kasihan nggak sih sama Nadia? yang awalnya baik kini jadi malah membencinya
Bab 15‘Apa … jangan-jangan Daniel juga sama seperti Sean? Terkena hipnotis gadis itu?!’Namun, tanpa berpikir panjang, Martha pun ikut masuk bersama Hendrawan.Di dalam ruangan, Nadia tampak tengah duduk tepat di sisi ranjang. Wajah gadis muda itu terlihat pucat pasi karena dia sudah diberitahu lebih dulu oleh perawat mengenai kehamilannya.“Nadia,” panggil sebuah suara bariton yang familier di telinga gadis itu.Nadia menoleh, mendapati sosok Daniel yang menatapnya dengan wajah gelap. ‘Dia … pasti marah.’ Jantungnya berdebar kencang. ‘Pasti dia akan memecatku, atau mungkin memintaku menggugurkan kandungan ini,’ duga Nadia dengan pandangan diselimuti ketakutan mendalam. Bibir Daniel terpisah. “Kamu–”“Kak Nadia!” panggil Sean yang berlari kecil di belakang sang ayah. “Sean …,” panggil Nadia dengan tatapan kosong, masih belum sepenuhnya sembuh dari kekagetannya.Namun, sebelum Sean berhasil mencapai Nadia, bocah kecil itu langsung ditarik oleh sang nenek. "Nenek udah bilang tadi, kan
Bab 16"Daniel, apa maksudmu?" Mata Hendrawan menatap lekat sosok anaknya, meminta penjelasan atas perkataan pria itu barusan. Saat ini dirinya, Martha dan Daniel ada di luar ruangan Nadia. Mereka memutuskan untuk membiarkan Sean bersama Nadia di dalam sana. Tak ingin jika bocah kecil yang masih polos itu harus mendengar sesuatu yang begitu memberatkan pikirannya.Daniel menghela napas perlahan, dia merasa kurang nyaman ketika terus ditatap dengan tajam oleh kedua orang tuanya seolah-olah mereka tengah mengintimidasinya. Iris matanya yang hitam itu tampak sedikit ragu, sebelum akhirnya mengatakan semua yang terjadi antara dirinya dan Nadia." … Itulah yang sebenarnya terjadi diantara kami berdua," tutur Daniel.Mata Hendrawan membulat karena terkejut. "Apa?!" teriaknya tak percaya, seketika dia merasakan urat lehernya tegang.Begitu juga dengan Martha, wanita itu sampai tak percaya dengan penuturan anaknya dan hanya bisa menutup mulutnya. "Ya Tuhan ....," gumam wanita itu.Ketika tela
Di dalam mobil, Daniel tengah menyetir dengan Nadia di kursipenumpang. Tidak ada orang lain bersama mereka lantaran sopir dipersilakanpulang terlebih dahulu, sedangkan Sean ikut di mobil kakek-neneknya. Sepanjang perjalanan tak ada satu pun di antara merekaberdua yang memulai pembicaraan, keduanya memilih untuk diam. Baik Nadiaataupun Daniel, keduanya tengah sibuk dengan pemikirannya masing-masing.Di sisi Nadia, gadis itu masih belum percaya dengan niatDaniel untuk bertanggung jawab dan menikahinya. Dia merasa berat seolahmemiliki utang budi yang semakin besar.‘Karena rasa tanggung jawab dan dorongan Tuan dan NyonyaBesar, sekarang Tuan Daniel harus menikahiku.’ Nadia mengepalkan tangannya.‘Tidakkah hal ini membuatku seakan terlewat tamak. Bukan hanya aku menerimakesempatan berkuliah, tapi aku juga mengikatnya dalam pernikahan tanpa cinta?’Gadis itu mengerutkan keningnya. ‘Di posisi ini, bukannya kita berdua malahtidak akan bisa bahagia?’Semakin dipikirkan, Nadia semakin
Bab 18. Jangan Panggil Tuan“Jangan khawatir, mulai dari hari ini, semua yang kamu tanggung … adalah kewajibanku.”Kalimat Daniel sukses membuat mata Nadia seketika membulat. Dia tak menyangka pria itu akan mengatakan hal seperti itu. Melihat ekspresi Nadia, Daniel menautkan alisnya. “Bagaimanapun perasaanmu, suka atau tidak, kita akan menikah. Oleh karena itu,” pria itu menatap Nadia dengan saksama, “ belajarlah untuk menerimaku.”Nadia tersentak kaget begitu mendengar ucapan Daniel. 'Apa dia … salah paham dengan ucapanku?’ batinnya bingung. Gadis itu curiga bahwa pria di hadapan salah mengartikan kalimat yang dia ucapkan dan mengira dirinya dibenci. Kenyataannya, Nadia hanya merasa tidak layak. Status mereka jauh berbeda, seorang pengasuh kecil dengan latar belakang bermasalah serta seorang pebisnis ternama dengan latar belakang luar biasa.“Tu–” Baru Nadia ingin membenarkan ucapan pria itu, Daniel malah keluar dari mobil. Dia mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Nadia. Pria
Bab 19. Kenapa Begini?Pagi hari itu, Daniel baru saja kembali dari lari paginya. Dengan kaos tanpa lengan yang mempertontonkan lengan kekarnya, pria itu menyeka keringat dengan handuk yang diberikan oleh Anggun. Alis pria itu tertaut, tampak heran saat manik hitam gelapnya mendapati keberadaan mobil orang tuanya telah terparkir tepat di halaman rumahnya."Ayah dan ibuku datang?" tanya Daniel pada Anggun.Anggun menganggukkan kepalanya. "Benar, Tuan. Tuan dan Nyonya Besar baru saja datang. Mereka ada di dalam."Daniel menghela napas berat, menduga-duga alasan keduanya datang. Dia segera masuk ke dalam rumah dan mendapati kedua orang tuanya tengah meletakkan barang-barang di sofa. Daniel meliriknya sekilas dengan malas. "Kenapa Papa dan Mama datang pagi-pagi sekali?"Martha yang menyadari kedatangan anaknya itu seketika menoleh dan mengerutkan bibirnya. "Kok malah nanya kenapa, Niel? Mama dan Papa datang kemari buat ketemu Nadia," tuturnya. Wanita paruh baya itu kembali mengedarkan pan
Bab 20.'Sial, kenapa aku begini?!’Melihat Daniel memalingkan wajahnya, Nadia terlihat mengerutkan kening. Dia segera mengecek penampilannya, berpikir ada yang salah. Namun, dia tak menemukan kesalahan apapun. 'Aneh,' batin gadis itu seiring dirinya melangkah ke pinggir ruangan. Akan tetapi, mendadak tangannya ditahan seseorang.“Kamu mau ke mana?” tanya Martha dengan ekspresi bingung. “Duduk sini sarapan sama kita.”Nadia terbelalak. Dia menyapu pandangan orang sekeliling. Para pelayan yang ada di sana seketika terlihat kaget juga dengan ucapan Martha, tak menyangka bahwa selain Daniel, ternyata nyonya besar mereka juga menaruh perhatian kepada Nadia.“Kok malah bengong? Sini!” Martha menarik Nadia untuk duduk di sebelahnya.Setelah Nadia duduk, Martha dengan cepat langsung memanggil pelayan."Nad, kamu mau sarapan pakai apa? Kamu suka bubur atau roti? Atau kamu mau sarapan pakai nasi?"Mendapat berbagai tawaran secara mendadak, Nadia menjadi kalut dan bingung. Dia tersenyum dengan
Bab 21. “Tidak perlu bagimu untuk mengkhawatirkan apa yang akan membebani diriku.” Daniel menyentuh kedua pundak Nadia, menegapkan tubuh gadis itu. Netranya mendarat pada perut calon istrinya tersebut. “Khawatirkanlah dirimu sendiri, terutama karena kamu sedang mengandung,” ucap Daniel. Nadia mengerjapkan matanya, merasakan fokusnya agak buyar karena tatapan Daniel membuatnya merasa sangat canggung. Dengan sebuah senyuman tipis, dia membalas, “S-saya mengerti.”“Bagus,” ucap Daniel sebelum menurunkan tangannya dari pundak Nadia. Saat itu, dia pun teringat akan satu hal penting yang lupa untuk dikatakan. “Mengenai kuliah, aku rasa hal itu harus ditunda.”Mendengar pernyataan Daniel, wajah Nadia seketika langsung diliputi dengan keterkejutan. Dia langsung memandang pria di hadapannya dengan pandangan tak percaya.“Apa?” Kentara ada kekecewaan dalam nada bicara gadis tersebut.“Sampai acara pernikahan kita selesai, barulah kamu bisa pergi," jelas Daniel saat menyadari pancaran mata Nadi
Bab 22"Hm, sebaiknya baju apa yang aku gunakan, ya?" gumam seorang gadis yang saat ini tengah menatap ke dalam lemari bajunya dengan wajah kebingungan. "Kayaknya kalau baju yang ini kurang pantas," lirihnya lagi saat meraih kaos polos berwarna putih. Hampir semua pakaian miliknya merupakan kaos polos dan juga celana jeans. Dia hanya memiliki satu pakaian formal dan itu pun tidak akan pantas digunakan untuk pergi keluar.Nadia menghela napas berat, entah mengapa gadis itu sekarang merasa sedikit menyesal karena tak pernah menyisihkan uang untuk membeli baju baru yang pantas. Dia tak pernah berpikir akan berada di posisi saat ini, menjadi calon istri seorang pria berkedudukan tinggi seperti Daniel.Di saat tengah memikirkan itu, seorang pelayan yang ditugaskan untuk membereskan kamar, tampak masuk ke dalam dan raut wajahnya terlihat masam. Dia memperhatikan Nadia yang sama sekali tidak menyadari kedatangannya.'Cih! Kok bisa-bisanya gadis kayak gitu berhasil menarik perhatian Tuan Dani
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h