna, sang sahabat tampak mengerutkan keningnya dan segera bertanya, "Lo kenapa kelihatan bete banget kayak gitu sih?"Clarissa memutar bola matanya dengan malas karena dia masih ingat dengan jelas kejadian beberapa waktu lalu dan rasanya hatinya itu masih terbakar."Gimana gue nggak kesel? Padahal gue pergi ke mall supaya bisa ngademin pikiran, tapi malah ketemu cewek sialan itu!""Maksud lo Nadia?""Iya lah! Emangnya siapa lagi cewek Sialan yang bikin gue emosi kayak gini selain dia?" Nafasnya masih ngos-ngosan dan kedua bola matanya itu terlihat memerah karena amarah yang masih belum bisa dipadamkan. "Gue nggak tahu inisial atau emang kebetulan, tapi dia ada di mall ini. Sekarang kayaknya orang udik udah nggak tahu diri, padahal buat makan aja susah tapi mereka sok-sokan buat pergi ke mall."Luna yang mendengar itu hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menyeruput minuma
Clarissa tersenyum licik dan perlahan mulai mendekatkan tubuhnya sambil berbisik untuk mengatakan semua rencananya itu.Mata Luna seketika langsung terbelalak dengan sempurna dan dia menarik tubuhnya kembali sambil memasang tatapan penuh keterkejutan. "Lo gila ya, Sa?! Kalau ketahuan gimana coba?""Ah, santai deh!" Clarissa mengibaskan tangannya dengan acuh. "Gue kan udah bilang, gue bakalan pakai cara yang cerdik. Gue nggak sebodoh itu sampai bikin kekacauan."Sebelum memutuskan untuk membuat rencana itu tentunya dia sudah memikirkan konsekuensinya nanti. Clarissa bukanlah orang yang bodoh dan tentu saja dia tak mau disalahkan nanti jika ada masalah yang terjadi.Luna menatap sahabatnya itu sambil menghela nafas berat. Rasanya percuma saja jika dia mencoba untuk bernegosiasi dengan sahabat karena Clarissa tak akan pernah mau mendengarkannya."Ya udah, gue mah ngikut aja deh."Clarissa tersenyum lega. Sekarang, dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan, dengan itu dia b
Bab 299. Chloe yang Licik Setelah Daniel selesai menelepon untuk memberikan kabar pada sang istri, dia langsung memutuskan panggilannya itu dan meletakkan ponselnya ke atas meja."Dion, bagaimana keadaan di luar?" Daniel segera melirik ke arah sang asisten pribadi yang berdiri tak jauh darinya. "Apa para wartawan masih berkumpul?" tanyanya lagi.Dion selaku sang asisten pribadi Itu tampak menganggukkan kepalanya perlahan dan jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam menyimpan rasa takut karena Daniel tetap bersikap tenang, tapi raut wajahnya itu memperlihatkan kemarahan yang pekat."Para wartawan masih berkumpul sepertinya mereka tidak akan pergi sebelum mendapatkan informasi dari Anda, Bos."Daniel menghela nafas berat dan meletakkan kedua tangannya itu di meja, lalu memangku dagunya. Dia tahu kalau kejadian seperti ini pasti akan terjadi dan tentu saja itu tak jauh dari rencana busuk Chloe."Bos, sekarang apa yang harus kita lakukan?" "Biarkan saja dulu. Kepulanganku terpaksa
Nadia mengaduk minuman di dalam gelasnya itu dengan pandangan kosong. Putri yang duduk tepat di hadapannya pun terlihat memandangnya dengan kebingungan."Nad, kamu ada masalah?"Nadia mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya."Kalau kamu emang gak ada masalah kenapa dari tadi malah bengong?""Uhm, nggak ada yang perlu dikatakan sih." Nadia masih mencoba untuk menutupi kebenarannya karena masalah ini menyangkut Daniel. "Cuma masalah keluarga aja," kilahnya."Oh … kalau kamu butuh tempat cerita jangan sungkan, ya."Nadia kembali menganggukkan kepalanya. Dia bersyukur karena memiliki teman seperti Putri. Walaupun memang saat ini sudah dekat, dia masih belum berniat untuk mengungkapkan yang sejujurnya."Woy, kenapa diem mulu dari tadi?" Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundak Nadia dan ketika menoleh, dia mendapati sosok Alvin.Melihat hal yang kurang menyenangkan itu, Nadia langsung memutar bola matanya dengan malas dan menghela nafas. Tapi Alvin menang
"Nadia! Tunggu, Nad!" Putri yang sejak tadi mengikuti dari belakang itu tampak ngos-ngosan karena Nadia memang terus melangkahkan kakinya dengan perasaan kesal.Akhirnya Nadia menghentikan langkahnya dan menghela nafas berat sambil berbalik menatap teman barunya itu. "Maaf, Put. Kayaknya aku nggak bisa nemenin kamu pergi ke perpustakaan hari ini."Dengan perasaan yang sedang campur aduk dan masih merasa kesal akibat mendengar pernyataan cinta dari Alvin, Nadia tak bisa menutup mata serta telinganya karena saat ini dia memang merasa sangat kecewa akibat perbuatan pria slengean itu."Nadia, aku tahu kalau kamu pasti sekarang lagi terkejut banget kan? Nggak apa-apa, kamu nggak perlu minta maaf." Putri melihat teman barunya itu sedang dilanda masalah dan tentu saja dia tak akan mempermasalahkan sesuatu yang kecil seperti ini. "Kamu pulang aja dulu buat nenangin. Jangan lupa buat ngabarin aku nanti, ya?"Nadia menganggukkan kepalanya perlahan dan dia segera berlalu pergi meninggalkan Putri.
"Monica, ayo makan dulu." Dewi menepuk pelan pundak sosok wanita yang sedari tadi terus melamun.Monica mengangkat kepalanya, dia menggeleng pelan. "Belum lapar, Tante."Tak mudah baginya untuk kembali hidup seperti biasanya setelah tahu kalau ayahnya itu enggan memaafkannya. Monica juga dari awal sudah bisa menebaknya, tapi kenapa rasanya sesakit ini?"Kamu emang nggak ngerasa lapar. Tapi kesehatan yang paling penting." Dewi kembali mengingatkan, "Katanya kamu mau ketemu sama anakmu. Kamu mau berteman dengannya dalam keadaan kayak gini?"Degh!Ada perasaan nyeri yang muncul di dalam hatinya. Seketika langsung tertampar oleh kenyataan yang ada. Benar, seharusnya dia tak larut dalam rasa sedih. Ada Sean yang menunggunya, ada kebahagiaan di luar sana. Walaupun memang ayahnya itu sempat mengutuknya dan mewanti-wanti, Monica tak akan pernah bahagia.Dengan sedikit terpaksa, Monica mengaduk makanannya itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasanya hambar, seperti biasanya. Tapi kali ini
Sosok penengah yang sejak tadi merasa bahwa keadaan semakin tak memungkinkan, langsung membuka suara karena dia memiliki tanggung jawab supaya pertemuan kali ini berjalan lancar. Pria itu seketika langsung menatap Daniel dan berkata, "Tuan Daniel, Anda pasti sudah tahu alasan mengapa diundang ke tempat ini. Saya harap, Anda bisa memberikan kesaksian yang serius dan juga jujur supaya masalah segera selesai."Setelah sosok penengah itu membuka suaranya, semua orang seketika langsung menatapnya.Daniel menganggukkan kepalanya karena dia juga tak mau membuang waktu lebih lama lagi hanya untuk mengurusi masalah seperti ini."Apakah Anda benar-benar melakukan pelecehan pada Nona Chloe?"Pertanyaan tanpa basa-basi itu seketika langsung dilontarkan pada Daniel.Daniel terdiam sejenak ketika semua orang menatapnya dengan rasa penasaran. Menyangkalnya tentu akan membuat keributan semakin besar. Tapi tentu saja dia tak mau membenarkannya karena memang tak melakukan hal keji seperti itu sama sekal
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h