Anisa bangun dari duduknya, lalu menghampiri Bara. "Mas Gara kenapa?" Ia sangat panik melihat laki-laki yang ia cintai berteriak. "Mmm ... maksudku Mas Bara," ucapnya pelan.
"Maafkan kami yang sudah membuatmu berada di situasi sulit ini," ucap Gara sembari mengatupkan kedua tangannya.
"Kenapa Abang yang minta maaf? Yang salah itu aku, telah masuk ke dalam hubungan kalian."
"Cinta tidak akan pernah salah hanya waktunya saja yang tidak tepat."
"Maafkan aku, Bang."
"Akulah awal dari permasalahan ini. Andai saja dulu aku lebih memerhatikan Nisa, meluangkan sedikit waktu untuknya, mungkin kamu tidak akan ada niat untuk menghilangkan rasa sepinya. Terima kasih kamu telah membahagiakannya selama ini." Gara menepuk bahu adiknya pelan.
"Sudahlah jangan diungkit lagi! Lupakan aku! Kita jalani hidup masing-masing, itu lebih baik untuk kita semua."
"Sayang, apa kamu memaafkanku?" Mata Bara berbinar mendengar ucapan Anisa yang seolah-olah te
Wanita cantik itu terus memerhatikan kekasihnya. Ia menjadi sangat khawatir dengan keadaan Bara.Tak terasa air mata pun menetes ketika melihat laki-laki itu terlihat sangat lemas. Walau ia membenci Bara, tapi tidak dipungkiri kalau dirinya juga sangat mencintai laki-laki itu.Wanita cantik itu buru-buru mengusap air matanya saat Bu Eni berjalan menuju rumahnya.Bu Eni mengetuk rumah Anisa. "Anisa, cepat keluar, Nak!"Dengan tangan gemetar, Anisa membuka pintu. "Ada apa, Bu?" Ia berpura-pura tidak tahu."Ibu mau mengantar orang kota itu ke puskesmas, kasihan dia, tubuhnya sangat lemah. Nanti tolong nyalakan lampu jika Ibu pulang lama.""Iya, Bu," jawab Anisa pelan.Pandangannya tertuju pada Bara yang sedang di bawa masuk ke dalam mobil. Laki-laki yang dicintai itu terlihat tidak berdaya saat Gara dan sopirnya membantunya masuk ke dalam mobil."Kamu kenal mereka kan, Nak? Nanti susul ke puskesmas ya! Kasihan mereka tidak t
Tanpa merespons ucapan Gara, Anisa bergegas masuk ke dalam untuk menemui Bara."Bu, saya ucapkan banyak terima kasih karena sudah membantu kami." Gara menunduk hormat kepada wanita yang telah menolongnya setelah Anisa masuk."Tidak apa-apa, Tuan, sudah sepantasnya kita saling membantu.""Saya mohon jangan panggil Tuan, panggil saja Gara!""Baik, Nak Gara," balas Bu Eni dengan ramah."Ibu mau pulang? Mari saya antar!""Biar sopir saya saja yang mengantar Ibu ... maaf namanya siapa, Bu?" tanya Tuan Indra yang baru bergabung dengan mereka."Nama saya Eni, Tuan.""Bara membutuhkan kamu, Nak. Kamu di sini saja, biar sopir saya yang mengantar Bu Eni pulang."Bu Eni merasa tidak enak telah merepotkan mereka. "Saya jalan kaki aja, Tuan.""Jangan, Bu! Biar sopir saya yang mengantar. Sekalian dia mau mencari makan, kebetulan kami belum makan sejak tadi siang," sahut Tuan Indra."Ya Tuhan." Bu Eni menutup
Anisa melepaskan genggaman tangannya."Nggak, Mas. Jika kita bersatu ada orang yang tersakiti. Kita sudah melakukan kesalahan besar telah menyakiti Mas Gara. Apa kamu tega menyakiti saudaramu sendiri?""Kamu yakin tidak melakukan kesalahan, menjauhkan anakmu dengan ayahnya? Apa kamu tega melakukan semua itu?"Anisa terdiam sesaat. Anaknya akan menjadi korban keegoisannya sendiri. Tapi, apakah ia bisa hidup tenang jika berada di antara dua laki-laki yang mencintainya bersamaan.Tiba-tiba Gara masuk ke dalam ruang perawatan adiknya. Sebenarnya pria itu sejak tadi tidak sengaja menguping pembicaraan mereka."Jika saya yang menjadi jurang pemisah di antara kalian. Saya akan pergi jauh dari kehidupan kalian.""Jangan, Bang!" seru Bara.Anisa memberanikan diri menatap Gara. "Maafkan aku, Mas.""Saya akan memaafkanmu, jika kamu dan Bara menikah.""Maaf, aku belum bisa memaafkan Mas Bara," ucap Anisa yang membuat Bara mera
Tuan Indra terdiam dalam beberapa detik, air matanya luluh begitu saja saat Anisa menyebutnya Ayah."Apa saya tidak salah dengar? Kamu memanggil saya Ayah?"Anisa mengangguk pelan. "Saya sudah tahu kalau anda Ayah saya, hanya saja hati ini belum bisa menerimanya, tapi saya akan belajar memanggilmu Ayah.""Saya tidak akan memaksa kamu untuk menerima Ayah sepenuhnya. Saya akan menuruti semua keinginanmu untuk menebus dosa-dosa Ayah padamu.""Saya hanya ingin anda merahasiakan keberadaan saya. Jangan mengumumkan status saya ke publik. Selain anda, keluarga anda tidak boleh tahu kalau saya ini anakmu."Saat orang tua Tuan Indra, datang mengancam dia dan ibunya, Anisa sudah besar dan sudah mengerti tentang permasalahan Ibu dan neneknya. Dari situlah ia sadar kalau keluarga sang ayah tidak menginginkannya.Walau masih bingung dengan permintaan sang anak, tapi laki-laki tua itu mengangguk setuju. Baginya diakui saja sudah sangat bersyukur.
"Ini sepenuhnya kesalahanku." "Kejahatan kalian tidak bisa dimaafkan, Mas. Andai saja nggak ada anak ini, aku nggak akan mau memaafkanmu, walau aku cinta sama kamu," ucap Anisa sembari mendelikkan matanya pada Bara. "Sayang, kamu boleh menyalahkanku, tapi jangan membenci Mas Gara. Dia Kakak terbaik yang aku punya. Ini semua kesalahanku, Mas Gara sama sekali nggak tahu." Bara meraih tangan Anisa, lalu menciumnya dengan mesra. "Kamu tambah cantik kalau lagi marah." "Gombal!" Anisa memalingkan wajahnya dari laki-laki yang sedang bersandar pada tempat tidurnya. "Aku nggak gombal, kamu memang sangat cantik. Aku sangat mencintaimu, kamulah satu-satunya wanita yang membuatku hampir gila karena tidak bisa jauh darimu. Kamulah bidadari surga yang Tuhan berikan untukku. Maafkan aku karena aku terlalu mencintaimu." Anisa menoleh pada laki-laki yang sedang tersenyum menggodanya. "Apa waktu kecil kamu kebanyakan makan gula? Kenapa ucapanmu begitu manis?"
"Aku sangat takut kehilanganmu lagi. Aku pernah kehilanganmu saat merahasiakan identitasku, maka dari itu aku akan mengungkap siapa diriku."Bara memejamkan matanya, menghirup napas dalam-dalam supaya lebih tenang. Lengkungan bibirnya terlukis indah di wajahnya yang masih terlihat pucat.Tatapannya yang sayu menatap wajah cantik kekasihnya sambil menggenggam lengan wanita itu. Bara mengatakan kejujuran tentang masa lalunya. Tidak ada yang ia sembunyikan, semua ia ungkap kepada Anisa.Bahkan tentang mantan terakhirnya yang menikah diam-diam dengan temannya sendiri. Bara menceritakan semuanya dari awal hingga akhir."Terima kasih karena kamu sudah hadir dalam kehidupanku. Ketulusan cintamu mampu mengubah hidupku yang kelam ini." Bara mencium tangan kekasihnya dengan mesra. "Aku berharap kejujuranku nggak akan membuatmu pergi lagi dari hidupku.""Semua orang mempunyai masa lalu yang tidak selalu manis. Aku hargai kejujuranmu. Walaupun merasa kec
"Mommy khawatir sama Bara. Di saat dia sakit, Mommy nggak ada di sana.""Dia tadi hampir mati, Mom, tapi saat Anisa memaafkannya dia langsung sembuh. Percayalah Mommy pasti diabaikan karena mereka sudah berbaikan." Gara tersenyum sembari melirik Bara yang berada di sampingnya."Bohong, Mom. Mommy tegap wanita nomor satu yang ada di hatiku."Bara berusaha meyakinkan sang mommy kalau dirinya akan terus menjadikan wanita yang melahirkannya itu prioritasnya."Bara, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kamu masih pusing atau mual?""Nggak, Mom, aku udah sembuh.""Dia langsung sembuh setelah Anisa memaafkannya. Kalau aku jadi Anisa, aku pasti berpikir kalau anak itu hanya pura-pura sakit saja.""Kamu benar, Bang. Tadi Anisa juga mengira aku berpura-pura sakit.""Bersyukurlah karena kamu sakit, Anisa memaafkanmu!" balas Gara sembari tertawa pelan."Kamu ini, adikmu lagi sakit, kenapa ditertawakan?""Apa dia beneran sa
"Hahaha ... bukan begitu, Bang. Aku cuma mau bantu saudaraku tersayang yang sudah merelakan bidadarinya untukku.""Anisa itu bidadari kamu bukan saya. Tuhan hanya menitipkan pada saya sebelum menyerahkannya kepada yang berhak."Walau hatinya merasa sakit, tapi ia harus berpura-pura bahagia. Ia lebih sakit melihat adiknya terbaring lemah."Bang, aku mau peluk kamu." Bara merentangkan tangannya ingin memeluk Gara, tapi pemuda itu menolaknya."Sudahlah, jangan banyak tingkah! Sebaiknya kamu istirahat!"Gara melipat tangannya di depan dada sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan mata terpejam."Dia tetap sama seperti manusia es," gumam Bara."Saya dengar.""Maaf, Bang," balas Bara sembari menahan tawanya.Bara memerhatikan ke sekeliling ruangannya, tidak ada yang bisa dijadikan tempat untuk Gara beristirahat.Hanya ada dua ranjang pasien yang kosong, mana mungkin Gara mau tidur di ranjang p