maaf ya telat update teman-teman
Daniel membuka pintu kamarnya sambil mengendurkan kerah bajunya. Acara pernikahan berjalan dengan lancar dan dia kini telah pulang ke rumahnya.Sore tadi, Nadia pulang lebih dulu karena mengingat keadaannya yang tengah hamil dan tentu saja tak bisa berlama-lama sebab hal buruk bisa saja terjadi karena kelelahan.Suasana rumah sedikit sepi karena sudah malam. Daniel langsung menaiki tangga, menuju ke kamarnya.Samar-samar dia mendengar suara seseorang dari kamar. Tanpa ragu, Daniel langsung membuka pintu dan menatap sosok wanita yang kini telah sah menjadi istrinya itu."Nadia?!" Daniel segera mendekati gadis yang kini terduduk di sisi ranjang sambil meremas perutnya. "Apa yang terjadi? Bagian mana yang sakit?"Panik, itulah yang dirasakan oleh Daniel. Terlebih lagi, Nadia tampak sangat pucat seolah darah telah dikuras habis dari tubuhnya."Sa-sakit …" Nadia mendesis sambil menggigit bibir bawahnya. Perutnya tiba-tiba saja terasa sangat sakit dan dia tak bisa menahannya lagi. Keringat
Martha berlari dengan raut wajah panik. Dia sudah mendapatkan kabar mengenai Nadia dan langsung datang ke rumah sakit tanpa berpikir dua kali."Daniel!" serunya saat melihat sang putra yang berada tepat di depan ruangan pemeriksaan. "Bagaimana keadaan Nadia?" tanyanya lagi sambil melirik, jantungnya itu terus saja berdetak semakin kencang dan menambahkan, "Dia baik-baik saja kan?" "Dokter sekarang masih memeriksanya, Ma." Daniel terlihat sangat pucat karena memang saat ini dia tak tenang mengingat kondisi sang istri. Akibat kecelakaan tadi, Nadia harus mendapatkan luka di keningnya dan tentu saja itu merupakan hal buruk. Martha yang melihat putranya itu langsung memeluknya erat karena Daniel tak pernah terlihat seragam ini sebelumnya."Sudah, Mama yakin semuanya baik-baik aja." Dia mengelus pelan pundak anaknya, menenangkannya dan mencoba untuk menghiburnya walaupun itu percuma saja. "Sekarang, coba ceritakan semuanya sama Mama. Kamu nggak mungkin mengendarai mobil ugal-ugalan." Mart
"Ma, Daniel titip Nadia, ya?" Daniel menatap lekat sosok ibunya itu karena saat ini dia harus pergi untuk menghadiri sidang.Martha menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Kamu tenang aja Daniel. Mama akan pastikan semuanya baik-baik saja."Daniel bisa percaya sepenuhnya pada sang ibu dan dia kini kembali menatap lekat sosok sang istri yang terlelap di atas ranjangnya."Katanya Tante Ratna bakalan datang ke sini untuk melihat keadaan Nadia. Tolong Mama bantu supaya suasana jauh lebih kondusif."Daniel tahu dengan jelas bahwa ibu mertuanya pasti akan merasa sangat khawatir dan satu-satunya hal yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah mencoba untuk menenangkan Ratna.Marta menghela nafas perlahan karena sudah jelas bagi seorang ibu untuk merasa was-was saat mengetahui keadaan anaknya yang tiba-tiba saja mengalami kecelakaan."Iya, Mama tahu, kok."Daniel terdiam dan mengelus perlahan kepala Nadia. "Aku akan pastikan kamu mendapatkan keadilan atas semuanya, Nadia."*Daniel melangkahkan kak
"Ini tidak adil!" Bagaskoro berteriak dengan marah sambil menggebrak meja setelah dia mendengar hukuman yang diputuskan oleh hakim.Kilatan matanya yang dipenuhi dengan kemarahan itu segera mengarah tepat pada Daniel dan rasanya dia semakin membara ketika melihat mantan menantunya itu memasang raut wajah seolah-olah telah menang.Daniel yang melihat itu justru memalingkan wajahnya Karena dia sudah tak mau lagi bertatapan dengan Bagaskoro. Sudah cukup rasanya Dia memberikan banyak kesempatan pada pria paruh baya itu.Meski Bagaskoro sendiri sudah tahu dengan jelas bahwa dia akan kalah di persidangan kali ini tapi tetap saja rasanya tak terima selama sekali.Para polisi ini dengan sikap langsung mendekatinya. Tak ada lagi hal yang bisa dilakukan oleh Bagaskoro. Bahkan para wartawan mulai meliputnya.Di tengah-tengah keributan itu, Daniel hanya menatap mantan ayah mertuanya mulai digiring pergi. Ada perasaa lega yang kini muncul di dalam hatinya karena akhirnya orang yang bersalah telah d
Ratna masuk ke dalam ruangan rawat putrinya itu dan menatap sosok pria yang kini duduk tepat di samping ranjang Nadia. Daniel yang tahu bahwa ada seseorang datang seketika langsung menoleh dan berdiri dari kursi. Namun Ratna dengan cepat langsung mengangkat tangannya dan berkata, "Bisa kita berdua bicara sebentar di luar?""Bisa, Tante." Ada sedikit kebingungan yang mewarnai raut wajah Daniel, tapi dia tetap mengikuti langkah Ratna.Ratna duduk lebih dulu, sedangkan sang menantu yang baru saja menutup pintu ruangan Itu tampak berjalan mendekatinya dengan canggung."Duduklah," tuturnya lagi sambil melirik ke arah kursi yang masih kosong di sampingnya.Daniel menganggukkan kepalanya dengan cepat dan segera duduk tepat di samping mertuanya itu.Keadaan di antara mereka berdua saat ini terasa sangat canggung karena belum ada yang membuka mulut sama sekali.Ratna masih dalam perasaan yang diliputi oleh kegelisahan dan juga kekecewaan. Dia perlahan melirik ke arah menantunya itu dan menghem
"Aku baik-baik aja, kok." Nadia segera menggelengkan kepalanya itu ketika sang suami berniat untuk mengambil cuti lagi. "Lagi pula aku juga sudah pulang dari rumah sakit sejak kemarin, masa kamu terus-terusan libur?" Tanyanya balik.Daniel menatap istrinya itu sambil menghembuskan nafas perlahan karena memang dia belum bisa merasa tenang sepenuhnya."Apa kamu nggak suka aku menemanimu?""Eh?" Nadia tampak terkejut ketika mendengar pertanyaan itu dan dia buru-buru menyangkalnya. "Mana mungkin aku nggak suka? Jujur, aku juga merasa senang karena bisa menghabiskan waktu lebih lama sama kamu. Tapi prioritas kamu bukan cuma aku, kan?" Keningnya sedikit berkerut dan dia menghela nafas perlahan sambil berkata, "Masih ada perusahaan yang harus diurus."Daniel memanglah seorang pemilik perusahaan, namun rasanya tak etis jika dia terus-menerus mengambil cuti. Paling tidak, Nadia akan aman ketika berada di rumah. Terlebih sekarang ada banyak bodyguard yang dipekerjakan."Urusan pekerjaan ada Dion
Monica memijit pelipisnya yang masih terasa nyeri dan hampir seluruh kepalanya itu sangat sakit karena dia memang dijambak habis-habisan oleh para tahanan tanpa ampun sedikitpun.Dengan pandangan nanar yang dipenuhi dengan kemarahan, dia menata para tahanan yang saat ini tampak senang."Kenapa malah melotot, sialan?!" Rina kembali berteriak karena dia tak suka dengan sikap sombong Monica. "Udah diberi pelajaran. Tapi masih belum sadar juga, huh?!"Monica memicingkan matanya dengan tajam. Dia yang selalu melawan, kini tak bisa melakukan apapun karena rasanya benar-benar terpojokan.Dulunya dia memang selalu bisa membalas perlakuan buruk orang-orang di sekitarnya, jika merasa tak suka dengan mereka. Tapi sekarang apa yang bisa dia lakukan?Dia benar-benar sendirian dan tak ada siapapun yang mau menolongnya.Bahkan di dalam sel, semua tahanan membencinya.Tak ingin terus menerus mendapatkan masalah, Monica memilih untuk memalingkan wajahnya. Dia tak mau babak belur lagi karena sekarang pu
"Tutup mulutmu sebelum aku merobeknya!" Seketika wanita berambut pendek itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Dia merasa sedikit takut ketika mendengar ancaman secara langsung keluar dari mulut Monica. Tapi tentu saja dia bukanlah orang yang bodoh dan mencoba untuk memanasi keadaan kembali."Mbak, lihat itu! Bisa-bisanya dia berlagak di hadapan kita? Ini nggak bisa dibiarkan!"Rina merasa terpancing dan dia juga setuju. Monica memang masih saja bersikap arogan dan bertingkah seolah belum menyadari kesalahannya sendiri.Namun Monica yang mendapatkan tatapan tajam justru memicingkan matanya. "Kenapa? Apa aku tak boleh membela diri di saat ada banyak orang yang sekarang sedang mencoba untuk meremehkanku?" Dia mengepalkan tangannya dengan erat karena perasaan marah yang semakin menyelimuti hatinya secara perlahan. "Nggak masalah kalau kalian membenciku. Tapi jangan pernah mencoba untuk membahas lagi masa laluku dan bahkan menyangkut pautkannya dengan anakku. Kalian nggak pernah tahu
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h