selamat siang, sudah update ya. Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan komentar ya.
Bab 21. “Tidak perlu bagimu untuk mengkhawatirkan apa yang akan membebani diriku.” Daniel menyentuh kedua pundak Nadia, menegapkan tubuh gadis itu. Netranya mendarat pada perut calon istrinya tersebut. “Khawatirkanlah dirimu sendiri, terutama karena kamu sedang mengandung,” ucap Daniel. Nadia mengerjapkan matanya, merasakan fokusnya agak buyar karena tatapan Daniel membuatnya merasa sangat canggung. Dengan sebuah senyuman tipis, dia membalas, “S-saya mengerti.”“Bagus,” ucap Daniel sebelum menurunkan tangannya dari pundak Nadia. Saat itu, dia pun teringat akan satu hal penting yang lupa untuk dikatakan. “Mengenai kuliah, aku rasa hal itu harus ditunda.”Mendengar pernyataan Daniel, wajah Nadia seketika langsung diliputi dengan keterkejutan. Dia langsung memandang pria di hadapannya dengan pandangan tak percaya.“Apa?” Kentara ada kekecewaan dalam nada bicara gadis tersebut.“Sampai acara pernikahan kita selesai, barulah kamu bisa pergi," jelas Daniel saat menyadari pancaran mata Nadi
Bab 22"Hm, sebaiknya baju apa yang aku gunakan, ya?" gumam seorang gadis yang saat ini tengah menatap ke dalam lemari bajunya dengan wajah kebingungan. "Kayaknya kalau baju yang ini kurang pantas," lirihnya lagi saat meraih kaos polos berwarna putih. Hampir semua pakaian miliknya merupakan kaos polos dan juga celana jeans. Dia hanya memiliki satu pakaian formal dan itu pun tidak akan pantas digunakan untuk pergi keluar.Nadia menghela napas berat, entah mengapa gadis itu sekarang merasa sedikit menyesal karena tak pernah menyisihkan uang untuk membeli baju baru yang pantas. Dia tak pernah berpikir akan berada di posisi saat ini, menjadi calon istri seorang pria berkedudukan tinggi seperti Daniel.Di saat tengah memikirkan itu, seorang pelayan yang ditugaskan untuk membereskan kamar, tampak masuk ke dalam dan raut wajahnya terlihat masam. Dia memperhatikan Nadia yang sama sekali tidak menyadari kedatangannya.'Cih! Kok bisa-bisanya gadis kayak gitu berhasil menarik perhatian Tuan Dani
Bab 23"Jangan berani mengusikku karena aku bisa saja mematahkan tanganmu di kali berikutnya kamu bersikap kurang ajar padaku!”Mendengar ancaman Nadia, pelayan itu memasang wajah ngeri. Dia tidak menyangka Nadia yang biasanya bersikap tenang ternyata menyimpan sisi yang begitu mengerikan.Di saat itu, dia melihat sosok Martha dan Sean berjalan masuk ke dalam ruangan. Sepertinya, tuan muda Adhitama itu baru saja pulang dari sekolah."Eh, ada apa ini?" tanya Martha, wajahnya itu dipenuhi dengan keterkejutan. Sean yang tengah menenteng tas sekolahnya itu juga tampak terkejut dan menatap Nadia, "Kak Nadia kok berantem?"Sebelum Nadia bisa bereaksi, pelayan kurang ajar itu dengan cepat langsung memanfaatkan kedatangan Martha dan Sean. Dengan liciknya, dia langsung berpura-pura menjadi korban dan merengek sambil meneteskan air matanya. "Nadia, Kenapa kamu kasar seperti ini? Apa salahku?" Dengan wajahnya yang memelas, dia menatap Martha dan mencoba mencari dukungan darinya, "Nyonya, tolong
"Eh, lihat deh." Seorang perawat tampak berbisik pada rekannya. "Ganteng banget!" Pandangan mereka saat ini fokus menatap sosok pria tinggi dengan tubuh tegapnya yang proporsional. Dilihat sekilas saja, Daniel telah memancarkan aura yang mendominasi.Wajah para perawat itu tampak merona. Pemandangan indah seperti ini berhasil memanjakan mereka semua.Nadia yang berjalan tepat di sampingnya, menyadari itu. Dia lantas melirik untuk memperhatikan Daniel. 'Dia emang ganteng banget, sih. Kayak model terkenal,' batinnya. 'Pasang wajah datar saja tetap kelihatan ganteng dan bisa bikin banyak wanita tergila-gila padanya,' pikirnya lagi.Daniel yang sadar kalau wanita itu tengah memperhatikannya seketika langsung menoleh. Namun Nadia dengan cepat langsung membuang muka, mengingatkan dirinya sendiri dalam hati. 'Kamu mikir apaan sih, Nad?!' Jantung Nadia terasa berdebar kencang. Gadis itu memilih untuk menundukkan kepalanya agar bisa menyembunyikan wajahnya yang saat ini sangat mirip dengan to
“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanya Nadia yang sekarang berada di sisi Daniel. Tangan pria itu melingkar di pundak gadis tersebut, terlihat menenangkannya dari keterkejutan tadi. “Apa dia akan segera sadar?” tanya Nadia lagi.Dokter yang sedang melepaskan stetoskopnya menghadap Nadia dan Daniel. Sebuah senyuman lebar terpasang di wajahnya. "Perkembangan kondisi ibu Anda luar biasa. Seharusnya pasien tak lama lagi akan sadar sepenuhnya!"Mendengar penjelasan dari dokter, Nadia secara reflek langsung memeluk pria di sisinya. “Syukurlah!” teriaknya, tidak sadar bahwa Daniel sangat terkejut dengan tindakannya.Walau awalnya canggung, tapi melihat wajah gadis itu sangat bahagia, Daniel tak elak tersenyum. Dia pun mengulurkan kedua tangannya dan ingin membalas pelukan Nadia.Namun, saat pria itu berniat untuk membalas pelukannya, Nadia yang sadar langsung menarik dirinya dari Daniel. “M-maaf!” ucapnya seraya memalingkan wajah. Tanpa menyadari wajah penuh kekecewaan Daniel, Nadia memekik
"Di sini kamu rupanya, anak kurang ajar!" Nadia terbelalak melihat sosok yang sekarang tengah berada di hadapannya. Pria dengan wajah beringas dan pancaran mata mengerikan itu membuat tubuh gadis tersebut bergetar.Dengan tatapan tajam, pria asing itu melangkah maju, hendak meraih tangan Nadia. “Sini kamu!” bentaknya.Namun, gadis yang tengah ketakutan itu dengan cepat langsung ditarik mundur oleh Daniel. Pria itu pun menghadang pria asing itu dari menyentuh calon istrinya.Mata sang pria asing memerah, kentara masih berada di bawah pengaruh alkohol yang entah kapan dia minum. "Siapa kamu, hah?! Jangan ikut campur!"Daniel memicingkan matanya dengan tajam. "Seharusnya, saya yang bertanya. Anda siapa?” Pria itu melirik ke arah Nadia, mampu merasakan betapa kuatnya gadis tersebut menggenggam tangannya. Dia pun mengalihkan pandangan pada Handoko lagi. ‘Mungkinkah dia ….’“Aku ayah dari gadis itu!” ucap pria yang sebenarnya bernama Handoko itu. Bertahun-tahun dia berusaha menemukan gadis
“Kamu seumur hidup nggak pernah bantu Bapak, ya mahar ini kasih Bapak kamu nggak akan keberatan ‘kan?”Jantung Nadia berdetak kencang mendengar ucapan ayahnya itu. Amarah dalam hati menggebu-gebu, ingin sekali dia langsung menepis tangan ayahnya yang masih menempel di pundak Daniel."Apa Bapak nggak punya rasa malu?! Bapak tiba-tiba datang dan langsung memeras seseorang!""Diam kamu anak sialan!" bentak Handoko dengan tatapan nyalang.“Cukup.” Suara Daniel langsung membuat Nadia dan Handoko mematung. Mereka menoleh ke arah pria tersebut, memperhatikan ekspresinya yang tenang. “Nadia, percayalah padaku,” tegasnya, membuat Nadia menggigit bibirnya.Handoko yang marah mulai merasakan kesabarannya habis. “Haduh, udah deh, nggak usah lama-lama. Uangnya kasih aja sekarang!”"Kita bicara di luar,” tegas Daniel. “Dokter berkata Tante Ratna harus istirahat."Handoko melambaikan tangan acuh tak acuh. "Halah! Wanita nggak berguna itu juga cuma bisa tidur. Nggak usah dipikir–"Sebelum Handoko meny
"Nadia."Di saat mendengar suara bariton itu, Nadia yang sedang bersandar di tembok luar ruang inap ibunya mengangkat pandangan. Kala dia melihat Daniel, mata gadis itu membesar dan dia pun menghampiri pria tersebut dengan cepat.“A-apa kamu baik-baik saja?” tanya Nadia. “Apa Ayahku membuatmu kesulitan?"Daniel menggelengkan kepalanya perlahan. "Ayahmu sudah pergi."Mendengar itu, Nadia mengerutkan keningnya. Tidak mungkin ayahnya itu pergi begitu saja. "Apa kamu memberikan uang padanya?" tebak Nadia langsung.Bukannya menjawab pertanyaan Nadia, Daniel malah menggenggam tangan Nadia dan menariknya masuk ke dalam ruangan. "Tidak perlu kamu pusingkan. Yang jelas, pria itu tidak akan mengganggumu lagi.”"Tapi–"Nadia baru saja ingin membantah, tapi kala Daniel menoleh ke arahnya, gadis itu terdiam. Pria itu menyentuh wajah Nadia dan berkata, "Bukankah aku sudah bilang? Percayalah padaku, Nadia." Mata pria itu memancarkan ketegasan dan kelembutan di waktu yang bersamaan. “Serahkan semua me
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h