Malam hari di kediaman keluarga besar Nero setelah melakukan resepsi pernikahan. Acara resepsi yang digelar dari jam 19:00 sd 22:00 itu begitu melelahkan bagi Arini. Seluruh persendian tulangnya terasa sakit. Ditambah, pernikahan yang tidak seharusnya terjadi. Hal itu semakin membuat Arini lelah.
Demi menghilangkan rasa letihnya, Arini membersihkan diri. Setelahnya, ia duduk di sofa yang ada di kamar Dave. Lantaran begitu lelah, gadis itu langsung tertidur di sofa dengan pulasnya. Tak berselang lama, pintu kamar terbuka. Dave masuk.
Pria itu mendapati Arini sudah tertidur. Dave menghampiri Arini dan bermaksud memindahkan sang istri ke tempat tidur dengan perlahan. Dave takut jika tiba-tiba Arini terbangun. Tak disangka, gadis itu tidak bergerak sedikit pun. Dave sekilas melihat senyum yang tersirat di bibir gadis itu.
'Entah apa yang dia pikirkan sampai dia tersenyum dalam tidurnya?' pikir Dave.
Bukan cuma Arina yang kelelahan. Dave pun demikian. Dia berbaring di tempat tidur tepat di samping Arini. Tak lama, ia pun ikut terlelap. Pukul 00:23, Arini tiba-tiba terbangun. Gadis itu terkejut manakala melihat Dave tertidur di sampingnya.
Wajah mereka bahkan terlalu dekat hingga napas Dave terasa di kulitnya. Hampir saja Arini berteriak jika tidak secepatnya dia membungkam mulutnya dengan dua tangan. Dia takut membuat heboh seisi rumah jika berteriak. Gadis itu terus menutup bibirnya, berharap Dave tidak terbangun.
"Oh my God! Apa ini? Situasi macam apa ini? Dan di mana aku sekarang?" gumam Arini panik.
Arini mencoba bersikap tenang. Dia bangun dari tempat tidur, memilih untuk berpindah tempat untuk tidur di sofa. Belum sempat bangkit, tangan yang begitu hangat menyentuh bagian perutnya dari belakang. Benar saja, itu tangan Dave. Pria itu bahkan meraih Arini ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluknya. Anehnya, Arini hanya terdiam seolah-olah dia menikmati pelukan itu.
"Marisa," ucap Dave dalam tidurnya.
Dalam pelukan Dave, Arini merasa sedikit sulit untuk bernapas. Sampai butiran-butiran bening dari matanya mengalir di pipi, tapi dengan cepat ia segera menyekanya. Arini takut membasahi tangan Dave yang sedang mendekapnya.
'Marisa? Siapa Marisa? Mungkinkah lelaki pengantin pengganti ini sudah memiliki seseorang?' pikir Arini.
"Oh Tuhan ... cobaan apa apa lagi ini? Kemarin calon suamiku melarikan diri demi wanita lain. Lalu aku dinikahkan dengan lelaki ini. Lelaki yang bahkan juga sudah punya wanita yang dicintainya," keluh Arini.
"Marisa," kembali Dave menyebut nama itu dan Arini hanya diama saja.
Dave terlalu kuat mendekap Arini. Shingga Arini tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu hanya bisa pasrah dan mencoba menenangkan hatinya sampai dia tertidur dalam dekapan sang suami. Suami yang telah menikahinya sebagai lelaki pengantin pengganti.
Pagi yang indah ketika matahari bersenandung hangat dan langit membiarkan hamparan biru melebar ketika gunung-gunung terjaga diiringi lembutnya angin menyapa. Mentari pagi telah menyibakkan cahanya di ufuk. Malam telah meninggalkan seorang gadis di atas ranjang. Tidak tahu bagaimana hendak dikatakan lewat kata-kata. Arini terbangun masih dalam dekapan Dave. Dia berusaha melepaskan diri. Namun, sungguh semua sia-sia saja. Tanpa pikir panjang, gadis itu mencoba membangunkan Dave
"Ma ... Mas. Aih, susah memanggilanya," kata Arini terbata-bata. Suaranya berat. Gadis itu mencoba bergerak. Berharap bisa lepas dari pelukan Dave. Namun, beberpa kali mencoba, Arini baru bisa lepas ketika Dave pelan-pelan membuka matanya. "Akhirnya kamu bangun juga," kata Arini.
"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau memelukku, Arini?" tanya Dave terkejut melihat Arini berada dalam pelukannya.
"What? Di sini bisa dilihat siapa yang memeluk dan siapa yang dipeluk."
Dave berusaha menata pikirannya. Benar saja, memang saat ini dialah yang sedang memeluk Arini. Dia langsung melepaskan sang istri.
"I am sorry, Arini. Last night I was too tired. Sehingga tanpa sadar berbaring di sampingmu," jelas Dave. Namun, Arini tetap diam. "Aku akan mandi. Kau juga berbenahlah. Sebentar lagi kita akan sarapan bersama Abah dan Umi," kata Dave lagi. Kemudian dia bangkit melangkah ke kamar mandi.
Belum bisa menerima Dave membentaknya tadi, Arini hanya diam saja. Sampai dia memberanikan diri untuk bertanya pada Dave yang masih di ambang pintu kamar mandi.
"Emmm ... Ma-Mas ... siapa Marisa?" tanya Arini ragu-ragu.
Langkah Dave terhenti. Seketika raut wajahnya berubah menjadi sangat datar. Dia membalikkan badan dan menatap Arini.
"Apa maksudmu?"
"Si-si ... siapa Marisa?" tanyanya terbata-bata lantaran sedikit tertekan dengan sikap dingin Dave.
"Dari mana kau tahu nama itu?"
"Semalam kamu menyebut namanya saat tertidur."
Dave melangkah lebih mendekat ke arah Arini. Gadis itu kembali berbaring dengan Dave di atasnya.
"Arini. It is not your business. Lalu, tentang siapa Marisa, itu tidak ada hubungannya denganmu," tegas Dave memicingkan matanya menatap Arini. "Dari kemarin kau tidak pernah berbicara kepadaku. Namun, saat kau berbicara, kau justru mempertanyakan siapa Marisa. Arini, berhentilah bersikap seolah-olah kita ini pasangan suami istri yang saling mencintai. Jangan berpikir kau istriku, maka kau bebas bertanya masalah pribadiku."
Arini diserang rasa takut. Gadis itu begitu tertekan. Matanya terasa hangat. Sesaat kemudian, butiran bening jatuh membasahi pipinya.
"Ma ... maafkan aku. Aku … aku … sungguh, aku tidak bermaksud."
"Kau harus ingat! Aku menikahimu bukan karena cinta, melainkan karena Marvin yang kabur di hari pernimahan kalian. Ingat itu, Arini. Jangan menagis lagi. Berbenahlah lalu turun untuk sarapan. Abah dan Umi sudah menunggu," titah Dave.
Setelah meluapkan amarahnya terhadap sang istri, lelaki itu sedikit menyesal dengan perlakuannya. Namun, semua itu dilakukannya semata-mata agar hanya untuk membuat jarak di atara mereka. Dave takut jika dia baik terhdap Arini, maka gadis itu akan menyukainya. Dave sadar kalau dari awal, Arini bukanlah untuknya, melainkan untuk Marvin.
***
Sepasang suami istri yang baru saja menikah itu, bersama-sama menuruni anak tangga lalu melangkah ke arah meja makan. Di sana sudah ada Aldebarnd Nero dan istrinya Lina Nero. Saat berjalan, Dave merangkul pundak Arini. Perlahan, ia berbisik ke telinga gadis itu dengan suara sedikit menekankan.
"Berlakulah selayaknya kita ini pasangan suami istri yang bahagia di hadapan Abah dan Umi," katanya sedikit mencengkram bahu Arini. "Tersenyumlah," suaranya hampir tidak terdengar. Arini hanya mengangguk pelan. Menandakan dia menerima apa yang Dave katakan. Dave dan Arini kemudian duduk untuk ikut sarapan.
"Good morning, Dave, Arini," sapa Aldebarn.
"Morning, Abah," sahut Arini dengan senyum. Manis sekali. Namun, senyum itu hanya penuh dengan kepura-puraan.
"Bagaimana malamnya?"
"Ah ... huk ... huk!" Arini tersendat roti yang baru saja hendak ditelannya.
Melihat itu, Dave langsung memberikan gelas yang berisi susu hangat pada Arini.
"Pelan-pelan makannya. Minum susunya ya?" kata Dave bertingkah solah dia begitu perhatian terhadap Arini selayaknya pengantin baru yang bahagia.
"Kau tidak apa, Arini?" tanya Lina kemudian.
"Tidak apa-apa, Umi. Arini juga sudah minum."
Lina yang melihat putra dan menantunya terlihat bahagia itu, mengumbar senyum. Senyum bahagia seorang ibu kala menyaksikan kebahagiaan anak dan menantunya.
"Abah, enak ya pengantin baru. Saling perhatian. Serasa Umi pengen jadi pengantin baru lagi."
"Jadi maksud Umi, Abah sudah tidak perhatian sama Umi? Sebab, kita sudah lama menikah? Begitu maksud Umi?" Aldebarn menggoda istrinya.
"Ah. Bukan itu. Abah ini. Sudahlah, jangan merusak kebahagian mereka dengan berdebat di meja makan."
Puas menggoda istrinya Aldebarn menatap Dave.
"Dave. Abah harap kamu tetap berlaku seperti itu terhadap istrimu. Abah tidak ingin melihat kalian tidak bahagia. Jika ada masalah dalam rumah tangga, kalian harus menyelesaikannya dengan kepala dingin. Lalu ingat untuk menjaga rumah tangga tetap awet itu, kalian harus saling percaya.”
"Betul apa yang dikatakan Abahmu, Dave. Lihatlah Abah dan Umi. Masih bersama sampai sekarang. Itu semua karena di saat ada masalah, kami senantiasa saling terbuka."
Arini hanya terdiam. 'Oh, benar saja. Haruskah terus seperti ini? Kita kan cuma pura-pura saja. Untuk apa kita saling seterbuka itu?' pikir Arini.
"Arini. Apa kamu mendengarkan apa yang Abah dan Umi katakan?" tanya Lina yang membuat gadis itu kembali sadar atas lamunannya.
"Arini dengar Umi."
"Baiklah. Lanjutkan makan kalian. Abah dan Umi sudah selesai.” Aldebar bangkit disusul istrinya. "Dave. Hari ini kami akan pergi ke luar negri untuk bisnis dalam tiga bulan," jelas Aldebarn.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Dave.
"Ada bisnis yang harus Abah urus di sana. Semenjak kamu menduduki posisi pemimpin di perusahaan, Abah sudah tidak pernah melakukan pekerjaan di sana lagi. Itu karena semuanya sudah kau handle. Rasanya Abah merindukan pekerjaan itu, Dave. Jadi Abah putuskan untuk mengurus perusahaan yang ada di Amrika sekalian mencari adikmu, Marvin."
"Baiklah. Jika itu yang Abah inginkan," jawab Dave"
Arini langsung terkejut manakala mendengar nama 'Marvin' disebut oleh mertuanya. Kenapa harus menyebutkan nama itu? Dia begitu benci dengan nama itu. Marvin Nero. Nama seorang laki-laki yang membuat impianya tentang pernikahan yang bahagia telah hancur berkeping-keping.
******
Sebulan sejak pernikahan Dave dengan Arini, semenjak itu pula Dave jarang sekali pulang ke rumah. Dia hanya menghabiskan waktunya di perusahaan atau di club malam tempatnya dan ketiga sahabatnya sering berkumpul. Arini selalu kesepian sejak mertuanya pergi ke Amerika. Orang tuanyan juga sibuk dengan perusahaan mereka. Setiap harinya, gadis itu hanya ditemani Mbok Ijah, pembantu rumah tangga di rumah itu. Sesekali Dave pulang hanya untuk mengganti pakaian yang kotor dengan yang bersih. Dia juga sengaja menghindari untuk bertemu dengan Arini. Mungkin hanya dua sampai tiga kali Dave bertemu dengan gadis itu selama sebulan setelah pernikahan mereka. Itu pun ketika berpapasan saja seperti saat Dave hendak masuk ke rumah, sedang Arini keluar.Malam itu, tepat pukul dua puluh lewat dua puluh lima, Arini termenung sendiri di kamar. Sampai malam kian menghilang. Hening semakin nampak kesunyian. Hanya suara hati yang bising di telinganya. Tanpa ada tautan. Apalagi jawaban. Cahaya rembulan pun
Pukul tujuh lewat lima detik, Arini terbangun lagi dalam pelukan Dave. Wajahnya terlalu dekat dengan wajah lelaki itu. Sehingga dia merasakan hembusan napas lelaki itu. Dia terus memerhatikan wajah Dave. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak menentu. Gadis cantik itu kemudian membenamkan wajahnya di dada bidang Dave. Untuk sesaat gadis berparas cantik itu menikmati aroma mint. Aroma khas dari tubuh Dave. Untuk sesaat Arini terlena di dalam dekapan lelaki dingin yang begitu tampan, sebelum dia mulai tersadar kembali."Aargh!" Teriakan Arini membangunkan Dave.Dave yang terbangun karena terkejut langsung kalang kabut. "Apa? Apa? Ada apa, apa yang terjadi?" Melihat gelagat Dave seperti itu, tawa kecil keluar dari bibir mungil gadis itu. "Hei, kenapa kau tertawa? Di mana malingnya?" tanya Dave menyapu pandang seluruh ruangan."Maling?""Bukankah kau berteriak karena ada maling?""Ops!" Arini menutup bibirnya. "Sorry, i was just shocked so i shouted.""Kau ini. Padahal aku baru saja tertidur
"Ma-maafkan Arini, Mas," kata Arini segera menjauh dari Dave. Sedangkan Dave yang terkejut hanya diam mencoba menata kembali detak jantungnya yang tidak karuan.Namun, semuanya berlalu begitu saja ketika Dave dan Arini kini sudah berada di meja makan untuk makan malam dibantu Mbok Ijah. Selama makan malam berlangsung, keduanya hanya diam dan saling mencuri pandang satu sama lain. Tidak lama, Arini selesai makan terlebih dulu. Gadis cantik itu beranjak dari tempat duduknya bergegas ke kamar tidur.Di dalam kamar Arini merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Rupanya ada pesan yang masuk, pesan dari Keysia mengingatkan Arini tentang ulang tahun Morgan. "Hmm ... besok ulang tahun Morgan. Hadiah, bahkan pakaian pun aku belum sempat memilihnya. Semua itu karena lelaki brengsek itu."Puas bermain dengan ponselnya, Arini meletakannya di meja samping pembaringan, lalu mencoba memejamkan matanya. Sesaat berlalu, daun pintu kamar terbuka. Nampak Dave masuk, lalu duduk di sofa sudut kam
Sebuah tamparan mendarat di wajah seorang gadis cantik. Dia terpaku, tubuhnya bergetar. dia tidak menyangka seseorang akan menamparnya di hadapan banyak orang. Matanya tidak bisa berkutik, hanya air mata yang perlahan menetes dipipinya.Keysia dan Morgan yang melihat kejadian itu tidak berani ikut campur. Mereka takut pada Dave. Ya, siapa yang tidak takut dengan Dave, seorang Presdir dingin, kejam dan mendominasi yang tidak akan mengampuni lawannya.Saat ini, Dave sudah diselimuti amarah, dia menyeret Arini keluar dari Bar itu. Semua yang melihat hanya terdiam tidak dapat menolong lantaran takut terhadap Dave Nero sang Presdir kejam.Beberapa saat berlalu. Dave telah sampai di rumah dan mengendong Arini. Gadis itu meronta dan memukul pundak Dave."Lepaskan, lepaskan aku." Arini meronta.Mbok ijah yang melihat kejadian itu hanya mampu melihat saja. Ingin sekali rasanya dia menolong Arini, tetapi Mbok Ijah takut pada tuannya."Masalah apakah gerangan yang membuat tuan muda Dave dan nona
Sebuah mobil ferarry berwarna hitam memasuki pekarangan rumah keluarga Nero. Arini mendengar suara mobil berlari ke pembaringan, lalu meringkuk di sana. Bertambah takutnya gadis itu ketika pintu kamar terbuka dan seorang lelaki masuk menghampirinya."Tidak, jangan mendekat," teriak Arini."Arini, Maafkan aku," ucap Dave."Maaf? Setelah kau berlaku sedemikian kepadaku, kau dengan mudah meminta maaf?"Deve mendekat, lalu duduk di sisi tempat tidur. Sedangkan Arini memundurkan dirinya menjauh dari laki-laki itu."Arini dengarkan aku," kata Dave. Namun, gadis itu hanya diam. Dave kembali mencoba memberi penjelasan. "Arini, sejujurnya aku mulai mencintaimu?"Terbelalak mata Arini mendengar apa yang keluar dari mulut Dave barusan. Jantungnya berdegup kencang, ingin rasanya dia mengucapkan sesuatu. Tapi, itu tertahan di kerongkongannya. Gadis itu sungguh tidak menyangka kalau orang yang hampir memperkosanya menyatakan cinta padanya. Meskipun memang sudah tugasnya melayani suaminya."Arini, i
AmerikaLangit begitu cerah di langit Amerika. Di sebuah taman Central Park, seorang pemuda sedang merayu kekasihnya, "Dailyn, I love you," ucap lelaki itu."I love you to, Marvin.""Will you marry me?" tanya Marvin bersimpuh di lutut Dailyn."Yes, i will.""Terimah kasih, Dailyn. Tidak sia-sia aku mengejarmu ke Negri ini," kata Marvin bahagia.Sepasang kekasih yang tengah berbahagia itu kembali ke apartemen mereka, bersiap-siap untuk menikah di sebuah mesjid terdekat yang terdapat di kota itu. Mereka menikah tidak dihadiri oleh kedua orang tua Marvin, hanya kedua orangtua Dailyn yang hadir di saat itu sebagai saksi bersatunya dua insan yang saling mencintai."Marvin Nero, I will marry you to Dailyn Arabella Binti Farhan with a dowry and a set of prayer tools to be paid in cash?""I accept that the marriage of Dailyn Arabella Binti Farhan with the dowry was paid in cash"Setelah ijab kabul selesai kedua orang tua Dailyn memeluk putrinya, berganti memeluk menantunya. Saat itu Marvin be
"Mas ... Mas Dave," kata Arini lembut membangunkan lelaki yang sudah dua bulan menjadi suaminya. Suami yang awalnya hanyalah lelaki pengantin pengganti. Tetapi lelaki pengantin penggnti itu juga yang sudah mencuri hatinya, membuatnya bisa melupaknan rasa sakit di awal pernikahan. Pernikahan yang hampir gagal dan mencoreng nama baik keluarga."Aghh ...," leguh Dave."Mas Dave," kata Arini kian lembut. Dave membuka matanya pelan, lalu memberi senyuman selamat pagi pada Arini. "Mas ... Bangunlah. Kita sarapan bersama, Arini ingin ke rumah Ayah dan Bunda," lanjut gadis itu lagi.Dave hampir saja lupa bahwa semalam dia berjanji untuk mengunjungi mertuanya. Lelaki itu langsung bergegas dan berbenah. Begitupun dengan Arini. Baru keduanya sarpan, lalu seperti yang dijanjikan Dave, setelah sarapan dia membawa Arini ke rumah keluarganya.Gemercik suara kerikil terlindas ban mobil terdengar ketika mobil Dave sudah berada di depan pagar rumah orangtua Arini. Arini dan Dave disambut hangat oleh k
Pagi hari Dave cepat-cepat ke perusahaan dan tidak sempat sarapan meski Arini sudah menawarinya. Dave hanya memberikan satu kecupan yang melayang di kening Arini.Entah apa yang membuat Dave begitu terburu-buru seperti itu, Arini juga tidak bertanya, 'mungkin hanya masalah pekerjaan yang mendesak,' pikir Arini.~Love is the way you want me, jangan kau pergi jauh, L.o.v.e is the way yo want me, tak perlu kau ulang-ulang lagi.~ (Dering ponsel Arini)."Assalamualaikum, Umi,' sapa Arini ketika panggilan tersambung."Waalaikumsalam, Apa kabar, Arini. Arini sehat?" sahut Lina di ujung telfon."Arini sehat, Umi!""Bagaimana? Bahagia kah, tidak kah, Arini menikah dengan anak Umi?""Arini bahagia, Umi. Mas Dave baik terhadap Arini.""Umi minta maaf pada Arini""Sudahlah, Umi. Tidak perlu dibahas lagi. Arini tidak mempermasalahkannya. Kapan Umi dan Abah kembali?""Umi belum tahu, Abah dan Umi berencana tinggal lebih lama sampai anak Umi yang kabur itu ditemukan."Arini terdiam sejenak, dan perc
Di perusahaan Dave bekerja seperti biasanya. Tiba-tiba daun pintu ruangan terbuka, Arvin masuk dan menyapa Dave. Dave membalasnya. Namun, laki-laki itu tetap sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di tangannya."Apa yang membwamu kali ini?" Dave menghentikan pekerjaannya, lalu bertanya pada Arvin."Hanya ingin berkunjung saja," jawab Arvin sembari langsung duduk di sofa yang ada di ruang kerja Dave."Oo ...." Dave kembali bertanya "Bagaimana dengan rumah sakit ayahmu?""Sebagai satu-satunya pewaris perusahaan, tentunya rumah sakit Damian akan menjadi tanggung jawabku." Arvin Damian menjawab sambil menghela napas panjang. Sebenarnya laki-laki itu datang untuk mencurahkan keluh kesahnya pada Dave. Dan sebagai sahabat, Dave menjadi pendengar yang setia.Sebentar, Arvin pamit setelah puas meluahkan isi hatinya, terlebih saat ini Arvin adalah salah satu dokter terkenal dan juga satu-satunya pewaris perusahaan Damian. Perusahaan itu juga memiliki sebuah rumah sakit terbesar di kota Metropoli
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dave, Arini tersipu. Wajahnya semakin merona, jantungnya berdetak tidak menentu."Tapi, jika Arini tidak mengijinkan Mas, Mas akan ber-." Arini memotong perkataan Dave. "Huss! Arini istri Mas, Mas berhak atas Arini," ucap Arini seraya membungkam bibir Dave dengan telunjuknya."Sungguh Arini tidak keberatan?" tanya Dave. Arini tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil mengangguk pelan menandakan bahwa dia mengijinkan Dave untuk melakukan apa saja yang Dave inginkan. Toh dia adalah seorang istri, dan harus melakukan tugas dan kewajibannya. "Jika Arini terpaksa, Mas tidak akan melakukannya.""Mas, lakukanlah. Arini ikhlas sepenuh hati."Setelah mendapat persetujuan Arini, Dave yang sudah berusaha menjaga kewarasannya sejak tadi akhirnya jatuh juga. Laki-laki itu, menjatuhkan ciuman di bibir Arini. Gadis itu hanya diam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ada sebuah desiran yang mengalir di aliran darahnya."Pertama kali Mas Deve menyentuh bibir
Perkataan Arini membuat Dave tersadar akan prilakunya. Dave mengatur napas dan meredam emosinya, baru berbalik menatap gadis di sampingnya yang terlihat seperti kebingungan bahkan sedikit takut padanya.Saat Dave mencoba meraih pipi Arini, gadis itu sedikit mundur."Ma-Mas Dave," ucap Arini terbata-bata."Maafkan Mas, Arini." Kata maaf yang keluar dari bibir Dave tidak membuat Arini berdelik sedikitpun. Gadis itu diam dan terus menatap Dave dengan tatapan seolah takut terhadap laki-laki itu.Dave sendiri tidak igin larut dalam situasi yang seperti itu, maka dia langsung saja mengemudikan mobil untuk pulang ke rumah. Dan selama di perjalanan, Arini tidak berucap apapun. Dia hanya menatap wajah Dave yang begitu serius mengemudi seakan mencari tahu mengapa Dave tiba-tiba marah.Setibanya di rumah, Arini langsung turun dari mobil tanpa mengucap sepata kata pun pada Dave. Meski Dave mencoba untuk mamnggilnya, tetap saja gadis itu berlalu.Di kamar Arini merabahkan tubuhnya. Gadis itu masih
"Mas Dave," kata Arini lembut seperti biasa."Ada apa, Arini?""Boleh Arini bertanya?""Apa itu, Arini.""Mas Dave," kata Arini sedikit ragu. "Siapa tamu itu?" tanyanya kemudian."Bukan siapa-siapa," jawab Dave singkat dengan nada datar."Tapi.""Arini, aku sudah selesai, Arini lanjut sarapan sendiri." Dave beranjak meninggalkan Arini sendiri. Sedangkan mbok Ijah yang sejak tadi menunggu di di pintu masuk ruang dapur segera menghampiri Arini setelah memastikan kalau Dave sudah pergi. Wanita paruh baya itu mendekati Arini seraya meraih jemari Arini, dia tahu kalau Arini sedikit kesal lantaran Dave menjawab pertanyaannya dengan nada datar. Laki-laki itu bahkan meninggalkannya sendiri di meja makan."Sabar, Nona Arini," ucap mbok Ijah."Mbok." Arini mendongak menatap mbok Ijah. "Memangnya siapa yang datang, Mbok? Kenapa Mas Dave tiba-tiba berubah seperti itu?" tanyanya kemudian."Maafkan Mbok, Non. Mbok tidak berani, sebaiknya nona Arini jangan bertanya lagi." Mbok Ijiah tidak ingin ikut
Malam hari, seperti biasa Arini menunggu kedatangan Dave dari perusahaan sambil menyiapkan makan malam, lalu Arini duduk di meja makan. Namun, beberapa waktu berlalu, Dave tidak kunjung datang. Arini juga sudah menghubungi Dave, tetapi tidak ada jawaban.Malam kian larut. Dave belum juga pulang. 'Mas Deve, ke mana kamu, kenapa belum pulang?' Batin Arini begitu khawatir. Gadis itu melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 22:10 malam.Mbok Ijah yang melihat Arini menunggu merasa prihatin, terlebih makanan di meja juga sudah dingin."Mbok, nanti kalau Mas Dave kembali, panaskan saja makanannya. Arini ngantuk, Mbok. Sudah kepengen tidur," kata Arini kepada mbok Ijah."Baik, Nona Arini," jawab mbok Ijah.Arini beranjak dari duduknya lalu masuk ke kamar. Sungguhpun dia sudah lelah menunggu begitu lama. Namun, Dave tidak juga muncul. 'Semoga suamiku dalam lidungan Sang Pencipta,' ucap Arini dalam hati sembari menghela napas, baru dia merebahkan diri di pembaringan.Sementara itu, di w
Pagi hari Dave cepat-cepat ke perusahaan dan tidak sempat sarapan meski Arini sudah menawarinya. Dave hanya memberikan satu kecupan yang melayang di kening Arini.Entah apa yang membuat Dave begitu terburu-buru seperti itu, Arini juga tidak bertanya, 'mungkin hanya masalah pekerjaan yang mendesak,' pikir Arini.~Love is the way you want me, jangan kau pergi jauh, L.o.v.e is the way yo want me, tak perlu kau ulang-ulang lagi.~ (Dering ponsel Arini)."Assalamualaikum, Umi,' sapa Arini ketika panggilan tersambung."Waalaikumsalam, Apa kabar, Arini. Arini sehat?" sahut Lina di ujung telfon."Arini sehat, Umi!""Bagaimana? Bahagia kah, tidak kah, Arini menikah dengan anak Umi?""Arini bahagia, Umi. Mas Dave baik terhadap Arini.""Umi minta maaf pada Arini""Sudahlah, Umi. Tidak perlu dibahas lagi. Arini tidak mempermasalahkannya. Kapan Umi dan Abah kembali?""Umi belum tahu, Abah dan Umi berencana tinggal lebih lama sampai anak Umi yang kabur itu ditemukan."Arini terdiam sejenak, dan perc
"Mas ... Mas Dave," kata Arini lembut membangunkan lelaki yang sudah dua bulan menjadi suaminya. Suami yang awalnya hanyalah lelaki pengantin pengganti. Tetapi lelaki pengantin penggnti itu juga yang sudah mencuri hatinya, membuatnya bisa melupaknan rasa sakit di awal pernikahan. Pernikahan yang hampir gagal dan mencoreng nama baik keluarga."Aghh ...," leguh Dave."Mas Dave," kata Arini kian lembut. Dave membuka matanya pelan, lalu memberi senyuman selamat pagi pada Arini. "Mas ... Bangunlah. Kita sarapan bersama, Arini ingin ke rumah Ayah dan Bunda," lanjut gadis itu lagi.Dave hampir saja lupa bahwa semalam dia berjanji untuk mengunjungi mertuanya. Lelaki itu langsung bergegas dan berbenah. Begitupun dengan Arini. Baru keduanya sarpan, lalu seperti yang dijanjikan Dave, setelah sarapan dia membawa Arini ke rumah keluarganya.Gemercik suara kerikil terlindas ban mobil terdengar ketika mobil Dave sudah berada di depan pagar rumah orangtua Arini. Arini dan Dave disambut hangat oleh k
AmerikaLangit begitu cerah di langit Amerika. Di sebuah taman Central Park, seorang pemuda sedang merayu kekasihnya, "Dailyn, I love you," ucap lelaki itu."I love you to, Marvin.""Will you marry me?" tanya Marvin bersimpuh di lutut Dailyn."Yes, i will.""Terimah kasih, Dailyn. Tidak sia-sia aku mengejarmu ke Negri ini," kata Marvin bahagia.Sepasang kekasih yang tengah berbahagia itu kembali ke apartemen mereka, bersiap-siap untuk menikah di sebuah mesjid terdekat yang terdapat di kota itu. Mereka menikah tidak dihadiri oleh kedua orang tua Marvin, hanya kedua orangtua Dailyn yang hadir di saat itu sebagai saksi bersatunya dua insan yang saling mencintai."Marvin Nero, I will marry you to Dailyn Arabella Binti Farhan with a dowry and a set of prayer tools to be paid in cash?""I accept that the marriage of Dailyn Arabella Binti Farhan with the dowry was paid in cash"Setelah ijab kabul selesai kedua orang tua Dailyn memeluk putrinya, berganti memeluk menantunya. Saat itu Marvin be
Sebuah mobil ferarry berwarna hitam memasuki pekarangan rumah keluarga Nero. Arini mendengar suara mobil berlari ke pembaringan, lalu meringkuk di sana. Bertambah takutnya gadis itu ketika pintu kamar terbuka dan seorang lelaki masuk menghampirinya."Tidak, jangan mendekat," teriak Arini."Arini, Maafkan aku," ucap Dave."Maaf? Setelah kau berlaku sedemikian kepadaku, kau dengan mudah meminta maaf?"Deve mendekat, lalu duduk di sisi tempat tidur. Sedangkan Arini memundurkan dirinya menjauh dari laki-laki itu."Arini dengarkan aku," kata Dave. Namun, gadis itu hanya diam. Dave kembali mencoba memberi penjelasan. "Arini, sejujurnya aku mulai mencintaimu?"Terbelalak mata Arini mendengar apa yang keluar dari mulut Dave barusan. Jantungnya berdegup kencang, ingin rasanya dia mengucapkan sesuatu. Tapi, itu tertahan di kerongkongannya. Gadis itu sungguh tidak menyangka kalau orang yang hampir memperkosanya menyatakan cinta padanya. Meskipun memang sudah tugasnya melayani suaminya."Arini, i